Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 10 Agustus 2013

Memaknai Idul Fitri (M Dawam Rahardjo)

Oleh: M Dawam Rahardjo
Bulan puasa tahun ini, sebagaimana terjadi pada tahun-tahun sebelumnya di masa Reformasi, telah dinodai aksi-aksi kekerasan yang memaksa orang lain agar "menghormati bulan puasa" atau "menghormati orang yang sedang berpuasa".
Aksi-aksi kekerasan atas nama amar makruf nahi mungkar itu sebenarnya bertentangan dengan tujuan puasa itu sendiri. Sebab, esensi berpuasa itu adalah latihan mengendalikan diri. Para ulama mengatakan bahwa nahi mungkar yang arti harfiahnya adalah mencegah keburukan harus dilakukan juga secara makruf, artinya dengan cara yang benar dan baik pula. Arti implisitnya: mencegah keburukan perlu dilakukan dengan berbuat kebaikan sehingga dapat dilakukan secara damai, tanpa menimbulkan kerusakan dan kerugian. Sementara itu, dalam penafsiran Kuntowijoyo, amar makruf adalah humanisasi, sedangkan nahi mungkar adalah liberasi atau pembebasan.
Memanusiakan manusia
Dalam perspektif Kuntowijoyo, humanisasi adalah proses memanusiakan manusia dan membudayakan lingkungan hidup manusia, atau dalam bahasa Al Quran "memuliakan manusia", dengan menciptakan kesejahteraan hidup, yang secara kolektif disebut "masyarakat mulia' oleh Dr Soetomo ketika merumuskan visi "Persatuan Bangsa Indonesia". Kemiskinan dan penindasan umpamanya menyebabkan dehumanisasi. Sementara nahi mungkar—yang diartikan sebagai liberasi atau pembebasan—adalah pembebasan dari sejumlah belenggu yang menghalangi manusia mengaktualisasikan diri dan meraih kesejahteraan atas pilihan dirinya.
Dalam teori tasawuf, liberasi dilakukan dengan membebaskan diri dari syirik (mempersekutukan tiran dengan Tuhan atau memperlakukan tiran sebagai Tuhan), kultus individu, mitos, takhayul, dan taklid buta. Dengan humanisasi dan liberasi itu, menurut Kuntowijoyo, orang akan mengalami transendensi, yaitu memperoleh kekuatan spiritualitas yang lebih tinggi dalam menjalankan misi kekhalifahannya di bumi.
Pemikiran Amartya Kumar Sen—ekonom dan filsuf sosial India kontemporer—mengenai "pembangunan sebagai kebebasan" bisa menjelaskan kaitan antara humanisasi dan liberasi atau makna amar makruf nahi mungkar. Menurut pendapatnya, ada dua macam arti kebebasan atau kemerdekaan. Pertama, kebebasan sebagai peluang. Kedua, kebebasan sebagai kemampuan manusia untuk mengaktualisasi diri. Yang pertama adalah kondisi yang merupakan lingkungan bebas. Yang kedua adalah kemampuan pelaku, yaitu manusia untuk memilih jalan hidup yang dianggap baik. Pengertian pertama dapat dicapai melalui proses humanisasi, pengertian kedua disebut liberasi. Proses liberasi itu dapat dilakukan dengan membangun kapabilitas manusia mencapai yang dianggap baik bagi hidupnya.
Bulan puasa dapat diartikan sebagai kondisi di mana manusia memperoleh kesempatan untuk membentuk kepribadian takwa, dengan melakukan latihan fisik dan mental melalui jalan pengendalian diri. Dengan latihan pengendalian diri itu, manusia melakukan pembebasan diri dari belenggu materi yang bisa membelokkan manusia dari jalan hidup yang lurus (sirath al mustaqim) atau mengikuti kecenderungan baiknya. Dengan pembebasan diri itu, manusia memiliki kemampuan meningkatkan kapabilitasnya untuk melakukan aktualisasi diri, atau mengembangkan potensinya, dengan mengembangkan diri dan membangun lingkungan hidupnya.
Idul Fitri adalah hari manusia kembali kepada fitrahnya. Artinya, hari kemenangan manusia dalam menaklukkan dirinya sendiri dalam proses liberasi atau pembebasan diri dari belenggu materi. Dalam ilmu tasawuf, perang melawan dirinya sendiri atau hawa nafsunya adalah suatu "jihad akbar", perjuangan besar, karena tidak mudah dilakukan. Namun, dengan melakukan puasa secara bersama-sama itu, kondisi kebebasan sebagai peluang tersebut dapat diciptakan, yang mempermudah perjuangan besar itu.
Pada Idul Fitri, manusia merayakan hari kemenangannya. Namun, perayaan itu sebenarnya hanya menjadi hak orang yang menang dalam perjuangan. Namun, pada umumnya, perayaan itu dilakukan semua orang yang telah menunaikan ibadah puasa. Karena itu, menjelang berakhirnya bulan puasa, seseorang atau kolektivitas orang yang berpuasa terlebih dahulu perlu menyusun "laporan akhir" sebagai general check-up kesehatan dan tingkat perkembangan jiwa—berupa "keseimbangan" aktiva dan pasiva—sebagai evaluasi apa seseorang atau umat berhak merayakan kemenangan itu.
Fitrah artinya kondisi asli atau awal kejadian atau penciptaan manusia, yang melalui puasa dicapai melalui proses purifikasi. Dalam Al Quran dikatakan: manusia akan merugi dalam hidupnya jika tak mampu menegakkan iman amal saleh atau amar makruf nahi mungkar. Apabila manusia sebagai makhluk unggul itu ditandai dengan kemampuan akal dan kalbunya, kembali kepada fitrahnya berarti manusia kembali kepada potensinya yang asli. Karena itu, hasil dari berpuasa sebenarnya pencerahan yang berarti juga kebebasan dalam arti keluasan kapabilitas, dalam pengertian Sen, yaitu kemampuan dalam arti memiliki potensi untuk memilih jalan hidup yang diimaninya.
Dalam Al Quran dikatakan, amar makruf nahi mungkar itu adalah kewajiban seluruh umat. Dalam bulan puasa dianjurkan agar orang memperbanyak beramal saleh antara lain membayar zakat dan sedekah kepada orang miskin. Zakat dan sedekah, dalam konteks kemenangan itu, adalah instrumen untuk melakukan humanisasi dan liberasi.
Liberasi terjadi pada pembayar zakat, sedangkan humanisasi terjadi pada orang yang menerima. Namun, pembayaran zakat dan sedekah bukan hanya merupakan hubungan pribadi, melainkan juga hubungan kolektif atas dasar prinsip keadilan sosial.
Kebangkitan kemanusiaan
Jadi, bulan puasa hanya tahap latihan yang merupakan peluang untuk meningkatkan kapabilitas, dan dalam perspektif pencerahan, meningkatkan kecerdasan intelektual atau rasional (IQ), kecerdasan emosional (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ). Ini yang disebut Kuntowijoyo sebagai transendensi atau peningkatan kualitas keimanan.
Namun, kemenangan harus dibuktikan dengan mewujudkan proses humanisasi, liberasi, dan transendensi sesudah bulan puasa yang merupakan kewajiban kolektif umat atau negara dan masyarakat. Dengan demikian, puasa adalah tahap pencerahan yang akan menghasilkan renaisans sesudahnya. Oleh karena itu, Idul Fitri harus dimaknai sebagai titik tolak baru kebangkitan kemanusiaan.
Di Indonesia, Idul Fitri dirayakan juga dengan acara halalbihalal, yang diterjemahkan sebagai tindakan saling memaafkan. Namun, halalbihalal, yang merupakan inovasi lokal tersebut, sebenarnya adalah hari silaturahim. Itu berarti membangun kembali tali persaudaraan yang dilakukan secara serentak sehingga membentuk mutual trust atau modal sosial.
(M Dawam Rahardjo, Ketua Redaksi Jurnal Ulumul Qur'an)
(Kompas cetak, 7 Agustus 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®













Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger