Kalau saja peristiwa hampir sembilan bulan silam itu tidak terjadi, barangkali kita semua, masyarakat dunia, tidak mengenal Malala Yousafzai. Ia remaja putri dari sebuah desa di Lembah Swat, sebuah kawasan di Pakistan barat yang berbatasan dengan Afganistan. Karena hasrat, kehausan, dan cintanya pada pendidikan, Malala ditembak oleh Taliban yang melarang kaum perempuan, termasuk anak-anak perempuan, untuk mengenyam pendidikan.
Taliban memiliki kehendak melenyapkan Malala, tetapi Sang Empunya Kehidupan mempunyai rencana lain. Karena itu, Malala lolos dari maut dan menjadi "sinar di tengah kegelapan, suara di tengah kesunyian".
Di hadapan Sidang Majelis Kaum Muda di PBB, yang dihadiri Sekjen PBB Ban Ki-moon, Ketua Majelis Umum PBB Vuk Jeremic, Utusan Khusus PBB Urusan Pendidikan Global Gordon Brown, dan para remaja seusia dia, Malala menyerukan betapa penting pendidikan bagi anak-anak, bagi anak-anak perempuan, bagi kaum perempuan.
Mendengarkan pidato Malala, sungguh mengharukan. Ia meneriakkan perlunya dihormati hak pendidikan bagi setiap anak. Ia meneriakkan arti penting perdamaian karena perdamaian sangat diperlukan bagi pendidikan. Banyak negara, seperti Afganistan dan Pakistan, telah dikacaukan oleh terorisme, perang, dan konflik yang membuat anak-anak tidak dapat mengenyam pendidikan.
Sebuah LSM internasional mengungkapkan, pada tahun 2011 sebanyak 57 juta anak usia sekolah dasar tidak bisa bersekolah. Separuh dari mereka berada di negara yang dilanda konflik. Ada 69 juta remaja yang tidak bersekolah. Dari 57 juta anak usia sekolah dasar yang tidak bersekolah itu, tentu ada yang berasal dari negeri kita, Indonesia.
Sungguh sebuah ironi kalau seorang remaja putri berusia 16 tahun mampu memikirkan betapa pentingnya arti pendidikan, bagi anak-anak, sementara kita yang hidup di negeri yang aman dan tenteram ini justru masih berdebat soal kurikulum, misalnya. Ketika masih banyak pendidik, pemerhati pendidikan, dan mereka yang peduli terhadap pendidikan belum satu kata tentang Kurikulum 2013, pemerintah tetap ngotot memberlakukannya.
Pidato Malala memang disampaikan di New York sana, yang jauh dari Jakarta, tetapi semestinya bergaung keras di negeri kita. Tidak hanya bergaung, tetapi juga direnungkan banyak pihak dan kemudian menyadarkan kita semua bahwa dunia pendidikan kita masih banyak persoalan. Masalah pendidikan kadang digunakan sebagai dagangan politik saat pilkada, tetapi ibarat kata, "setelah tidak disorot kamera", dilupakan begitu saja.
Sementara Malala bicara tanpa kepentingan diri, kecuali bagi mereka yang tidak bisa bersuara.
(Kompas cetak, 16 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar