Langkah pemerintah menyempitkan hak remisi bagi terpidana korupsi sepertinya akan mendapatkan perlawanan sengit. Niat menentang datang dari sejumlah terpidana korupsi, yang menganggap langkah itu bertentangan dengan hak asasi manusia dan aturan hukum lembaga pemasyarakatan (Kompas, 12 Juli 2013). Alasan tambahannya, persyaratan memohon remisi bagi terpidana korupsi harus mau menjadi justice collaborator dinilai mengada-ada. Alhasil, para terpidana korupsi yang merasa haknya dikebiri bertekad menguji PP No 99/2012, aturan hukum yang menjadi baju dari kebijakan pengetatan remisi.
Menarik mencermati rencana perbantahan di seputar aturan remisi bagi terpidana korupsi. Apa benar peraturan yang diundangkan tanggal 12 November 2012 melanggar hak para koruptor? Apa benar PP No 99/2012 bertentangan dengan UU No 12/ 1995 tentang Pemasyarakatan sebagai aturan yang lebih tinggi?
Pengaturan remisi
Dalam Pasal 14 Ayat 1 Huruf i UU No 12/1995 memang ditentukan narapidana berhak mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi). Kemudian, dalam ketentuan berikutnya, Pasal 14 Ayat 2, dikatakan syarat dan tata cara pelaksanaan hak narapidana diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Untuk ini, telah terbit tiga peraturan: PP No 32/1999; PP No 28/2006; dan terakhir PP No 99/2012.
Penjelasan Pasal 14 Ayat 1 Huruf i dan j UU tentang Pemasyarakatan juga tak lupa menyebut, ”diberikan hak tersebut (remisi dan asimiliasi) setelah narapidana bersangkutan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh peraturan perundang- undangan.” Kata ”peraturan perundang-undangan” merujuk pada ketentuan sebagaimana diatur Pasal 14 Ayat 2 UU No 12/1995, yakni ”Peraturan Pemerintah”.
Norma UU Pemasyarakatan mengamanahkan hak remisi bagi narapidana diatur sedemikian rupa dalam PP, bukan UU. Lagi pula, sesuai Pasal 12 UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, materi muatan PP adalah menjalankan UU sebagaimana mestinya. Artinya, secara hierarki peraturan perundang-undangan, pengaturan remisi ke dalam PP benar; tidak melanggar hukum.
Lalu, apakah materi muatan PP No 99/2012 bertentangan dengan UU No 12/1995? Mari kita baca sekali lagi PP Remisi itu.
Ketentuan yang konon dianggap bermasalah adalah Pasal 34A Ayat 1 Huruf a. Penggalan kalimat pada norma tersebut berbunyi, ”Pemberian remisi bagi narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 juga harus memenuhi persyaratan: (a) bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya....”
Dari penggalan bunyi norma yang ada, tak satu pun ada kata ”larangan” memberikan remisi kepada narapidana. Pasal 34A Ayat 1 PP No 99/2012 tetap mengatur remisi berhak diberikan kepada narapidana. Lalu, di mana letak pertentangan hukumya? Di mana pelanggaran hak narapidananya? Tidak ada! Atau setidaknya susah ditemukan. Pendek kata, PP No 99/2012 tak bertentangan dengan UU No 12/1995.
Apakah syarat tambahan agar terpidana korupsi mau bekerja sama adalah syarat yang mengada-ada dan melanggar hak narapidana? Dahulu, seperti dimaktubkan dalam penjelasan umum UU Pemasyarakatan, sistem pemenjaraan sangat menekankan unsur balas dendam. Oleh karena itu, rumah penjara yang jadi tempat menjera terpidana dianggap tak sesuai dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial. Demi mengganti rumah penjara, diperkenalkanlah konsep lembaga pemasyarakatan.
Keuntungan ganda
Lebih lanjut ditekankan, narapidana bukanlah obyek, melainkan subyek yang sama dengan manusia lain, sewaktu-waktu salah dan khilaf. UU No 12/1995 bertekad memberantas faktor penyebab narapidana melakukan tindak pidana. Selain itu, tujuan pemidanaan, adalah menyadarkan narapidana agar menyesali perbuatannya, mengembalikannya lagi ke dalam masyarakat, sehingga tercipta kehidupan yang damai, tertib, dan aman.
Sama halnya dengan UU No 12/1995, tujuan PP No 99/2012 juga tak jauh beda. Ia berusaha menyadarkan narapidana dan mengembalikannya kepada masyarakat. Setiap narapidana, termasuk terpidana korupsi, dipercepat agar diterima kembali ke masyarakat. Bagaimana bisa?
Dalam masyarakat yang sehat, label koruptor merupakan aib yang menjijikkan dan memalukan. Harga diri seorang koruptor jatuh di hadapan masyarakat. Untuk menaikkan kembali kehormatan dan nama baik yang hancur lebur, dibutuhkan usaha luar biasa dari terpidana korupsi. Pada kesempatan ini, PP No 99/ 2012 membuka jalannya dengan syarat mau bekerja sama memberantas korupsi. Ini adalah jalur bebas hambatan yang disediakan negara bagi koruptor yang mau bersihkan namanya.
Agus Tjondro adalah pelajaran dan contoh hidup bagaimana nama baik dapat dikerek dari jurang olok-olok dan makian. Caranya sederhana, ia aktif turut memberikan keterangan mengenai kasus suap pemilihan pejabat BI tahun 2005. Bedanya, sekarang pola bekerja sama ini dilembagakan secara hukum melalui perubahan ketiga aturan tentang remisi sebagai satu kesatuan syarat untuk memperoleh remisi. Terpidana korupsi semestinya bisa dengan saksama memanfaatkannya.
Akhirnya PP No 99/2012 jadi satu kesempatan emas bagi terpidana korupsi untuk memutar jarum pandangan publik sebab ia memberikan keuntungan ganda. Pertama, koruptor mendapat pengurangan masa pidana. Kedua, dapat mengangkat nama baiknya yang ada di dasar cacian.
Apalagi, jangan pula dilupakan, dengan masifnya pemberitaan media, tak susah kiranya melambungkan nama baik para terpidana korupsi yang telah sudi menjadi pembantu penegak hukum dalam membongkar kasus korupsi. Dengan demikian, bukankah hal bodoh jika terpidana korupsi terus-terusan menentang PP Remisi?
(Kompas cetak, 25 Juli 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar