Baru-baru ini, BBC mengadakan diskusi tentang problem lubang hitam dalam perekonomian global ataupun suatu negara. Lubang hitam adalah konsep fenomena astronomi tentang adanya massa dalam galaksi yang mempunyai kekuatan gravitasi luar biasa untuk menyedot energi di sekitarnya.
Lubang hitam sangat gelap, bahkan cahaya pun tidak dapat keluar dari sana. Tidak banyak diketahui apa yang ada di dalam lubang hitam. Namun, diketahui, pada kedudukan tertentu, kekuatan lubang hitam akan mendistorsi eksistensi material lain.
Disahkannya RUU tentang Ormas menjadi UU merupakan indikasi paling kuat perkembangan negatif dalam demokratisasi Indonesia. Kejadian tersebut bukan soal pertentangan antara berbagai ormas dan pemerintah serta DPR, melainkan jauh lebih mendasar dari itu.
Dalam sistem demokrasi, ada yang disebut sebagai wilayah publik. Wilayah tersebut adalah tempat berbagai anggota/kelompok masyarakat membahas persoalan kebijakan publik. Berdasarkan adu argumen dari berbagai kelompok, arah suatu kebijakan diambil politisi di Dewan Perwakilan bersama pemerintah sebagai pelaksana.
Wilayah publik harus bersambungan dengan wilayah politik. Artinya, apa yang terjadi di wilayah publik harus bermakna dalam arena politik. Para politisi boleh punya kepentingan masing-masing, yaitu berebut pengaruh. Namun, semua pergulatan politik hanya absah jika mendapatkan pembenaran di wilayah publik.
Orang mungkin bertanya, "Publik yang mana?" Ini pertanyaan penting, tetapi sekunder. Perbedaan pandangan di wilayah publik adalah biasa dan ada di mana pun. Lebih penting, apakah kelompok yang berargumen dapat memberikan alasan yang dapat dibuktikan berdasarkan analisis, pengalaman, dan sejarah.
Kedua, wilayah publik mempunyai dasar normatif tentang keadilan dan akuntabilitas. Tiap anggota masyarakat yang terlibat di wilayah publik boleh punya kepentingan masing-masing, tetapi keabsahan diperoleh melalui legitimasi di wilayah publik. Tentu sewajarnya, kelompok yang paling berkepentingan diberi kesempatan yang luas untuk menyatakan pandangannya. Jika kelompok itu tidak mampu secara latar belakang sosial, kelompok lain yang disebut "masyarakat sipil" yang membantu.
Diskoneksi
Lima belas tahun setelah Reformasi, yang terjadi adalah proses diskoneksi antara wilayah publik dan arena politik. Artinya, mekanisme komunikasi politik, logika sehat, dan norma keabsahan tak lagi banyak dipedulikan para pengambil kebijakan. Maka, proses politik hanya merupakan cerminan dari arena politik.
Dua hal menandai indikasi apakah memburuk atau tidak. Pertama, apakah para elite politik merasa perlu bersusah payah memberikan argumen yang masuk akal. Artinya, argumen didukung analisis yang kompeten, bukan jargon. Mereka harus melakukan riset, analisis, dan sebagainya. Mereka harus banyak belajar dengan dibantu pihak yang kredibel. Tujuannya mendapatkan legitimasi. Kedua, apakah kebijakan atau peraturan yang diambil potensial melayani kepentingan para elite politik daripada melayani kepentingan masyarakat?
UU Ormas dibuat atas dasar argumen yang mudah dipatahkan. Salah satunya adalah arti tentang mengatur. Untuk apa negara mengatur ormas? Jika tujuannya mencegah ormas digunakan untuk hal yang buruk, sudah tersedia UU yang bertujuan hal itu. Masalahnya adalah kelemahan institusional penegak hukum dan politisasi di pelbagai kebijakan publik.
Apakah negara yang mengatur ormas sudah kompeten dan kredibel dengan pikiran yang progresif? Logika pemerintah dan elite politik adalah seakan-akan negaralah yang harus menyelesaikan persoalan masyarakat. Padahal, kelemahan institusional ada di mana-mana: ketidakberesan pelaksanaan program, penetrasi kepentingan partai politik yang masuk dalam institusi pembangunan negara, sistem pengelolaan pengetahuan (knowledge management) yang ketinggalan dibandingkan dengan negara-negara tetangga.
UU Ormas akan mengerdilkan antusiasme masyarakat menggunakan instrumen organisasi untuk mencoba menyelesaikan masalah-masalah dari tingkat sangat kecil hingga ormas besar. Pemerintahan yang benar adalah yang program-programnya membuat ormas makin kuat, seperti fasilitas pengetahuan, akses sumber daya publik, dan memfasilitasi kemitraan ormas dalam dan luar negeri.
Mirip lubang hitam
Proses politik di parlemen mirip dengan bekerjanya lubang hitam dalam sistem galaksi kita. Karena parlemen tidak mempunyai mekanisme akuntabilitas yang efektif, yang terjadi di dalamnya tidak untuk konsumsi publik. Parlemen tidak menginginkan umpan balik dalam komunikasi politik yang kemudian dipertanggungjawabkan. Tidak seperti proses dua arah yang seharusnya, yang terjadi adalah parlemen menyerap, kemudian mendistorsi kepentingan publik untuk kepentingan anggota di dalamnya. Informasi dan argumen yang berasal dari masyarakat lenyap dalam kegelapan.
Berbeda dengan lubang hitam yang merupakan ciptaan Illahi yang harus kita pelajari, lubang hitam parlemen harus dilenyapkan. Keberadaannya merusak proses demokratisasi.
Sebagai proses, demokratisasi kita membutuhkan kestabilan institusional yang artinya kepercayaan publik dan kecerdasan mengelola sumber daya publik untuk penguatan ke tahap kesejahteraan yang lebih tinggi.
Meuthia Ganie-Rochman Sosiolog Organisasi; Mengajar di Universitas Indonesia
Kompas cetak, 6 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar