Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 15 Agustus 2013

Politik Ganjaran bagi Kaum Muda (Budi Rajab)

Oleh: Budi Rajab  

Barangkali kita pernah mendengar keluhan generasi tua: generasi muda Indonesia masa kini sudah tipis rasa nasionalismenya.
Benedict Anderson memaknai nasionalisme sebagai komunitas yang diimajinasikan atau dibayangkan sebagai satu kesatuan. Orang yang menetap di suatu wilayah tertentu merasa diri jadi bagian dari apa yang disebut sebagai bangsa, walaupun di antara mereka ada perbedaan bahasa, etnis, agama, dan kebudayaan.

Mengapa mereka punya emosi kolektif yang sama? Rasa Kebangsaan bukan emosi yang dengan sendirinya sudah ada dalam representasi kolektif. Ada dua hal yang memungkinkan nasionalisme menjadi kesadaran kolektif.

Pertama, adanya perasaan senasib yang dialami warga komunitas karena dijajah atau didominasi komunitas lain. Perasaan disubordinasi inilah yang mendorong mereka melakukan perlawanan. Terbentuknya nasionalisme Indonesia berada dalam kategori ini.

Kedua, terbentuk dalam komunitas karena bisa menjajah, mengembangkan teknologi dan ekonomi, atau secara kultural menjadi rujukan komunitas lain. Kebangkitan nasionalisme di sebagian Eropa Barat berada pada golongan ini; juga nasionalisme Amerika Serikat didorong keunggulan ekonomi dan teknologi.

Walau Boedi Oetomo dianggap organisasi elite Jawa, para pendirinya adalah kaum muda. Demikian juga dengan organisasi- organisasi sosial-politik pasca- Boedi Oetomo dibentuk dan dipimpin kaum muda.

Waktu revolusi kemerdekaan kaum muda ini juga ikut memanggul senjata. Mereka rela berkorban jiwa, raga, dan harta demi mempertahankan republik. Tak terhitung berapa ribu kaum muda yang menjadi korban dan pengorbanan itu tanpa dilandasi sikap pamrih.

Namun, sesudah beberapa dekade republik ini berkibar, kaum muda pula yang pertama-tama didakwa bahwa patriotisme mereka telah luntur. Dituduh bergaya hidup hura-hura, pragmatis, individualistis, hedonis, dan materialistis.

Saat bangsa kita masih dijajah, merasa bernasib sama sebagai orang-orang yang disubordinasikan, mereka berupaya agar jadi bangsa yang tidak dieksploitasi. Muncul rasa kebangsaan untuk mengusir kaum penjajah. Kita dapat memperkirakan, kaum muda sekarang pun bila mereka hidup di masa lalu akan berjuang untuk menghapus sistem kolonialisme yang menindas itu.

Politik penghargaan

Namun, keadaan sudah berbeda. Persoalan yang dihadapi kaum muda pada era milenium baru ini ialah persaingan teknologi, ekonomi, dan budaya pada tataran global. Kini teknologi berkembang pesat dan terus berubah. Ekonomi pasar menerabas batas geografis, administratif, dan politik negara-bangsa.

Indonesia juga sudah jadi bagian dari proses globalisasi. Kita sudah masuk dan mengoperasikan teknologi informatika, bahkan sampai pada tingkat entitas rumah tangga dan perseorangan (televisi, internet, dan telepon seluler). Demikian juga dengan pasar ekonomi: banjir produk pangan, sandang, serta kebutuhan pribadi dan rumah tangga lain buatan luar negeri telah masuk sampai ke pelosok desa. Cara berpakaian, menikmati hiburan, dan selera makan yang merupakan bagian dari gaya hidup budaya populer di antara penduduk desa dan kota sekarang ini sudah tidak begitu jauh berbeda.

Akan tetapi kelihatannya, bangsa kita—bila memakai analogi transfusi darah—masih sekadar resipien (penerima), bukan donor (pemberi). Dalam globalisasi ini kita hanya menerima dan melaksanakan segala apa yang masuk dari luar, tidak begitu banyak berkontribusi. Kebijakan pemerintah dalam globalisasi juga lebih mendorong pada posisi resipien ini.

Sangat sedikit upaya pemerintah menyediakan prasarana dan sarana yang memungkinkan kaum muda bertindak inovatif dan kreatif. Kalau ada di antara kaum muda kita yang "pintar", menjuarai olimpiade internasional untuk ilmu-ilmu dasar dan teknologi, adakah penghargaan atau reward (hadiah) material, psikologis, sosial yang mereka terima dan dapat dibanggakan?

Mengingat posisi kita lebih sebagai resipien, bukan donor dalam proses globalisasi ini, jadinya kita kurang memiliki "kebanggaan". Sangat kurang ragam teknologi, komoditas ekonomi, dan gaya hidup yang berasal dari hasil daya cipta bangsa Indonesia. Padahal, kebanggaan adalah salah satu prasyarat bertahan dan berkembangnya nasionalisme.

Dalam konteks itulah, negara dan masyarakat harus menyediakan ragam fasilitas yang memungkinkan kaum muda bisa kreatif dan inovatif dalam bidang apa pun: ilmu pengetahuan, teknologi, seni, organisasi sosial, dan bisnis. Lalu, hasil daya cipta yang mereka lakukan harus mendapat ganjaran, apakah itu dalam bentuk material atau imaterial.

Membangkitkan dan mengembangkan rasa nasionalisme di masa kini mesti berangkat dari penghargaan pada hasil daya cipta kaum muda!

(Budi Rajab, Pengajar Jurusan Antropologi, FISIP-Unpad)

(Kompas cetak, 15 Agustus 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger