Pilkada langsung sedang dikaji mendalam di DPR, menyusul revisi UU Pemerintahan Daerah yang dipecah menjadi tiga RUU. Salah satunya adalah RUU Pemilihan Kepala Daerah.
Pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung seakan penuh pesona. Namun, beberapa pihak, termasuk pemerintah, masih melihat perlunya koreksi terhadap mekanisme tersebut.
Mendiskusikan mekanisme pilkada langsung memang tidak akan tuntas jika menyebut kelebihan dan kekurangannya. Di satu sisi, kekurangan dapat ditutupi sedemikian rupa, kelebihan dapat ditingkatkan. Namun, di sisi lain, para pemerhati sering kali melupakan jalinan sistemik mekanisme ini terhadap sistem pemerintahan daerah di Indonesia secara keseluruhan dan jalinan sistemik hubungan pusat-daerah yang dikembangkan dalam sistem pemerintahan nasional NKRI.
Jalinan sistemik
Pertanyaannya, apakah kompatibel? Jika tidak, sungguh hasilnya adalah pemerintahan yang tumpul terhadap tujuan yang ingin diraih untuk kesejahteraan dan kemajuan bangsa.
Pesona pilkada langsung yang utama adalah nilai demokrasi. Imbasnya kehidupan bergerak cepat di tingkat lokal. Denyut politik keras, denyut ekonomi keras, dan denyut sosial budaya pun ikut keras menghasilkan pertumbuhan. Apakah betul pertumbuhan yang kondusif? Debat yang tak ada ujungnya. Namun, diakui, membicarakan pilkada langsung sama halnya membicarakan demokrasi langsung yang secara politik penuh pesona.
Pilkada adalah subsistem dalam sistem pemerintahan daerah. Sistem pemerintahan daerah bagian dari sistem pemerintahan nasional sebuah negara bangsa, bagian dari sistem pemerintahan negara, dan bagian dari sebuah negara bagian. Sistem-sistem tersebut dalam rangka meraih tujuan-tujuan dan nilai-nilai negara bangsa yang diinginkan. Sistem pilkada adalah alat dan tidak dalam ruang hampa. Saling terkait dan saling pengaruh dengan sistem-sistem lain.
Sistem pilkada amat dekat dalam area sistem eksekutif pemerintahan daerah. Sistem eksekutif sebuah negara-bangsa tak hanya di tingkat nasional atau negara bagian, tapi juga terjadi di tingkat lokal jika diselenggarakan desentralisasi. Desentralisasi memancar dari eksekutif nasional di negara kesatuan, dan dari eksekutif negara bagian di negara federal. Oleh karena itu, pemerintahan daerah yang ada harus konform dengan pemerintahan nasional di negara kesatuan atau pemerintah negara bagian di negara federal.
Eksekutif yang bersifat politis dan kuat dilakukan mekanisme demokratis dengan pilkada. Eksekutif yang nonpolitis tak melalui pilkada, tetapi melalui mekanisme pengangkatan. Sampai saat ini masih terdapat beberapa negara yang sistem eksekutifnya nonpolitis, terutama di negara-negara Afrika.
Tidak kompatibel
Walaupun bersifat politis, melalui pilkada langsung atau tidak, pemerintah nasional di negara kesatuan atau pemerintah negara bagian di negara federal mempunyai kepentingan dalam proses pemilihan tersebut. Pemerintah nasional di negara kesatuan atau pemerintah negara bagian di negara federal dapat mengaturnya agar kebijakan pusat dapat mudah dipahami oleh elemen daerah otonom, terutama oleh kepala daerah terpilih.
Dalam konteks pemerintahan daerah, negara yang paling demokratis seperti Amerika saja terdapat beberapa negara bagian di mana di daerahnya tak dipraktikkan pilkada langsung. Di negara federal, letak pemda berada di bawah negara bagiannya. Sistem pemda bergantung pada negara bagian masing-masing.
Pilkada langsung umumnya dilaksanakan di negara yang berkiblat pada sistem pemda ke Inggris-Amerika yang menganut sistem pemerintahan daerah bercorak sistem fungsional, tanpa wakil pemerintah pusat. Negara yang berkiblat Eropa-Kontinental, yakni bercorak sistem prefektorat, yang mengacu adanya wakil pemerintah pusat amat jarang mempraktikkan pilkada langsung. Umumnya melalui DPRD.
Di negara yang mengacu pada sistem fungsional ber-"pilkada-langsung" pun diacu pola strong major. Di luar strong major, hampir tidak ada yang menganut pilkada langsung.
Sejak zaman Pemerintah Hindia Belanda, sistem prefektur terintegrasi telah diacu di Nusantara. Sejak masa awal kemerdekaan pun kita masih mempertahankannya, kini tersisa posisi atau status wakil pemerintah hanya di pundak gubernur. Dikembangkan dan dipertahankannya wakil pemerintah ini membawa logika amat sulit jika kedudukan gubernur tersebut direkrut dengan nilai demokrasi 100 persen (dari pilkada langsung).
Sistem ini mengacu pada apa yang dikembangkan Napoleon Bonaparte di Perancis. Di Perancis, di level terendahnya sekarang dilakukan pilkada langsung, tapi hanya untuk menguji nilai penerimaan masyarakat lokal. Struktur yang di atasnya tidak dilakukan pilkada langsung, melainkan melalui DPRD dan tetap untuk menguji penerimaan masyarakat lokal. Jadi, nilai demokrasi dalam konteks pemerintahan daerah tidak mutlak. Ia pun dibarengi dengan uji nilai lainnya.
Bung Hatta, Bapak Demokrasi Indonesia, saat menentukan rumusan UU Pemda No 1/1957 sempat pecah kongsi dengan Bung Karno karena tidak setuju terkait diaturnya pilkada langsung. Jika melihat sistem besar, maka sistem pilkada di Indonesia yang cocok adalah melalui DPRD tanpa melukai demokrasi.
Irfan Ridwan Maksum Guru Besar Tetap Ilmu Administrasi Publik FISIP UI; Anggota DPOD RI dan Board PATTIRO
(Kompas cetak, 6 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar