Belum hilang dari ingatan akan "Kisah Bang Maman dari Kali Pasir" yang mengajari anak kelas II SD tentang istri simpanan kini muncul kisah "Anak Gembala dan Induk Serigala" yang mengajari anak-anak kelas VI SD tentang pornografi.
Kisah "Anak Gembala dan Induk Serigala" terdapat dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia untuk siswa kelas VI SD, dicetak oleh CV Graphia Buana Bogor, Maret 2013. Buku ini mengisahkan, seorang anak mandor, yang hamil di luar nikah, terpaksa melacurkan diri demi menghidupi anaknya di kampung.
Apakah ini bentuk pendidikan karakter bagi anak-anak SD agar mereka sadar dan waspada supaya tak hamil di luar nikah? Ataukah teks dalam buku ini ingin mengajarkan arti tanggung jawab, pengorbanan seorang ibu yang harus berjerih payah, bahkan mengorbankan tubuhnya, demi anak-anaknya?
Meskipun bisa diinterpretasi sebagai pengajaran nilai pengorbanan dan tanggung jawab, teks ini sangat tidak cocok bila diberikan untuk anak kelas VI SD. Pun bila kisah macam ini diberikan kepada siswa SLTA. Banyak kata yang dikutip dalam teks mengandung unsur pornografi, erotisme, dan sosialisasi kehidupan sekelompok masyarakat yang dianggap tidak bermoral.
Lolosnya buku pelajaran jenis "Kisah Bang Maman dari Kali Pasir" serta "Anak Gembala dan Induk Serigala" menunjukkan tak berfungsinya sistem kontrol kualitas buku pelajaran, rendahnya kualitas penulis buku pelajaran, dan abainya penerbitan pada peningkatan kualitas pendidikan nasional.
Sistem seleksi dan produksi buku pelajaran di masa Orde Baru dilakukan terpusat dengan pemegang kuasa tunggal pada PN Balai Pustaka. Sistem terpusat ini berpotensi menjadi alat ideologi politik kepentingan penguasa seperti terjadi pada masa Soeharto. Akibatnya, dinamika perkembangan ilmu pengetahuan tak terakomodasi, pemikiran kritis mati, karena semua materi pembelajaran, cara pengajaran dan evaluasi dilakukan secara terpusat. Ruang bagi kreasi dan inovasi pembelajaran menjadi hilang.
Pada 1990-1999, sistem kontrol buku pelajaran dilakukan Depdiknas bekerja sama dengan Bank Dunia. Hanya penerbit yang lolos seleksi yang bisa berpartisipasi dalam pengadaan buku pelajaran. Setelah itu, Pusat Kurikulum Perbukuan mengambil alih kendali sistem kontrol dengan sistem adopsi terpusat, di mana kualitas buku pelajaran ditentukan dari pusat melalui daftar buku yang direkomendasi. Sistem penggandaan dan percetakan dilakukan melalui tender.
Sekarang, Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP) menjadi lembaga pengontrol kualitas buku pelajaran, dengan sistem yang tak jauh beda dengan sebelumnya. Namun, kewenangan BSNP dilucuti dengan adanya aturan otonomi daerah, di mana pemerintah daerah memiliki kekuasaan penuh mengelola dunia pendidikan, termasuk seleksi dan produksi buku-buku pelajaran.
Selain terjadi disfungsi sistem kontrol, sistem perekrutan penulis buku pelajaran juga tidak jelas. Setiap orang asal bisa menulis dapat menjadi penulis buku pelajaran tanpa melewati sistem seleksi yang teruji.
Mekanisme pasar
Pengaturan tata niaga buku pelajaran banyak didominasi kepentingan pasar daripada pertimbangan pedagogi. Dengan jumlah siswa 58 juta orang, 3 juta guru, bisnis buku pelajaran menjadi semacam magnet bagi penerbit dan percetakan. Dengan jumlah rupiah yang begitu besar, kolusi dan korupsi terkait buku pelajaran terbuka lebar.
Di tingkat lokal, pengambilan keputusan untuk mempergunakan buku pelajaran tertentu sering kali lebih dimotivasi kepentingan bisnis dan keuntungan daripada kualitas isi buku. Para kepala sekolah dan guru lebih mendasarkan diri pada besaran diskon dari penerbit. Situasi ini diperparah dengan kolusi antara penerbit dan pengelola pendidikan daerah, yang sering kali memanfaatkan kekuasaan demi kepentingan kelompoknya.
Menghadapi kenyataan ini, paling tidak ada tiga solusi. Pertama, pemerintah perlu membangun sistem evaluasi yang demokratis, transparan, dan melibatkan kontrol publik. Mengembalikan sistem kontrol buku pelajaran ke pusat tak akan menyelesaikan masalah. Pokok persoalannya bukan di pusat atau daerah, melainkan desain sistem seleksi buku pelajaran yang bersifat elitis, tak melibatkan publik.
Kedua, pemerintah perlu mendesain sistem perekrutan penulis buku pelajaran secara transparan dan obyektif yang melibatkan praktisi, akademisi, ahli bahasa, pedagog, ahli di bidang ilmu pengetahuan tertentu, dan melibatkan pakar media (desain grafis) agar dapat melahirkan buku pelajaran dengan kualitas tinggi. Sistem perekrutan penulis buku pelajaran yang baik akan menghasilkan buku berkualitas, jauh dari isi non-edukatif ataupun bias dan prasangka. Penyelia buku (reviewer) pun perlu dibekali pengetahuan kritis tentang kemungkinan adanya berbagai macam bias (suku, agama, ras, status sosial-ekonomi, dan ideologi) yang bisa menyusup dalam buku-buku pelajaran.
Ketiga, di tengah sistem pendidikan yang semuanya terdorong oleh pasar, strategi mengubah preferensi dan praksis pembeli sangat penting. Para guru dan kepala sekolah sebagai pelaku utama di lapangan merupakan benteng terakhir yang menentukan terpakai atau tidaknya buku pelajaran tertentu. Mengedukasi bagaimana guru, kepala sekolah, dan kepala dinas pendidikan mampu menyeleksi buku-buku berkualitas yang masuk di ruang sekolah kita merupakan sebuah kemendesakan.
Doni Koesoema A
Pemerhati Pendidikan
(Kompas cetak, 17 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar