Dengan terbitnya UU Guru dan Dosen pada tahun 2005, seharusnya kini di Indonesia lahir guru generasi baru, yaitu guru profesional yang memiliki kinerja berbeda dengan guru (sebut saja) tradisional.
Perbedaan itu, pertama, yakni pada posisi guru. Seturut perkembangan terminologi pendidikan dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 1 Ayat (1), guru diposisikan sebagai fasilitator yang mengondisikan suasana dan proses pembelajaran. Pembelajaran diselenggarakan berpusat pada murid dan diupayakan agar murid aktif mengembangkan potensi dirinya.
Guru tradisional—menurut UU Sisdiknas No 2 Tahun 1989—diposisikan sebagai pembimbing, pengajar, dan pelatih yang menyiapkan peserta didik bagi peranannya di masa depan. Pembelajaran berpusat dan bergantung pada keaktifan guru.
Kedua, perbedaan pada kompetensi. Perubahan posisi guru menuntut kemampuan yang bukan sekadar memodifikasi teknik mengajar, juga perubahan filosofi dan didaktik-metodik yang terekspresi dalam kompetensi. UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD)—meski rancu—membuat empat kategori kompetensi guru profesional, yakni pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional.
Guru yang otentik
Kompetensi guru profesional didasarkan pada filosofi bahwa anak adalah makhluk sarat potensi yang berkembang secara dinamis menurut kondisi yang melingkupinya. Maka, dalam pembelajarannya, guru profesional memberikan ruang dialogis seraya menanggalkan egosentrismenya sebagai orang dewasa yang serba tahu dan banyak menyuruh.
Meskipun memiliki kedekatan dan keterbukaan dengan murid, guru profesional tetap otentik, tak berpura-pura. Ia juga tak infantil sehingga sering jadi bulan-bulanan murid. Wibawa guru profesional tumbuh dari simpati karena kompetensinya, bukan dari rasa segan apalagi takut.
Sementara kompetensi guru tradisional dilandasi epistemologi tabula rasa (kertas kosong) bahwa seorang manusia lahir tanpa isi mental bawaan. Pendidikan adalah upaya mengisi ruang kosong itu dengan seperangkat pengetahuan dan keterampilan yang menurut persepsi orang dewasa bakal berguna bagi anak di masa depan.
Ketiga, perbedaan pada perilaku etik dan politik. Dengan profesionalisme, menurut Tilaar (2012), status guru mengalami demitologisasi. Mitos guru sebagai manusia sempurna, pekerja sosial yang tak harap imbalan, dan tabu berpolitik mengalami rasionalisasi. Perilaku moral guru profesional dibatasi oleh etika profesi yang diawasi dewan kehormatan guru.
Guru profesional juga dapat, bahkan harus, melibatkan diri dalam berbagai kegiatan politik. Menjadi guru di abad ke-21, menurut Oakes & Lipton (2003: 430), selain alasan tradisional—seperti hasrat menolong— juga (perlu) dimovitasi untuk keadilan sosial karena itu bersifat politis.
Politik guru adalah bagian dari politik pendidikan yang menyoalkan penggunaan kekuasaan negara dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Posisi penting dan pengalaman operasional yang dimiliki menjadikan guru tak selayaknya hanya menjadi obyek yang tak disertakan dalam membuat kebijakan terkait dengan diri dan bidangnya. Maka, guru memerlukan instrumen politik: organisasi profesi.
Keempat, keterikatan pada organisasi profesi. Organisasi profesi guru utamanya adalah media untuk memajukan profesi dan memperbaiki nasib guru. Problem keguruan senantiasa lahir dari rahim politik pendidikan pemerintah sehingga tak mungkin diselesaikan guru secara individual. Ujian nasional, Kurikulum 2013, dan sertifikasi adalah contoh kebijakan yang memengaruhi kinerja dan mesti dihadapi guru secara bersama.
Dengan jumlah anggota yang besar dan peran yang strategis, organisasi profesi guru harus percaya diri dan menyadari posisi politiknya yang independen. Ia tidak boleh hanya menjadi batu loncatan pengurus dengan memasrahkan monoloyalitas kepada kekuatan tertentu dan atau sekadar perpanjangan tangan pemerintah. Karena itu, organisasi guru harus memiliki tawaran konsep rasional dan komprehensif tentang keguruan, pendidikan, dan kebangsaan.
Jiwa profesional
Panggilan untuk bersikap profesional sejatinya bukan sekadar berkutat pada kegiatan birokratis, melainkan juga harus diproses agar mengikat guru secara esoteris, menukik di kedalaman jiwa. Namun, itu tak terjadi dalam praktik selama ini.
Masa delapan tahun telah dihabiskan hanya dalam kegaduhan administratif portofolio dan uji-menguji. Sertifikasi portofolio—seperti diduga sebelumnya—ternyata (versi Bank Dunia) hanya berhasil meningkatkan ekonomi guru dan minat jadi guru, tetapi gagal mencapai tujuan utama profesionalisme, yakni meningkatkan kinerja guru untuk peningkatan mutu pendidikan nasional.
Kini, guru kita terkungkung dalam makna profesionalisme yang materialistik: tunjangan profesi. Semangat penyempurnaan diri berkelanjutan nyaris tak ada. Kegiatan Pendidikan dan Latihan Profesi Guru, Rancangan Pendidikan Profesi Guru, serta Rencana Kebijakan Pembinaan dan Pengembangan Guru mendatang perlu diarahkan pada membangun jiwa keguruan.
Redesain LPTK
Segala upaya profesionalisme guru meniscayakan perubahan peran dan substansi institusi yang menyiapkan guru, yaitu lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK). Perubahan substansi LPTK mutlak dilakukan karena ada paradigma, pendekatan, dan metode baru yang harus dikembangkan melalui pendidikan/pelatihan calon guru dan guru dalam jabatan. Desain kurikulum, proses pembelajaran, dan pelatihan/pemagangan di LPTK harus mencerminkan berbagai perubahan yang dikehendaki. Selama LPTK secara substansial tak diubah, gagasan "guru profesional" hanya terjadi dan berhenti dalam administrasi dan remunerasi.
Hingga delapan tahun pasca-UUGD, peran dan substansi LPTK tak mengalami perubahan signifikan. Konsep redesain yang disusun beberapa LPTK tampak beragam dan terlampau akomodatif, tak menunjukkan perubahan radikal. Padahal, ide profesionalisme dan UUGD menuntut LPTK melakukan reformasi mendasar.
Logika UU sesungguhnya menghendaki LPTK secara kelembagaan fokus pada penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan kompetensi dan sertifikasi, tak lagi memproduk sarjana keguruan dalam berbagai bidang keilmuan. Hal itu mengingat seseorang dapat menjadi guru tanpa harus sarjana keguruan atau pendidikan. Implementasinya tentu berangkat dari realitas dan mempertimbangkan berbagai fakta, seperti keberadaan universitas eks IKIP dan adanya sistem guru kelas di SD.
Guru generasi baru tumpuan harapan perbaikan kualitas bangsa. Pemerintah, LPTK, dan organisasi profesi guru harus bersinergi melakukan perubahan penting itu. Isu tersebut menjadi bahasan utama Kongres PGRI, 1-4 Juli 2013, di Jakarta.
Mohammad Abduhzen Ketua Litbang PB PGRI dan Sekretaris Institute for Education Reform Universitas Paramadina Jakarta
(Kompas cetak, 2 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
mantab pak, guru generasi mendatang, guru masadepan
BalasHapus