Tidak banyak yang tahu, Indonesia memiliki tak kurang 67 perjanjian investasi bilateral dengan negara lain hingga kini.
Perjanjian investasi bilateral (PIB) paling tua adalah perjanjian dengan Belgia dan Luksemburg (1970). Jumlah PIB akan terus bertambah seiring keterlibatan Indonesia dalam perdagangan bebas (FTA) intra-ASEAN dan ASEAN dengan non-ASEAN (Australia-Selandia Baru, China, Jepang, Korea, dan India). Salah satu bab dalam FTA memuat perjanjian investasi.
Keberadaan PIB sangat relevan pada masa-masa awal pembangunan sebagai salah satu pemanis agar investor asing mau menanamkan modal. PIB memuat komitmen pemerintah untuk melindungi investor asing dan investasinya dari berbagai gangguan dan kerugian yang bersifat nonkomersial. Termasuk dari gangguan keamanan akibat perang, kerusuhan sosial, atau yang serupa. Pemerintah dilarang melakukan nasionalisasi dalam arti luas (expropriation).
Manakala pemerintah, misalnya, lalai atau sengaja melakukan nasionalisasi dan/atau gagal menjaga keamanan sehingga menyebabkan kerugian investor asing, investor itu dapat menuntut pemerintah membayar kompensasi. Bahkan, sangat terbuka bagi investor asing itu membawa tuntutannya ke arbitrase internasional.
Hak dan kewajiban
Jadi, PIB pada prinsipnya hanya memuat dua hal, yaitu kewajiban pemerintah melindungi investor asing dan investasinya, serta hak-hak investor asing dan investasinya. Bentuk perlindungan sangat luas. Tidak hanya yang disebutkan sebelumnya, tetapi juga perlakuan yang "adil dan sama rata" (fair and equitable treatment) dan pemberian perlindungan dan keamanan sepenuhnya (full protection and security). Tak ada batasan jelas bagi kedua provisi tersebut.
Investasi yang dilindungi pemerintah mencakup seluruh jenis, baik berwujud (tangible), seperti aset, maupun tidak berwujud (intangible), seperti hak cipta, merek, dan paten. Cakupan perlindungan yang sangat luas terhadap jenis investasi yang nyaris tak terbatas itu membuka peluang bagi investor asing untuk menggunakan PIB sebagai dasar menyelesaikan sengketa yang timbul dengan pemerintah.
Konferensi Perdagangan dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCTAD) mencatat, perkembangan sengketa antara investor asing dan pemerintah host country semakin meningkat. Jika pada tahun 1990-2000 hanya tercatat 37 kasus, pada tahun 2000-2010 tercatat 355 kasus, baik yang statusnya masih dalam proses atau sudah diputuskan.
Penyelesaian sengketa pada umumnya melalui lembaga arbitrase seperti International Center for Settlement of Investment Dispute (ICSID) ataupun ad-hoc, seperti United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL). PIB menjadi dasar pengajuan sengketa beberapa perusahaan.
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat realisasi investasi asing selama tiga tahun terakhir meningkat cukup tajam, masing-masing sekitar 16 miliar dollar AS (2010), 19,5 miliar dollar AS (2011), dan 25 miliar dollar AS (2012).
Kuartal I-2013 tercatat 7 miliar dollar AS realisasi investasi asing langsung. Lebih dari separuh (4 miliar dollar AS) berasal dari Jepang, AS, Korea Selatan, Singapura, dan Inggris. Sektor yang paling diminati adalah pertambangan (19,5 persen), industri kimia dasar, barang kimia dan farmasi (17,4 persen), industri logam dasar, barang logam, mesin dan elektronik (14,8 persen), industri alat angkutan dan transportasi lainnya (12,3 persen), industri kertas, barang dari kertas, dan percetakan (8,2 persen), industri lainnya (27,8 persen). Namun, realitasnya jauh lebih besar karena BKPM tidak mencatat investasi di sektor migas, keuangan, dan rumah tangga.
Potensi implikasi
Seiring jumlah investasi asing yang semakin meningkat tiap tahun, seyogianya pemerintah semakin mewaspadai potensi dari implikasi perlindungan kepada investor asing. Sebagai negara yang ikut menandatangani konvensi ICSID, anggota UNCITRAL, dan pemilik 67 PIB, Indonesia harus bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Beberapa kasus bisa dijadikan pelajaran. Sebut saja kasus Amco Asia Corporation (1980-an), Karaha Bodas Company (1990-an), dan yang terbaru, Churcill (2012). Kasus terakhir ini menggunakan PIB Indonesia-Inggris tahun 1976 sebagai rujukan atas gugatan kepada pemerintah 2 miliar dollar AS (Kompas, 6/7/2012). PIB Indonesia-Inggris 1976 itu juga digunakan Rafat Ali untuk menggugat pemerintah dalam kasus Bank Century.
Beberapa kasus itu bisa dirujuk pemerintah dalam meninjau kembali perjanjian investasi yang dimiliki, termasuk PIB. Salah satu yang dapat dilakukan, menegosiasi ulang PIB. Misalnya, menambah beberapa pasal pengaman dalam PIB, antara lain mengecualikan kebijakan pemerintah demi kepentingan publik, termasuk kebijakan memelihara kestabilan sistem keuangan dan perlindungan konsumen sehingga ada keseimbangan dan sikap saling menghormati antara investor asing sebagai pemilik modal dan pemerintah sebagai tuan rumah yang berdaulat.
Joko Siswanto
Peneliti Senior Divisi
Internasional Otoritas
Jasa Keuangan RI
(Kompas cetak, 3 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar