Kode pidana (penal code) merupakan kompilasi rumusan-rumusan perbuatan yang dinyatakan sebagai perbuatan pidana disertai dengan pidana (hukuman) yang akan dijatuhkan apabila perbuatan tersebut dilakukan.
Dalam sebuah yurisdiksi, kode pidana itu mengompilasi semua atau hampir semua rumusan pemidanaan yang berlaku di dalam yurisdiksi tersebut. Pada masa Napoleon Bonaparte, Perancis mampu mengodifikasikan semua rumusan pemidanaan yang ada di Perancis ke dalam sebuah kode pidana. Sampai kini, kode pidana itu selalu di-update sesuai dengan perkembangan di Perancis sehingga rakyat Perancis bisa mendapatkan seluruh atau hampir seluruh rumusan pemidanaan yang berlaku di Perancis di dalam satu kode pidana tersebut.
Ini menunjukkan, Napoleon adalah pemimpin yang visioner dan bukan elite politik kelas capung. Negara-negara lain penganut sistem civil law umumnya juga seperti itu.
Belantara pidana saat ini
Sampai kini, rumusan pemidanaan di Indonesia tersebar di dalam belantara undang-undang (UU). Rumusan pemidanaan yang secara resmi berlaku di Indonesia tercantum di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) (UU Nomor 1 Tahun 1946). Di samping itu, terdapat ratusan pasal yang memuat rumusan pemidanaan yang tersebar di 156 UU lainnya. Ini belum memasukkan pasal-pasal pemidanaan yang dirumuskan di dalam ribuan peraturan daerah. Penyebaran pasal pemidanaan dalam belantara UU ini telah diidentifikasi Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) pada http://hukumpidana.bphn.go.id, tetapi belum bisa dikodifikasikan seluruhnya ke dalam KUHP.
Penyebaran rumusan pemidanaan di dalam ratusan UU tersebut menjadikan secara praktikal tidak mungkin bagi rakyat Indonesia untuk dapat mengetahui secara keseluruhan perbuatan-perbuatan pidana yang harus dihindari. Para penegak hukum pun akan mengalami kesulitan untuk mengetahui keseluruhan pasal-pasal pemidanaan yang harus ditegakkan. Bahkan, para legislator pun akan mengalami kesulitan mengawasi pelaksanaan pasal-pasal pemidanaan tersebut. Lalu, kalau tidak akan dapat ditegakkan dan tidak dapat mengawasi pelaksanaannya, kenapa pasal-pasal pemidanaan tersebut dulu dibuat?
Sebenarnya, menjadi sebuah kabar yang membanggakan bahwa Presiden telah menyampaikan RUU KUHP kepada DPR untuk segera dibahas dan disetujui menjadi KUHP. Ini membanggakan mengingat usaha untuk memperbarui KUHP sudah dilakukan puluhan tahun, tetapi masih belum berhasil menghasilkan KUHP yang baru.
Namun, setelah mempelajari isi RUU KUHP, ternyata akan menggantang asap jika rakyat Indonesia berharap bahwa setelah ada KUHP yang baru, rumusan pemidanaan menjadi tidak tersebar di belantara UU lagi. Hal ini karena RUU KUHP tak sepenuhnya mengakomodasi pasal-pasal pemidanaan yang secara hukum masih berlaku dan tersebar di 156 UU lain.
RUU KUHP juga tidak secara akurat mencabut pasal-pasal tersebut. RUU KUHP yang menyatakan "semua ketentuan pidana yang diatur dalam UU di luar UU ini dinyatakan tetap berlaku sepanjang materinya tidak diatur dalam UU ini" menunjukkan bahwa penyusun RUU KUHP tak mampu mengidentifikasi satu per satu pasal-pasal pemidanaan yang tersebar dalam belantara UU yang lain. Akibatnya, diprediksi bahwa setelah RUU KUHP ditetapkan menjadi UU KUHP, hukum pidana Indonesia akan tetap masih tersebar di belantara UU yang akan memunculkan beragam multitafsir.
Selain itu, tidak ditemukan ada studi yang bisa menunjukkan pasal-pasal KUHP yang selama ini telah dapat ditegakkan secara efektif, pasal-pasal yang setengah efektif, dan pasal-pasal yang tidak efektif. Demikian juga terhadap pasal-pasal pemidanaan yang tersebar dalam ratusan UU lain itu. Lalu, apa gunanya merevisi UU kalau kita tak mempelajari terlebih dahulu efektivitas pelaksanaan dan penegakan dari UU yang akan direvisi.
Membangun kode pidana
Langkah-langkah logis sebenarnya dengan mudah dapat dirumuskan untuk menghasilkan KUHP baru yang benar-benar akan menjadi kode pidana Indonesia. Langkah-langkah tersebut, pertama, mengompilasi semua pasal pemidanaan yang berlaku yang ada di dalam KUHP dan yang tersebar di 156 UU lainnya, lalu mengodifikasikannya ke dalam RUU KUHP.
Kedua, merumuskan pasal-pasal di dalam RUU KUHP yang diperlukan untuk mencabut semua pasal pemidanaan yang tersebar di 156 UU termaksud di atas. Pencabutan pasal per pasal ini diperlukan agar setiap orang menjadi tahu secara akurat bahwa suatu pasal pemidanaan sudah dicabut dan hal ini tidak dapat ditafsirkan lain.
Langkah ketiga, melakukan harmonisasi, sinkronisasi, dan integrasi pasal-pasal yang sudah dikodifikasikan dalam RUU KUHP.
Keempat, dilanjutkan dengan memasukkan dan menambahkan pemikiran-pemikiran baru, pemikiran berdasarkan hasil evaluasi efektivitas pelaksanaan pasal-pasal pidana yang telah ada, kebutuhan-kebutuhan baru, dan sinkronisasi dengan hukum pidana di dunia internasional.
Dengan langkah-langkah di atas, Indonesia akan memiliki satu KUHP dengan semua pasal pemidanaan sudah akan terkodifikasikan di dalam KUHP. Setidak-tidaknya, sebagian besarnya terkodifikasi di dalam KUHP tersebut. Selanjutnya, setiap kali DPR membuat UU baru yang di dalamnya terdapat pasal pemidanaan, pasal pemidanaan itu harus dirumuskan sebagai amendemen yang menjadi sisipan pada KUHP. Dengan demikian, ke depan, tidak muncul lagi pasal-pasal pemidanaan yang dirumuskan di luar KUHP.
Dengan begitu, seluruh rakyat Indonesia akan lebih mudah mengetahui keseluruhan perbuatan pidana yang harus dihindari. Para penegak hukum akan lebih mudah mengetahui hukum pidana yang harus ditegakkan dan para legislator tetap akan lebih mudah mengawasi pelaksanaan hukum pidana yang telah mereka buat.
Amien Sunaryadi
Mantan Wakil Ketua KPK; Perancang Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional 1999 BPKP
(Kompas cetak, 16 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar