Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 17 Juli 2013

Konvensi Setengah Hati (Syamsuddin Haris)

Oleh: Syamsuddin Haris

Rencana Partai Demokrat menggelar konvensi untuk mencari calon presiden tentu patut diapresiasi. Melalui konvensi diharapkan muncul kandidat yang tak hanya populer, tetapi juga memiliki kapabilitas sebagai calon presiden. Seriuskah Partai Demokrat menyelenggarakan konvensi?

Konvensi adalah mekanisme demokratis yang lazimnya digunakan partai politik untuk menyeleksi kandidat presiden. Seperti berlangsung dalam tradisi pemilihan presiden di Amerika Serikat (AS), konvensi diselenggarakan partai dan melibatkan semua struktur kepengurusan dan anggota partai mulai dari tingkat terbawah hingga teratas.

Sebelum sampai pada tahap konvensi tingkat nasional, partai biasanya menyelenggarakan tahap-tahap pemilihan primer (primary election), kaukus dan konvensi negara bagian, meskipun tidak ada keseragaman di seluruh AS.

Pemilihan primer lazimnya melibatkan anggota partai di tingkat lokal sebagai peserta. Peserta pemilihan primer tidak memilih calon presiden, tetapi memilih utusan atau delegasi yang mewakili wilayah mereka dalam kaukus ataupun konvensi tingkat negara bagian.

Pada saat kaukus dan konvensi negara bagian ini berlangsung, baru muncul nama kandidat presiden. Format penyelenggaraan pemilihan primer, kaukus, dan konvensi pun tidak sepenuhnya sama antara negara bagian yang satu dan negara bagian yang lain, begitu pula antara dua partai politik utama, Partai Republik dan Partai Demokrat.

Sulit dimungkiri, dewasa ini Partai Demokrat di negeri kita tak memiliki seorang pun calon presiden dari internal partai yang mempunyai elektabilitas memadai.

Sepuluh besar
Hasil survei Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang dirilis belum lama ini, misalnya, memperlihatkan meskipun elektabilitas Partai Demokrat (11,1 persen) dalam pemilu legislatif sedikit meningkat, yakni berada di urutan ketiga sesudah Partai Demokrasi Perjuangan (PDI-P) (14,9 persen) dan Partai Golkar (14,5 persen), dari sepuluh nama calon presiden yang memiliki popularitas tertinggi—dalam arti dikenal responden—hanya ada Ani Yudhoyono yang bertengger di urutan kesembilan.

Akan tetapi, pada tingkat elektabilitas, Ani terlempar dari posisi sepuluh besar kandidat hasil survei LIPI yang diduduki berturut-turut oleh Joko Widodo, Prabowo Subianto, Aburizal Bakrie, Megawati Soekarnoputri, M Jusuf Kalla, Rhoma Irama, Wiranto, Mahfud MD, Hatta Rajasa, dan Sultan Hamengku Buwono X. Marzuki Alie, salah seorang calon presiden dari internal Partai Demokrat, misalnya, meskipun dikenal oleh 34,6 persen responden, ternyata tidak masuk ke dalam kelompok sepuluh besar tokoh dengan elektabilitas tertinggi.

Karena itu, wajar jika Partai Demokrat hendak menggelar konvensi dalam rangka mencari kandidat terbaik pengganti Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2014. Sebagai partai politik terbesar Pemilu 2009 yang juga berhasil mengusung Yudhoyono menjadi presiden untuk kedua kalinya, Partai Demokrat tampaknya melihat konvensi sebagai momentum untuk meminang tokoh-tokoh terbaik yang dianggap memiliki potensi sebagai calon presiden.

Apalagi sejumlah nama yang beredar, seperti Mahfud MD, Dahlan Iskan, dan Irman Gusman, belum memiliki partai politik sebagai "perahu" yang bisa mengantar mereka ke gelanggang kompetisi Pemilihan Presiden 2014.

Beberapa kendala
Kendati demikian, menggelar konvensi secara partisipatif, fair, demokratis, dan transparan bukanlah perkara mudah. Ada sejumlah problem yang dihadapi partai politik yang diprakarsai Presiden Yudhoyono ini.

Pertama, perlu diselesaikan dan dijelaskan secara publik kontroversi amanat Anggaran Dasar Partai Demokrat. Pasal 13 Ayat (5) Anggaran Dasar Partai Demokrat menyatakan bahwa otoritas penetapan calon presiden dan calon wakil presiden berada di tangan Majelis Tinggi Partai.

Konstitusi Partai Demokrat ini bahkan tidak menyinggung mekanisme konvensi sebagai cara penentuan calon presiden dan calon wakil presiden. Pertanyaannya, untuk apa dilakukan konvensi jika penentuan akhir atas calon presiden dan calon wakil presiden dari Partai Demokrat berada di tangan Susilo Bambang Yudhoyono selaku ketua Majelis Tinggi?

Kedua, belum jelas apa dan bagaimana format konvensi, padahal rencananya konvensi akan berlangsung mulai Agustus 2013. Apakah konvensi Partai Demokrat mengadopsi model konvensi di "Negeri Paman Sam", atau tak lebih dari penyelenggaraan musyawarah partai mulai tingkat kabupaten/kota, provinsi, hingga tingkat nasional?

Persoalannya, format konvensi, termasuk peserta, hak suara, dan tahap-tahapnya, tak hanya akan menentukan, apakah prosesnya berlangsung secara fair, transparan, dan demokratis, melainkan juga turut menentukan siapa yang lebih berpeluang sebagai calon presiden Partai Demokrat, dari internal partai atau eksternal partai.

Ketiga, jika calon presiden hasil konvensi berbeda dengan kehendak Majelis Tinggi, apakah kemudian hasil konvensi akan dianulir? Pertanyaan ini perlu diajukan karena pengalaman Golkar menyelenggarakan konvensi menjelang Pemilu 2004 tidak sepenuhnya mulus.

Wiranto yang unggul atas Akbar Tandjung—Ketua Umum Golkar waktu itu— dalam putaran kedua konvensi Golkar tidak didukung sepenuh hati oleh jajaran internal partai beringin ini. Suara Golkar akhirnya terpecah, apalagi setelah tokoh Golkar lainnya, Jusuf Kalla, justru bergabung mendampingi Yudhoyono dalam pemilihan presiden yang dilakukan secara langsung oleh rakyat untuk pertama kalinya.

Oleh karena itu, sebelum pengalaman konvensi Golkar terulang, ada baiknya jajaran petinggi Partai Demokrat dan Yudhoyono selaku ketua umum sekaligus ketua Majelis Tinggi menimbang urgensi perubahan anggaran dasar partai sebagai syarat berlangsungnya konvensi secara fair, transparan, dan demokratis. Sebagai seorang "demokrat", Yudhoyono memang tidak akan menganulir hasil konvensi meskipun tidak sesuai dengan "selera" keluarga Cikeas.

Apa salahnya mengubah satu atau beberapa pasal anggaran dasar partai jika hal itu justru diperlukan untuk meningkatkan kepercayaan publik atas proses konvensi Partai Demokrat. Sekurang-kurangnya, perlu klausul tambahan dalam anggaran dasar Partai Demokrat bahwa Majelis Tinggi hanya menetapkan calon presiden sesuai dengan hasil konvensi. Sebab kita harus percaya, calon pemimpin yang baik hanya bisa lahir dan dilahirkan dari sistem seleksi yang baik dan sehat pula.

SYAMSUDDIN HARIS, Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

(Kompas cetak, 17 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger