Tanggal 15 Agustus ini genap delapan tahun umur perdamaian Aceh. Perdamaian yang dikenal dengan istilah nota kesepahaman Helsinki itu bukan sejarah mudah, bahkan sejak awal perencanaannya.
Jalan damai untuk Aceh itu sesungguhnya telah dirintis jauh sebelum tsunami atau satu tahun setelah darurat militer tahun 2003. Pada awal 2004, Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Menko Polkam saat itu masih menginginkan kebijakan untuk terus menekan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) guna memperlemah posisinya. Namun, pada saat yang sama, Jusuf Kalla sebagai Menko Kesra mencoba mencari jalan negosiasi damai, terutama karena pengalamannya menyelesaikan konflik di Maluku dan Poso. Langkah Kalla ternyata disetujui Presiden Megawati (Damien Kingsbury, Peace in Aceh: A Personal Account of the Helsinki Peace Process, 2006).
Melalui timnya, akhirnya Jusuf Kalla meminta bantuan sebuah LSM internasional, Crisis Management Initiative yang dipimpin mantan Presiden Finlandia, Martti Ahtisaari, untuk menyelesaikan konflik Aceh. Pengalaman Ahtisaari menyelesaikan konflik di Namibia, Kosovo, dan Irlandia Utara dianggap curriculum vitae terbaik untuk membersihkan akar konflik yang telah berumur 30 tahun itu (Farid Husain, To See the Unseen, 2007). Setelah Yudhoyono dan Kalla menjadi pemenang Pemilu Presiden 2009, peta damai pun semakin mulus dibentangkan.
Namun, peta damai tidak semulus Tol Jagorawi. Di samping bencana tsunami yang sempat menunda penjajakan pertemuan, proses negosiasi sendiri pun berjalan cukup alot, terjadi lima kali sesi pertemuan selama lima bulan. Di Jakarta sendiri, gejolak politik menolak proses perdamaian itu berembus kencang. PDI-P, PDS, dan PKB adalah parpol yang paling keras menolak perjanjian dan implementasi poin-poin perdamaian itu ke dalam undang-undang otonomi khusus Aceh (Harold Crouch, Political Reform in Indonesia After Soeharto, 2010).
Pramono Anung menyebut MOU Helsinki memberikan jalan kemerdekaan bagi Aceh. Akbar Tandjung—yang baru kehilangan jabatan sebagai Ketua Golkar setelah digantikan Kalla—menuding MOU telah melahirkan konflik dan tak sesuai semangat NKRI. Lemhannas menemukan 16 poin di dalam MOU yang kontradiktif dengan konstitusi. Dari partai hasil Pemilu 2009, praktis hanya Partai Demokrat, Golkar, dan PPP yang terlihat membela.
Buih-buih konflik
Jika delapan tahun lalu konflik bersumbu di Jakarta, kini buih- buih konflik mulai memecah di Aceh. Penyebabnya, pengesahan qanun bendera yang identik dengan GAM sebagai bendera provinsi. DPR Aceh berdalih Aceh berhak menetapkan bendera, lambang, dan himne baru sesuai MOU Helsinki (poin 1.1.5). Namun, pemerintah pusat pun berdalih menggunakan MOU bahwa bendera bulan-bintang dan lambang singa-buraq adalah simbol militerisme GAM yang tak boleh lagi digunakan setelah perdamaian (poin 4.2). Qanun juga dianggap bertentangan dengan UU No 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh dan PP No 77/2007 tentang lambang daerah yang menjadi lex superior.
Konflik interpretasi pun cukup berlarut dan menguras emosi, psikososial, dan anggaran yang tak sedikit. Sejak disahkan DPRA 22 Maret lalu, Kementerian Dalam Negeri telah melakukan beberapa kali perbincangan dengan perwakilan Aceh untuk melakukan sinkronisasi. Perjalanan dinas di beberapa kota, seperti Batam, Makassar, Bogor, dan Jakarta, selalu tanpa hasil kompromi. Pertemuan terakhir 31 Juli lalu malah hanya memperpanjang masa "peredaan" (cooling down) hingga 15 Oktober mendatang. Jika dihitung sejak pertama sekali negosiasi, 17 April, praktis enam bulan waktu terbuang hanya untuk masalah bendera.
Di sisi lain, keberadaan bendera itu sendiri telah mengganggu kohesivitas sosial di Aceh. Masyarakat Gayo dan pesisir barat-selatan merasa simbol itu mengintimidasi dan tak merepresentasikan jiwa persatuan dan perdamaian Aceh. Wacana pemekaran provinsi Aceh Leuser Antara dan Aceh Barat-Selatan yang sempat mati suri kini kembali bangkit akibat isu ini. Di daerah yang menjadi basis eks- GAM, pengibaran bendera dilakukan penuh gelora, sedangkan di daerah nonbasis, bendera diburu dan dilucuti.
Dialektika negatif
Beberapa pengamat sudah memperkirakan perdamaian Aceh akan bergerak ke arah buntu. Masalah utama adalah ketidakmampuan pemerintah Aceh melakukan tindakan-tindakan konkret, seperti pembangunan dan kesejahteraan, sebaliknya terkungkung pada isu keadilan (justice) dan martabat (dignity) yang bersifat simbolis (Kamaruzalman Askandar, 2012).
Para pialang perdamaian di Aceh kian terjebak pada elitisme dan oligarkisme sehingga gagal merumuskan model demokrasi lokal yang unik dan berbeda dengan Indonesia (Olle Törnquist, 2010). Hal ini terlihat dari indeks pembangunan. Setelah tujuh tahun proyek otonomi khusus, Aceh masih jadi provinsi kelima termiskin dan kedua terkorup (kompas.com, 21/7). Logika ini sulit diterima jika becermin pada anggaran cukup besar mengalir ke Aceh, termasuk ratusan triliun rupiah di era rehabilitasi dan rekonstruksi tsunami.
Ini jelas dialektika negatif yang bisa menghanguskan bangunan perdamaian. Sesungguhnya bola ada di tangan pemerintah Aceh untuk lebih dewasa merespons masalah bendera ini agar tidak terletup bara konflik baru. Jika masih bermain-main pada sentimen politik identitas lokal karena gagal mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi masyarakat, sesungguhnya pemerintah lokal hanya mempertontonkan politik kekanak-kanakan di ruang simulacra permusuhan dengan Jakarta dan selalu menuduh hanya Jakarta penyebab semua kekacauan.
Ini yang harus disadari pemerintah di Aceh bahwa memaksakan qanun bendera dengan menggergaji pohon perdamaian adalah tindakan sia-sia. Pemerintah pusat pun diharapkan lebih tegas agar tercipta suasana kondusif dan kepastian hukum di Aceh. Jusuf Kalla mengatakan, bendera ini sendiri bukan masalah besar, tinggal melakukan sedikit kompromi, tanpa harus mengabaikan masalah pokok menyejahterakan rakyat (Kompas, 31/7). Mengelola perdamaian bukan perkara sederhana. Mengelola konflik pun bukan hanya untuk mengakhiri pertempuran dan menjadikan musuh sebagai teman, melainkan bagaimana menciptakan situasi yang layak, termasuk memperbaiki hubungan yang rusak sambil terus berjuang menjemput masa depan.
(Teuku Kemal Fasya, Dosen Antropologi Universitas Malikussaleh Lhokseumawe)
(Kompas cetak, 15 Agustus 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar