Harga beras mungkin sedikit naik di pasar, tetapi bukan di tingkat petani. Lagi pula, harga beras tidak pernah naik tinggi karena selalu ada operasi pasar. Maka, sampai kapan pun petani padi negeri ini tidak akan pernah mampu menyesuaikan harga.
Dada ini sungguh sesak ketika Menteri Pertanian dengan enteng mengatakan, kenaikan harga BBM tidak berdampak berarti pada petani. Sungguh suatu pernyataan yang mengecewakan. Padahal, sejak mendengar harga BBM mau naik, kami sangat berharap Mentan dapat merumuskan program pembelian beras petani. Bukankah dengan berkurangnya subsidi BBM, pemerintah lebih leluasa mengatur anggaran?
Ternyata, program kompensasi BBM hanya untuk mempercepat pembangunan jalan di desa-desa dan perbaikan irigasi. Sungguh tidak kreatif dan itu-itu saja. Mengapa tidak mencoba untuk program biogas di desa-desa dengan memanfaatkan kotoran ternak, membeli gabah petani, memberi modal terarah untuk para pengangguran di desa, misalnya untuk usaha peternakan.
Perjuangan petani
Saya petani padi di sawah irigasi. Beberapa waktu lalu, sawah-sawah kami panen. Padi tumbuh bagus karena air musim tanam ini jumlahnya cukup dan cuaca mendukung. Namun, di tengah semua faktor yang baik itu, nasib kami malah merana. Saat panen raya seperti itu, padi tidak ada harganya. Akhirnya, banyak petani malas memanen padinya karena ongkos untuk memanen mulai dari mengarit, menggebot (merontokkan padi), dan mengangkut bisa lebih besar dari harga jualnya.
Harus diakui, beras adalah kebutuhan pokok dan utama bangsa ini. Beras bahkan dapat memengaruhi stabilitas politik sehingga harga beras tidak boleh melambung. Padahal, komoditas lain boleh bebas menyesuaikan harga. Begitu harga beras naik, pemerintah segera menggelontor dengan beras impor. Lalu, bagaimana caranya agar kehidupan petani lebih cerah nasibnya?
Sebaliknya, ada kelompok warga negara lain yang diistimewakan, yaitu para PNS, guru, tenaga medis, bahkan buruh. Kesejahteraan mereka selalu diperhatikan karena gaji selalu dinaikkan. Lihat saja, begitu ada kenaikan harga BBM, akan ada penyesuaian pendapatan. Bagaimana dengan kami, para petani?
Katanya, jumlah para petani paling banyak karena ini negara agraris. Katanya, kami berjasa menyediakan pangan. Namun, ketika harga BBM naik dan semua harga kebutuhan pokok ikut melambung, harga beras malah semakin dikendalikan.
Keluhan ini sesungguhnya sudah lama dan berulang kali kami rasakan. Namun, pernyataan Mentan berkenaan dengan kenaikan harga BBM membuat hati saya sungguh sakit dan akhirnya memberanikan diri menyampaikan aspirasi ini.
Ada beberapa persoalan yang selama ini luput dari perhatian pemerintah.
Pertama, tak ada pembangunan jalan pertanian ke tengah hamparan sawah. Prasarana itu sangat vital karena akan signifikan mengurangi ongkos panggul yang tinggi. Jarak jalan raya dengan petak sawah terjauh bisa mencapai 3 kilometer. Karena jalan yang ada hanya berupa pematang, dibutuhkan pemanggul untuk mengangkut input produksi dan hasil produksi.
Belum lagi, ongkos memanen yang meliputi ongkos memotong, merontokkan, dan mengangkut padi yang bisa mencapai Rp 80.000-Rp 100.000 per kuintal. Tidak heran bila banyak petani tidak berdaya dan akhirnya membiarkan padi terbengkalai.
Kedua, mesin pemanen sudah harus diproduksi massal dan dijual murah karena sangat dibutuhkan terutama di lokasi persawahan yang luas. Apalagi, jumlah buruh tani terus menurun. Langkanya tenaga buruh ikut memicu terbengkalainya padi yang siap panen. Tidak jarang padi-padi menjadi rebah dan membusuk di lahan. Ini sungguh ironis mengingat pemerintah sering merasa cadangan beras kurang sehingga harus mengimpor beras. Mengapa tidak mencari jalan yang bisa memperbaiki proses produksi sekaligus menolong perekonomian petani?
Ketiga, tidak adanya program penanganan hasil panen. Anjloknya harga gabah pada musim panen I yang rutin terjadi setiap tahun tidak pernah diintervensi. Padahal, padi yang dihasilkan biasanya justru berkualitas bagus dan berlimpah.
Kami merasa aktivitas Bulog untuk membeli gabah petani tidak transparan karena pos-pos tempat Bulog membeli gabah tidak disosialisasikan. Para petani juga tidak mengetahui apa saja yang harus dilakukan agar gabahnya laku dijual ke Bulog.
Memang, di satu sisi dukungan pemerintah dalam penyediaan sarana produksi padi sudah relatif baik, tetapi di sisi lain manajemen penanganan hasil produksi terlupakan. Kami yakin, jika pemerintah menata hasil produksi, pengaruhnya akan besar untuk swasembada pangan.
Perlu komprehensif
Program dana talangan pernah diluncurkan pada tahun 2005 untuk menyelamatkan harga gabah. Namun, program itu tidak berhasil karena koperasi yang diberi kredit untuk membeli gabah petani tidak mampu memasarkan berasnya dengan cepat. Hal itu karena koperasi harus membeli gabah dengan harga harga pembelian pemerintah. Padahal, harga beras di pasar sangat rendah. Masalah itu tidak perlu terjadi jika Bulog menjadi penampung beras dari koperasi.
Petani sangat berharap Bulog dapat menampung seluruh gabah petani tanpa syarat. Kenyataannya, justru saat harga beras melambung, Bulog malah mengucurkan beras impor dengan kualitas jauh di bawah beras lokal, yang paling jelek sekalipun.
Petani Indonesia akan sangat mendukung partai mana pun yang memiliki program membeli seluruh gabah hasil panen karena hal itu bagaikan memberi gaji kepada petani/orang yang bekerja menanam padi dan sekaligus menjamin ketahanan pangan nasional dan kesejahteraan petani. Dengan demikian, pemerintah menjadi pengendali harga beras di pasar, dan setiap petani mendapat jaminan pembelian gabah, apa pun kualitasnya.
Bila mimpi itu tercapai, setiap orang di desa akan sangat bersemangat menanam padi, bahkan generasi muda di desa-desa tidak perlu mencari pekerjaan ke kota karena mereka akan berminat menjadi petani. Apalagi, bila kebijakan itu disertai dengan pembukaan kesempatan mengolah lahan kosong untuk menciptakan sawah baru.
Sekali lagi, jangan hanya pegawai negeri, guru, dan buruh pabrik yang mendapatkan jaminan kesejahteraan hidup layak. Petani sebagai pilar utama ketahanan pangan juga harus terjamin kesejahteraannya.
Pemerintah harus membeli semua hasil padi dengan harga layak dan selanjutnya terserah pemerintah mau menjual beras dengan harga berapa ke masyarakat. Dengan demikian, petani tidak lagi menjadi korban gerakan operasi pasar yang tidak menghendaki petani sejahtera.
Alih fungsi lahan yang saat ini menjadi masalah yang sangat mengkhawatirkan pun akan dapat terselamatkan karena masyarakat desa akan berasumsi bahwa kehadiran sawah menjamin pendapatan mereka.
Alih fungsi lahan
Keempat, alih fungsi lahan tidak dapat dimungkiri menjadi masalah yang sangat meresahkan dan sangat mengancam ketahanan pangan kita. Meskipun Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sudah mengatur hal itu, hingga sekarang alih fungsi lahan terus terjadi. Banyak persawahan, termasuk sawah beririgasi, beralih menjadi perumahan, pabrik, dan sebagainya.
Selain konversi besar-besaran, ada pula konversi kecil-kecilan, yaitu sawah yang dibangun menjadi rumah oleh petani sendiri. Padahal, sering terjadi, jika sudah ada satu rumah yang berdiri, biasanya petani lain juga akan mendirikan rumah di dekat bangunan yang sudah ada. Begitulah proses hilangnya sawah-sawah potensial yang tentunya sangat memengaruhi program ketahanan pangan.
Semua permasalahan ini, jika ditindaklanjuti bersamaan dengan berkurangnya subsidi BBM, akan menyelesaikan banyak permasalahan, terutama di bidang pertanian. Semoga!
Fathijah Fitriany Petani, Lulusan IPB
(Kompas, 5 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar