Sekarang ini secara legal-formal petani sungguh dimanjakan melalui beragam perundangan. Hal ini tampak dari banyaknya dokumen yang menegaskan pentingnya kesejahteraan, kemandirian dan kedaulatan. Program pemberdayaan, pengembangan sistem ketahanan pangan nasional, sampai swasembada, semua memandatkannya.
Persoalan kemandirian dan kedaulatan pangan yang juga menyejahterakan petani akhirnya ditegaskan UU No 18/2012 tentang Pangan. Secara legal-formal, tampaknya UU ini masih dianggap tak cukup. Karena itu, RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (PPP) yang memandatkan kesejahteraan, kemandirian, dan kedaulatan petani baru-baru ini disetujui DPR menjadi UU.
Tanpa menutup fakta masih adanya kontroversi substansi, boleh dikatakan kedua UU itu lebih dari cukup dalam membingkai proteksi dan kepentingan petani. Persoalan menjadi mengemuka ketika beragam tekad politik yang protektif itu ternyata tak pernah jadi realitas lapangan, yang merupakan kebutuhan riil petani, bukan sekadar proteksi legalistik-formalistik.
Untuk menilai betapa kuatnya proteksi legal kedua UU ini bisa disebut pasal paling relevan untuk mencermati krisis pangan mutakhir dan kaitannya dengan importasi umumnya, khususnya impor daging sapi yang tidak kunjung reda.
UU No 18/2012 menyebut pada Pasal 36 (1) "Impor pangan hanya dapat dilakukan apabila produksi pangan dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri". Sementara Pasal 31 UU PPP berbunyi "Setiap orang dilarang memasukkan komoditas pertanian dari luar negeri pada saat ketersediaan komoditas pertanian di dalam negeri sudah mencukupi kebutuhan konsumsi dan cadangan pangan pemerintah".
Tanpa UU pun, tuntutan substantif yang mencakup dua pasal ini sebenarnya telah sekian lama jadi tekad pemerintah, yang kemudian dirumuskan dalam segala peta jalan swasembada pangan, dan dokumen lainnya. Kenyataannya, dinamika pangan nasional tidak pernah lepas dari krisis tata niaga dengan penyebab utama besarnya pengaruh importasi.
Selalu saja ada pembenaran legal bagi importasi. Beragam kebijakan pangan, sengaja atau tidak sengaja, memudahkan terwujudnya fakta legal dan rekonstruksi kelangkaan, data pasar sulapan, gejolak sosial rekayasa, dan segala indikasi lapangan, sebagai pembenaran kelangkaan dan wajib impor. Pesimisme mencuat ketika selalu tersuguh realitas aneka krisis pangan seperti kedelai, beras, gula, bawang, cabai, singkong, produk hortikultura umumnya, dan semuanya, sampai krisis daging sapi yang tak kunjung padam.
Rekonstruksi krisis sapi
Bahasa pesimistisnya, "lain legalitas, lain pula realitasnya". Karut-marut tata niaga ini nyaris terjadi pada semua komoditas pangan yang disulap jadi semakin bergantung pada pangan impor dengan pembenaran lebih canggih dari upaya proteksi petani. Model sulapan ini sudah sangat standar dan dipertontonkan dalam aneka pendekatan.
Pembenaran impor biasa dilakukan melalui pelangkaan barang dan pendekatan agitatif. Untuk kasus daging sapi, misalnya, dengan pelangkaan, sekurangnya terdapat sembilan jalur pendekatan: (1) membuat resah konsumen; (2) agitasi industri pemakai bahan baku; (3) membangun keresahan pedagang pasar dan perantara; (4) menggerakkan pekerja terkait; (5) advokasi ke partai politik; (6) menggalang isu politik fraksi DPRD-DPR; (7) negosiasi birokrasi; (8) mobilisasi kritik akademisi; dan (9) menjual fatwa rohaniwan.
Sejumlah modus dekadensi nurani itu sangat standar dan sebenarnya mudah dideteksi. Mudah dideteksi, tetapi tidak pernah dilakukan, meski beragam asas legal dan kekuatan politik dimiliki pemerintah dengan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II-nya. Pertanyaannya, kenapa kekuatan paripurna itu mandul dan kehilangan kekuatan, bahkan acap kali kontroversi yang tampak dalam KIB II ketika krisis komoditas pangan meradang, apa pun komoditasnya.
Spiritualisasi pembangunan, struktur penyelenggara negara, segala kebijakan dan dokumen legal rasanya merupakan kebutuhan mendesak. UU PPP dan UU No 18/2012 tidak pula akan ada manfaatnya ketika penerapannya tidak disertai penguatan spiritual.
Hakikatnya, krisis pangan nasional bukanlah akibat ketertinggalan teknologi. Bukan keterbatasan sumber daya alam dan tidak pula krisis legalitas, melainkan krisis spiritual. Yang menggejala adalah krisis nurani di balik segala kekuatan dalam pengendalian dekadensi nurani bisnis yang membunuh petani sebagai produsen domestik, melalui impor dan rentenya. Tanpa kebangkitan kekuatan nurani, rasanya perjalanan sistem pangan nasional akan makin mundur, hopeless... na'uzu billah....
(Mochammad Maksum Machfoedz, Guru Besar Sosial Ekonomi Agroindustri, Fakultas Teknik Pertanian Universitas Gadjah Mada)
(Kompas cetak, 31 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Artikel 4 dari 5 dalam tugas mikroekonomi fakultas teknologi pertanian jurusan teknologi industri pertanian UGM
BalasHapuswan, bulan agustus-september
BalasHapus