Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 14 Juni 2013

Solusi Komprehensif Terorisme (Azyumardi Azra)

Azyumardi Azra

Penanganan radikalisme dan terorisme, apalagi yang membawa-bawa semangat dan justifikasi keagamaan, jelas sangat sulit, rumit, dan rawan.

Jika aparat keamanan—dalam hal ini Densus 88—tidak hati-hati menanganinya, yang dapat terja- di adalah lingkaran setan kekerasan yang sangat sulit dihenti- kan. Celakanya lagi, lingkaran se- tan kekerasan itu tercipta di antara aparat kepolisian yang mewakili negara sehingga menimbulkan kesan adanya state terrorism pada satu pihak melawan non-state actors of terrorism.

Tak kurang celakanya bagi kehidupan berbangsa-bernegara ialah kian menguatnya kesan bahwa perang melawan terorisme ibarat pertempuran Jalut mela- wan Thalut Daud di dalam Al Quran atau Goliat versus David dalam kisah Biblikal. Dalam penghadapan seperti ini, bisa kian bertumbuh rasa empati di ka- langan masyarakat kepada Da- ud. Psikologi sosial-keagamaan ini dapat memunculkan religious backlash dari kalangan masyarakat keagamaan yang terklaim direpresentasikan para pelaku kekerasan dan terorisme.

Dinamika proses sosio-keagamaan itu semestinya dicermati Densus 88 dalam menangani radikalisme dan terorisme. Terus terulangnya kekerasan aparat yang dipandang kian banyak kalangan masyarakat sebagai berlebihan hanya membuat pendekatan keamanan semakin jauh daripada dapat memenangkan pertarungan. Sebaliknya, pendekatan keamanan kian kontraproduktif, bahkan cenderung makin mendapat perlawanan dari masyarakat yang tidak punya hubungan dengan radikalisme dan terorisme.

Semua gejala ini terlihat dalam kasus terakhir di Poso ketika Densus 88 menewaskan terduga terorisme, Nudin alias Bonda (10/6). Nudin yang sedang mengendarai motor ditembak mati Densus 88 karena "katanya" melawan ketika hendak ditangkap. Reaksi segera muncul: masyarakat yang marah memblokade jalan lintas Sulawesi dan berunjuk rasa di depan polres. Syukur, massa dan Polri tidak lepas kontrol sehingga keadaan tidak terjerumus ke dalam lubang hitam (kekerasan) tanpa dasar.

Sosio-kultural keagamaan

Pendekatan penegakan hukum pasti sangat perlu, tetapi je- las bukan satu-satunya cara. Karena itu, pendekatan ini saja tak efektif. Dan sebaliknya, seperti terlihat dalam kasus Poso terak- hir ini, terlihat dapat jadi kontraproduktif. Saran berita utama Kompas (12/6), "Carikan Solusi Tepat untuk Poso", sangat perlu dipertimbangkan Densus 88 dan aparat kepolisian umumnya, pemerintah lokal dan pusat, masyarakat sipil, baik berbasis agama maupun LSM pemantau, dan advokasi semacam Komnas HAM, lembaga perdamaian.

Solusi komprehensif penyelesaian radikalisme dan terorisme mesti melibatkan pendekatan sosio-kultural keagamaan. Sayangnya, pendekatan sosio-kultural keagamaan di tengah disorientasi nilai masyarakat mengalami krisis pula karena adanya perubahan politik sangat cepat di tingkat lokal dan nasional, terus meluas- nya ekspresi kebebasan ekspresi, dan kian terpaparnya masyarakat Indonesia pada gagasan dan praksis transnasional teroristik.

Apalagi sejauh ini pendekatan ini kelihatannya hanya digunakan sporadis dan ad hoc dengan terutama melibatkan pemimpin dan tokoh keagamaan lokal. Namun, mereka sering diperlakukan ibarat pemadam kebakaran. Ketika api kekerasan bernyala- nyala barulah mereka dipertemukan untuk memadamkan lidah api yang tengah membakar.

Karena itu, pendekatan sosio-kultural keagamaan memerlukan revitalisasi dan pemberdayaan melalui pemberian kesempatan lebih besar dalam upaya solusi radikalisme dan terorisme. Meski ada krisis, kepemimpinan sosial, kultural, dan keagamaan tetap masih memiliki potensi besar memperkuat kembali jalinan tenunan masyarakat. Dengan revitalisasi kepemimpinan ini, masyarakat bersangkutan dapat merajut kembali kohesi dan solidaritas sosial yang perlu untuk penguatan sistem dan mekanisme pencegahan dini dari infiltrasi anasir yang mengganggu pertahanan diri mereka.

Tak kurang pentingnya, dalam konteks pemberdayaan itu perlu kolaborasi kepemimpinan sosio- kultural keagamaan lokal dan nasional. Pihak terakhir ini melalui jaringan ormas sosial-keagamaan sejak tingkat nasional sampai ke lokal memiliki leverage, wibawa moral melakukan persuasi pada kepemimpinan lokal guna pence- gahan kekerasan dan mengarahkan menuju perdamaian. Pemerintah—khususnya Kemenag dan Kemdikbud—wajib memfasilitasi mereka seperlunya.

Sosio-ekonomi

Solusi komprehensif terhadap radikalisme dan terorisme pasti tak lengkap tanpa pendekatan so- sio-ekonomi. Meski tak ada kore- lasi yang meyakinkan antara kemiskinan dengan radikalisme dan terorisme, jelas masyarakat yang nestapa secara sosial-ekonomi lebih rentan. Apalagi jika terdapat kepincangan dan ketakadilan di antara berbagai lapisan masyarakat, yang membuat mereka jadi rumput kering yang sangat mudah terbakar.

Sebab itu, perlu pemberdaya- an sosio-ekonomi masyarakat bersangkutan, khususnya remaja dan pemuda yang memang sangat rentan terhadap infiltrasi gagasan dan praksis radikalisme dan terorisme. Pendekatan ini dapat jadi langkah efektif mence- gah terjerumusnya warga muda bangsa ke dalam tindakan meru- sak diri sekaligus negara-bangsa.

Tak kurang pentingnya, pemberdayaan sosio-ekonomi pelaku terorisme yang dipenjarakan, kemudian telah selesai hukuman masing-masing dan kembali ke masyarakat. Sudah bukan rahasia lagi, banyak di antara mereka tak memiliki pekerjaan menafkahi keluarga masing-masing. Selain terbelenggu stigma sebagai mantan narapidana, mereka tak punya pengetahuan, keterampilan, dan modal memulai usaha. Dalam keadaan seperti ini, mereka lebih rentan kembali kambuh jadi pelaku terorisme.

Pemerintah—Kemsos, Kemenakertrans, Kemenkop dan UKM, serta Kementerian BUMN—wajib memfasilitas pelatihan, penyaluran lapangan kerja, dan permodalan bagi mantan pelaku terorisme. Dengan memiliki pekerjaan dan penghasilan menafkahi diri dan keluarga, mereka dapat kembali memiliki harkat dan martabat. Dengan begitu, mereka lebih tangguh lahir batin menghadapi godaan dan cuci otak menempuh jalan pintas jadi "pengantin" melalui bom bunuh diri.

Azyumardi Azra CBE Guru Besar Sejarah, Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta

(Kompas cetak, 14 Juni 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger