Keputusan DPR tersebut mengingkari aspirasi sejumlah ormas dan lembaga swadaya masyarakat. Sejumlah pemimpin ormas menilai RUU Ormas merupakan upaya kontrol negara terhadap masyarakat. Padahal, di era demokrasi, seharusnya ruang partisipasi politik masyarakat dibuka lebar agar warga bisa mengontrol negara.
Namun, realitas politik DPR berkata lain. Sebanyak 311 anggota DPR setuju RUU Ormas disahkan. Fraksi pendukung adalah Fraksi Partai Demokrat (107 suara), Fraksi Partai Golkar (75), Fraksi PDI-P (62), Fraksi PKS (35), Fraksi PPP (22), dan Fraksi PKB (10). Adapun yang menolak RUU Ormas disahkan menjadi undang-undang adalah Fraksi PAN (26), Fraksi Gerindra (18), dan Fraksi Hanura (6).
Peta politik parlemen berubah. Fraksi PDI-P yang selama ini menjadi oposisi dan berada di luar koalisi pendukung pemerintah justru menyetujui RUU Ormas disahkan sebagai undang-undang. Fraksi PKS yang dalam kasus kenaikan harga bahan bakar minyak mengambil posisi berseberangan kini bersatu dalam barisan koalisi. Sebaliknya, Fraksi PAN—anggota koalisi pendukung pemerintahan Presiden Yudhoyono—mengambil posisi menolak RUU Ormas untuk disahkan menjadi undang-undang.
Terlepas dari apa pun rasionalitas politiknya, perubahan politik parlemen makin menguatkan adagium bahwa dalam politik tiada kawan dan lawan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan. Fraksi PAN tidak mungkin mengambil posisi menyetujui RUU Ormas karena Muhammadiyah, ormas yang sangat dekat dengan PAN, mengambil sikap yang keras terhadap substansi RUU Ormas. Citra politik di mata masyarakat tampaknya menjadi penting, terutama menjelang Pemilu 9 April 2014.
DPR telah menyatakan sikapnya. Sikap itu harus dihormati. Meski demikian, kita mendorong keberatan ormas terhadap konstitusionalitas sejumlah pasal dalam UU Ormas harus mendapatkan legitimasi dari Mahkamah Konstitusi (MK). MK-lah yang berwenang melakukan uji materi terhadap konstitusionalitas pasal-pasal dalam undang-undang.
Dugaan politik kontrol negara terhadap kehidupan ormas yang dinyatakan dalam RUU Ormas bisa saja diuji konstitusionalitasnya. Kita berharap RUU Ormas kian memperkuat partisipasi masyarakat dalam mengontrol kekuasaan karena, seperti dikatakan Lord Acton, kekuasaan itu cenderung korup, bukan malah sebaliknya: memperkuat kontrol negara terhadap kehidupan masyarakat.
Namun, kita pun tidak ingin ormas berperilaku sebebas-bebasnya tanpa ada rambu apa pun. Dimensi kebebasan berserikat sebagai hak asasi manusia harus menjadi roh dari UU Ormas. Karena ketegangan-ketegangan itulah kita berpendapat biarlah MK menguji konstitusionalitas pasal-pasal RUU Ormas.
(Kompas cetak, 3 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar