Hari Koperasi Nasional baru saja berlalu dan pemerintah mengklaim koperasi telah tumbuh pesat lima tahun terakhir.
Menurut Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, jumlah koperasi meningkat dari 170.411 unit pada 2009 menjadi 200.808 koperasi pada pertengahan 2013. Jumlah anggota koperasi juga meningkat dari 29.240.271 anggota pada 2009 menjadi 34.685.145 anggota pada Juni 2013.
Seperti biasa, pemerintah lebih membanggakan pencapaian kuantitatif, tanpa melihat kondisi di lapangan. Seperti pertumbuhan ekonomi yang tinggi tanpa membandingkan dengan data koefisien Gini yang menggambarkan ketimpangan pembagian kue ekonomi nasional. Dalam konteks koperasi, pertanyaannya adalah seberapa jauh capaian kuantitatif diiringi kualitatif, terutama manfaat dan kesejahteraan anggotanya.
Praktik keliru koperasi
Sidang dugaan korupsi mantan Kepala Korlantas Djoko Susilo menunjukkan, bagaimana terdakwa terbiasa memanfaatkan Primer Koperasi Kepolisian (Primkoppol) untuk membiayai kegiatan komando atau operasional Korlantas sekaligus menopang gaya hidup pribadinya yang sangat mewah. Terungkap di persidangan bahwa jumlah uang Primkoppol yang tidak jelas pertanggungjawabannya mencapai Rp 12 miliar.
Kasus Primkoppol Korlantas Polri bukanlah kasus tunggal korupsi dan salah urus koperasi. Tahun lalu, masyarakat dihebohkan kasus Koperasi Langit Biru yang diduga menggelapkan dana nasabah triliunan rupiah. Ribuan nasabah, yang tak disebut sebagai anggota, menyetorkan uang karena mengharapkan bunga tinggi di atas bunga bank.
Selain terkait manajemen, masalah utama banyak koperasi justru adalah pengingkaran atas alasan pokok keberadaannya (raison d'etre). Banyak koperasi didirikan demi mendapat proyek atau bantuan pemerintah. Ada juga koperasi yang berkembang justru karena bisnisnya tidak terkait dengan kepentingan anggotanya. Lebih miris lagi, banyak koperasi mampu membukukan selisih hasil usaha (SHU) tinggi, tetapi anggotanya jauh dari sejahtera.
UU Koperasi menegaskan bahwa tujuan dan kegiatan koperasi harus disusun berdasarkan kebutuhan ekonomi anggotanya agar menjadi sarana para anggota memenuhi kebutuhan ekonomi dan meraih sejahtera bersama. Di sinilah sesungguhnya perbedaan utama korporasi dan koperasi. Pada sebuah korporasi, adalah wajar bila pemilik tidak terkait dan tidak menikmati bisnis yang dijalankan korporasinya. Pada koperasi, karakteristik utama justru identitas ganda anggota koperasi (the dual identity of the member), yaitu anggota sebagai pemilik sekaligus pengguna jasa koperasi (user own oriented firm).
Dengan demikian, partisipasi anggota dalam kegiatan usaha koperasi amatlah penting. Keberhasilan partisipasi ditentukan oleh kesesuaian kebutuhan antaranggota, program, serta manajemen koperasi. Anggota juga memiliki kebebasan untuk mengemukakan pendapat, saran, dan kritik membangun untuk kemajuan koperasi. Hal inilah yang sering dilalaikan banyak koperasi dalam praktiknya.
Hampir dapat dipastikan, koperasi-koperasi yang terlilit kasus biasanya melenceng jauh dari hakikat koperasi. Banyak di antara koperasi berhasil mencapai penjualan serta bottom line tinggi, tetapi semua berasal dari usaha yang sedikit sekali atau bahkan sama sekali tidak memberikan kemanfaatan ekonomi kepada anggota koperasi.
Sayang, pemahaman yang keliru itu tidak hanya terjadi pada masyarakat awam, tetapi juga kalangan pemerintahan. Hal ini, misalnya, terlihat dari langkah Kementerian Koperasi dan UKM yang mengeluarkan Surat Edaran Nomor 90/M.KUKM/VIII/2012 tentang revitalisasi badan usaha koperasi dengan pembentukan usaha PT/CV. Surat itu mendorong koperasi membentuk unit usaha berbentuk PT atau CV sebagai upaya revitalisasi sekaligus peningkat daya saing menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015.
Selain menyiratkan ketidakpercayaan terhadap kemampuan kelembagaan koperasi, kebijakan itu juga menunjukkan ketidakpahaman perbedaan mendasar filosofi koperasi dengan badan usaha berbentuk PT atau CV.
Contoh lain adalah ritual tahunan pemilihan koperasi teladan di sejumlah jenjang dan bidang, yang lebih sering mengedepankan kemampuan koperasi meraih keuntungan finansial daripada keterkaitan dan kemanfaatannya terhadap peningkatan kesejahteraan anggota.
Berbeda
Untuk mencegah penyimpangan, perlu dibangun kesadaran tentang perbedaan mendasar antara badan usaha berbentuk koperasi dan badan usaha lainnya. Sebagai contoh, apabila dijumpai sebuah peluang usaha, pendirian sebuah koperasi bukanlah pilihan yang benar jika tidak terdapat kesamaan kebutuhan ekonomi para anggotanya.
Selain itu, sebuah korporasi dianggap berhasil saat membukukan angka penjualan atau keuntungan tinggi. Sebaliknya, sebuah koperasi yang meraih selisih hasil usaha kecil, barangkali akan tetap dianggap berhasil mencapai misinya jika ia mampu memberikan manfaat dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar yang menjadi anggotanya. Dengan demikian, daripada menetapkan target sedikitnya tiga koperasi di Indonesia masuk jajaran koperasi raksasa tingkat internasional 2014, mengapa tidak menetapkan target untuk kemanfaatan koperasi bagi peningkatan kesejahteraan ekonomi anggotanya.
Ali Mutasowifin, Pegiat Koperasi dan Dosen Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
(Kompas cetak, 17 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar