Sudah lebih dari dua tahun gelombang Musim Semi Arab tak kunjung membuahkan hasil positif, kecuali kekacauan demi kekacauan.
Sejak kali pertama diembuskan di Tunisia pada 18 Desember 2010, Musim Semi Arab telah merontokkan satu per satu rezim despotik-otoritarian, seperti Libya, Mesir, dan Suriah. Alih-alih mampu membawa angin perubahan ke arah lebih baik, sejumlah negara—seperti Suriah dan Mesir—bahkan tidak mampu keluar dari kubangan krisis politik berkepanjangan.
Bagi kedua negara itu, gelombang demokratisasi lebih merupakan bencana ketimbang berkah. Krisis Suriah, misalnya, telah merenggut lebih dari 82.000 jiwa. Sekalipun jumlah korban tak sebanyak di Suriah, pergolak- an Mesir belum memperlihatkan tanda-tanda berakhir. Ini mengingat junta militer turut "memancing di air keruh" dengan menyokong salah satu pihak yang tengah bertikai. Militer telah menikam demokrasi dari belakang.
Di awal Musim Semi Arab, sebenarnya banyak pihak menaruh harapan terciptanya rezim demokrasi yang bersifat menular. Jean-Pierre Filiu (2011), misalnya, telah membuat sepuluh pelajaran penting dari gelombang demokratisasi di dunia Arab: dunia Arab bukan perkecualian. Maksudnya: jika demokrasi bisa tumbuh dan berkembang di belahan dunia lain, mengapa tak di negara-negara Arab?
Membongkar mitos
Berlarut-larutnya krisis politik di Mesir dan Suriah mengingatkan kita pada jargon teknis yang lebih banyak dikenal dalam ilmu politik: eksepsionalisme. Istilah ini sering dibaurkan dengan kulturalisme dan esensialisme. Etimologis ia bermakna 'perkecualian', terminologis merujuk pada sebuah kondisi, fitur, atau karakteristik budaya tertentu yang diatribusikan kepada kelompok atau bangsa tertentu. Ia merepresentasikan identitas budaya yang khas, melekat, built-in dalam tubuh setiap bangsa.
Terlahir dari rahim Weberian, eksepsionalisme menjelma sebagai mazhab pemikiran yang cukup berpengaruh. Mazhab ini dianut sejumlah ilmuwan politik terkemuka, seperti Talcott Parsons, Gabriel Almond & Sydney Verba, Samuel Huntington, Francis Fukuyama, serta Ronald Inglehart & Pippa Norris. Dalam konteks dunia Islam atau Timur Tengah, mazhab ini dianut ilmuwan politik, seperti Bernard Lewis, Fareed Zakariya, dan Elie Keddourie. Mereka selalu memandang peradaban tertentu berdasarkan nilai budaya yang dianutnya.
Mazhab eksepsionalisme diba- ngun di atas lima asumsi teoretik berikut: budaya menjadi faktor otonom yang akan membentuk tradisi sebuah peradaban; budaya bersifat tertutup, intrinsik, dan kedap terhadap perubahan; budaya cenderung lekat dengan bangsa tertentu yang tak mudah bertransmutasi; terdapat garis pemisah yang tegas di antara bangsa-bangsa akibat budaya yang berbeda; dan dimungkinkan terjadi benturan peradaban di antara budaya yang berbeda itu.
Dalam konteks budaya politik Timur Tengah, mereka memperkenalkan sebuah formula yang dikenal sebagai eksepsionalisme Arab. Para ilmuwan eksepsionalis pada umumnya memustahilkan terciptanya tradisi demokrasi di Timur Tengah akibat ketiadaan nilai-nilai budaya berbasis tradisi dan atau agama yang mendukung tegaknya nilai-nilai demokrasi.
Stepan & Robertson (2003 : 33), misalnya, menegaskan bahwa "sebuah negara nir-Arab dengan penduduk mayoritas Muslim memiliki 20 kali lipat kemungkinan menjadi kompetitif secara elektoral ketimbang sebuah negara Arab berpenduduk mayoritas Muslim". Dari 47 negara berpenduduk mayoritas Muslim, hanya enam negara mayoritas Muslim nir-Arab yang mengadopsi demokrasi sebagai sistem politik: Turki, Senegal, Indonesia, Banglades, Mali, dan Nigeria. Selebihnya masih berkubang dengan otoritarianisme dan despotisme.
Mazhab eksepsionalisme sebenarnya sudah banyak dibantah, di antaranya oleh kaum strukturalis atau instrumentalis. Mereka menyanggah kelima asumsi teoretik di atas dengan mengajukan pemikiran tandingan atas tiap poin dimaksud. Mereka beranggapan bahwa tak ada peradaban atau budaya yang tak bisa berubah. Sebuah peradaban bisa berubah bukan semata karena faktor budaya; ada banyak faktor terlibat di dalamnya, seperti ekonomi, politik, struktur sosial, kesempatan, dan kompetisi antarbangsa.
Eksepsionalisme kita?
Kaum strukturalis memandang eksepsionalisme sebagai mitos ketimbang realitas karena satu demi satu tesis kaum eksepsionalis berguguran seiring dengan perubahan konstelasi politik dunia. Dulu Max Weber berujar (1904), hanya peradaban Protestan yang bisa menerima modernitas dan demokrasi. Tesis ini gugur ketika gelombang demokratisasi kedua dan ketiga menyapu negara-negara berpenduduk mayoritas Katolik.
Mari kita lupakan sejenak krisis politik Mesir dan Suriah. Lupakan pula kutukan eksepsionalisme atas keduanya. Mari kita mengkhawatirkan (potensi) kutukan eksepsionalisme di negeri ini: korupsi. Sudah 15 tahun usia reformasi, tetapi kita masih dihantui kutukan korupsi. Memang tersua energi positif dari KPK menghalau kutukan korupsi. Namun, kerja keras KPK belum sebanding dengan kuatnya daya lekat korupsi dalam struktur kehidupan bangsa ini.
Selain korupsi, terdapat sejumlah fitur negatif yang sering diatribusikan ke dalam tubuh bangsa ini. Mochtar Lubis (1977) secara lisan pernah merefleksi- kan identitas manusia Indonesia hipokrit alias munafik, enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, percaya takhayul, artistik, dan berwatak lemah. Hampir senada dengan Mochtar Lubis, Koentjaraningrat (2004 : 45) merumuskan lima karakteristik utama manusia Indonesia: mentalitas yang meremehkan mutu, mentalitas suka menerabas, tidak percaya diri, tak disiplin, dan mengabaikan tanggung jawab. Di Malaysia, para TKI sering dijuluki "indon" yang berkonotasi peyoratif: lelet, tidak mau maju, berbudaya rendah, suka ribut-ribut, dan temperamental.
Memasuki usia kemerdekaan ke-67 RI, harus ada keinginan kuat dari segenap bangsa ini keluar dari kutukan eksepsionalis- me. Kita harus membangun mentalitas manusia Indonesia yang jauh lebih bermartabat, kuat, dan beradab. Kuncinya cuma satu: jangan bunuh akal sehat. Biarkan akal sehat bekerja mengurai sejumlah persoalan yang mendera bangsa ini.
(Masdar Hilmy, Dosen IAIN Sunan Ampel)
(Kompas cetak, 14 Agustus 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar