Dalam jagat Twitter, belum lama ini muncul sebuah akun bernama @LawanMafia yang sempat menarik perhatian banyak pihak, terutama karena isi posting-nya membeberkan berbagai aksi di belakang proses pemilihan komisioner Komisi Penyiaran Indonesia awal Juli.
Lepas dari apakah informasi yang dikeluarkan akun itu bisa sepenuhnya dipercaya, tak ayal banyak pihak sudah mengintip isi yang "dikicaukan" @LawanMafia itu. Sebagaimana layaknya akun anonim, siapa sesungguhnya @LawanMafia tak cukup jelas. Masalah muncul ketika dalam beberapa celotehnya akun ini menuduh sejumlah pihak terlibat dalam kongkalikong di balik pemilihan komisioner KPI. Sejumlah nama disebut jelas dan digambarkan oleh pemilik akun dengan teori konspirasi dalam kaitan dengan skenario besar yang terdengar agak meyakinkan.
Beberapa pihak merespons dengan keras tuduhan kepada beberapa pihak, sebaliknya ada upaya melucuti identitas yang disamarkan pemilik akun. Ide besar soal teori konspirasi perlahan-lahan diurai, tetapi bagaimana kebenaran sesungguhnya?
Kita akan melihat salah satu masalah dalam dunia maya saat ini adalah kondisi anonimitas dalam dunia yang kadang-kadang mengandung masalah tersendiri. Anonimitas, di satu sisi, memberikan kesempatan kepada mereka yang merasa lebih nyaman menyembunyikan identitas diri dalam berkomunikasi, tetapi di sisi lain menimbulkan pertanyaan lebih serius: apakah informasi yang disuguhkan akun anonim bisa dipercaya? Kalau bisa dipercaya bagaimana mengujinya?
Ketika kondisi umum di suatu negara tak menunjukkan iklim kebebasan, kemunculan akun anonim bisa diterima dan orang kemudian cenderung menganut paham untuk lebih mementingkan "nyanyian daripada penyanyinya" (the song, not the singer). Namun, jika iklim di suatu negara secara umum menganut kebebasan, sebenarnya tak ada alasan yang cukup signifikan berada dalam kondisi anonim tersebut. Berkomunikasi secara terbuka, jujur, lurus menjelaskan apa isi pesan adalah konsekuensi atau kondisi yang harusnya diambil dalam masyarakat yang terbuka.
Kini, ketika Indonesia dalam kondisi ambigu, atau dalam bahasa lembaga pemeringkat kebebasan pers dunia, Reporters san Frontiers (RSF), "kondisi setengah bebas" (partly free), anonimitas menjadi suatu cara untuk tetap menyampaikan pesan penting meski tak perlu menyebut siapa yang mengungkapkan. Kondisi semacam ini rupanya banyak digunakan sejumlah pihak untuk terus berlindung di balik anonimitas ini. Lalu, bagaimana kita menyikapi hal ini?
Surat kaleng baru?
Akun anonim akan kita perlakukan tak lebih dari suatu sumber informasi yang masih harus berkontestasi dengan sumber informasi lain. Informasi dari akun anonim harus diverifikasi kembali. Tanpa kekritisan atas sumber, kekritisan untuk memeriksa isi informasi dengan informasi dari sumber lain, kita akan cenderung terpukau dengan isi informasi dari akun anonim ini.
Pada zaman ketika komunikasi masih bertumpu pada kertas, surat, surat kabar, dan lain-lain, kita mengenal istilah "surat kaleng", yaitu surat yang berisikan suatu informasi penting yang pengirimnya tak mau diketahui. Isi surat kaleng bisa macam-macam: menuding kejahatan seseorang, memberikan informasi dari dalam kepada pihak luar atas penyelewengan yang dilakukan, dan lain-lain. Perilaku sama terjadi pada era dunia digital, dengan gaya dan cara berbeda.
Akun anonim dalam dunia Twitter, misalnya, bisa saja menuding orang tertentu berbuat jahat, atau menghujat lawan politik yang tak seide, atau memberikan informasi dari dalam atas penyelewengan yang melanggar kepentingan publik. Dalam kategori terakhir itu, kita lalu mengenal istilah whistleblower.
Louis Alvin Day dalam Ethics in Media Communications: Cases and Controversies (2006) menyaratkan bahwa kerahasiaan sumber baru akan diterima jika itu menyangkut kepentingan publik yang lebih besar. Wartawan diharapkan bisa memilah dan mempertimbangkan kapan ia akan menyembunyikan informasi dan si pemberi informasi dengan pertimbangan kepentingan publik. Kasus @LawanMafia menjadi sedikit berbeda karena akun ini aktif menyampaikan "informasi" kepada publik, dan mereka yang mengikuti informasi masih akan menebak-nebak seberapa benar atau tak benar informasi yang dihasilkan. Di sinilah guna media massa untuk cek dan cek ulang ataupun melakukan verifikasi atas informasi yang dihasilkan. Tanpa metode verifikasi seperti ini, "informasi" tersebut belum bisa dianggap sebagai informasi yang bisa diterima secara publik. Publik pun akan merasa bingung dengan sajian informasi tersebut dan tak bisa mengambil makna dari potongan-potongan informasi itu.
Inilah salah satu problem penting dalam dunia maya saat ini ketika akun-akun anonim mudah muncul, baik untuk mendukung maupun menolak salah satu pihak. Akun anonim dalam dunia Twitter bagaimanapun juga menjadi kepanjangan dunia komunikasi sehari-hari. Ada orang yang setuju tentang sesuatu hal, ada yang tak setuju dengan sesuatu hal. Dalam Twitter kita mengenal istilah twit war, merujuk pada kondisi di mana dua akun atau lebih bersilang pendapat dan perdebatan ini menjadi "tontonan" tertentu. Bukan rahasia jika dalam rangka menggalang opini dalam dunia maya ini, sejumlah pihak mengerahkan dukungan dalam bentuk akun anonim macam ini ataupun akun yang secara aktif menyerang lawan politik lawannya.
Apakah ini suatu kemajuan ataukah kondisi yang memang tak terhindarkan? Merujuk pendapat klasik Marshal McLuhan bahwa media as extension of man, di sini Twitter tak lebih dari kondisi manusia sehari-harinya: berbagai alat digunakan guna mendukung kepentingannya. Kembali, tak mudah mengeja dunia media digital karena bagaimanapun juga media yang seolah berteknologi maju akan kembali mencerminkan sifat manusia sesungguhnya. Di satu sisi ingin berkomunikasi secara luas, tetapi keinginan berkomunikasi ini pun kerap terlebur dengan kepentingan-kepentingan politik tertentu, dan caci maki di dunia Twitter sebenarnya tak lebih istimewa dengan caci maki di jalanan antara satu pengendara dan pengendara lainnya.
Ignatius Haryanto, Peneliti Media; Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pers dan Pembangunan
(Kompas cetak, 19 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar