Salah satu agenda pembahasan di dalam Program Legislasi Nasional 2013 adalah RUU Pertanahan. Apakah benar RUU Pertanahan mengacu pada UUPA 1960? Apakah pengadilan pertanahan adalah mandat UUPA 1960?
Dalam tulisan di Kompas, Usep Setiawan telah menegaskan bahwa RUU Pertanahan harus melaksanakan UUPA 1960 ("Menggugat Urgensi RUU Pertanahan", 17 Mei 2013) dan tentang pengadilan pertanahan ("Merintis Pengadilan Pertanahan", 26 Juni 2013)
Beberapa kerancuan
Di dalam "Menimbang" RUU Pertanahan dinyatakan, "bahwa dalam perkembangan pelaksanaan kebijakan pembangunan yang cenderung mengutamakan pertumbuhan ekonomi, telah memungkinkan terjadinya penafsiran yang menyimpang dari tujuan dan prinsip-prinsip UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dengan berbagai dampaknya", dan "bahwa UU No 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria sebagai peraturan perundang-undangan yang mengatur bidang pertanahan dalam pokok-pokoknya perlu dilengkapi sesuai dengan perkembangan yang terjadi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat".
Di dalam "Menimbang" RUU Pertanahan terlihat ada dua yang ditekankan. Pertama, kekeliruan penafsiran UUPA 1960. Kedua, perlunya membuat aturan baru guna melaksanakan UUPA 1960 dan memenuhi masyarakat.
Oleh karena itu, supaya tidak keliru menafsirkan dan membikin aturan turunan dari UUPA 1960, RUU Pertanahan wajib mengidentifikasi apa saja di dalam UUPA 1960 yang perlu diatur lebih lanjut.
Jika kita mengidentifikasi perintah UUPA 1960 untuk membikin pengaturan lebih lanjut, lalu mengidentifikasi pengaturan- pengaturan yang ada dalam RUU Pertanahan, terlihat RUU Pertanahan tak memuat pengaturan tentang hubungan hukum antara orang dan tanah untuk mencegah pemerasan. Padahal, hal tersebut diperintahkan dalam Pasal 11 Ayat 1 UUPA 1960.
RUU Pertanahan juga berbeda dengan UUPA 1960 terkait dengan macam hak atas tanah. Di dalam RUU Pertanahan, hak atas tanah terdiri dari: (1) hak milik, (2) hak guna usaha, (3) hak guna bangunan, (4) hak pakai, dan (5) hak sewa untuk bangunan. Lebih sedikit dari apa yang ditentukan UUPA 1960, di mana hak atas tanah meliputi: (1) hak milik, (2) hak guna usaha, (3) hak guna bangunan, (4) hak pakai, (5) hak sewa, (6) hak membuka tanah, (7) hak memungut hasil hutan, (8) hak-hak lain yang tak termasuk dalam hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang- undang serta hak-hak yang bersifat sementara.
Dengan mempertegas bahwa hak memungut hasil hutan adalah ranahnya pertanahan, diharapkan akan mengakhiri sektoralisme yang kontradiktif antara kebijakan pertanahan yang merupakan domain Badan Pertanahan Nasional dan kebijakan kehutanan yang merupakan domain dari Kementerian Kehutanan. Dengan demikian, persoalan desa dan tanah garapan petani yang berada di dalam wilayah hutan bisa dicarikan solusinya, dan program pembaruan agraria berjalan karena tanah di kawasan hutan yang merupakan sumber pengadaan tanah terbesar bisa diredistribusikan kepada para petani.
Menghindar dari yang sudah diatur UUPA 1906, justru RUU Pertanahan membikin aturan tentang hak pengelolaan (HPL), sebuah konsep yang tidak dikenal dalam UUPA 1960, yang selama ini dalam praktiknya menjadi alas hak atas tanah yang dikelola instansi pemerintah. Padahal, sejumlah kalangan memandang HPL itu adalah hak menguasai negara (HML) itu sendiri dan Mahkamah Konstitusi dalam putusan permohonan uji materi UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil juga menyatakan bahwa pengelolaan adalah salah satu fungsi dari hak menguasai negara yang merupakan wilayah kerja dari BUMN.
Pun demikian RUU Pertanahan tak menjawab dinamika baru dalam persoalan pertanahan, misalnya hak atas ruang atas tanah dan hak atas ruang bawah tanah yang terkait dengan keinginan membangun kereta api bawah tanah dan kereta api monorel yang berdampak pada hak atas tanah warga yang ruang bawa dan atasnya terkena dampak. Demikian pula halnya dengan pengadilan pertanahan, tak ada mandat untuk membentuk pengadilan pertanahan.
Mandat RUU Pertanahan
Pertama, hukum pertanahan harus mengatur bahwa tanah akan dipergunakan sesuai sifatnya dan peruntukannya sehingga dapat mencegah hilangnya nilai ekonomi, rusaknya pranata sosial, hilangnya kesuburan tanah, rusaknya lingkungan hidup, serta kerugian negara dan masyarakat lainnya.
Kedua, hukum pertanahan yang mampu menyelesaikan konflik pertanahan yang berkeadilan dan berpihak kepada korban dengan memenuhi pemulihan hak-hak korban pelanggaran HAM, khususnya pelanggaran hak atas tanah, memenuhi dan melindungi hak rakyat atas tanah, serta perlindungan khusus kepada kelompok rentan.
Ketiga, kesatuan hukum nasional, yaitu sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundangan pertanahan dalam hukum pertanahan nasional yang merupakan cerminan dari persatuan Indonesia yang bineka tunggal ika. Ini ditunjukkan dengan pengakuan hak masyarakat hukum adat dan kesatuan tanah tumpah darah Indonesia (teritorial Indonesia) sebagai negara kepulauan, di mana hanya warga negara Indonesia yang memiliki hak milik atas tanah.
Keempat, hukum pertanahan mengatur prinsip demokrasi ekonomi. Penggunaan tanah disusun sebagai usaha bersama dengan asas kekeluargaan dan mengatur hak menguasai negara atas tanah dan cabang produksi yang terkait hajat hidup orang banyak di pertanahan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat serta mencegah praktik monopoli, diskriminasi, dan pemerasan.
Kelima, hukum pertanahan yang bisa menjadi landasan kebijakan yang terkait dengan kebutuhan tanah dalam rangka kesejahteraan rakyat. Akan tetapi, tanah juga mempunyai fungsi sosial yang bersumber dari ajaran agama, pengetahuan tradisional, dan cita-cita kemerdekaan nasional, demokrasi, dan keadilan sosial yang merupakan dasar pendirian pemerintahan negara Republik Indonesia.
Gunawan Ketua Eksekutif Indonesian Human Rights Committee for Social Justice/Anggota Pokja Khusus Dewan Ketahanan Pangan RI
(Kompas cetak, 24 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar