Kenegarawanan semestinya bukan sekadar perkara normatif. Kenegarawanan harus lebih dipahami sebagai perkara konstitutif, dalam arti "membuat ada" sehingga menjadi kondisi niscaya—conditio sine qua non—bagi wanda/watak kepemimpinan politik anak negeri. Apalagi di negeri dengan kebinekaan kompleks seperti kita.
Bukankah kenegarawanan menuntut kesanggupan seorang pemimpin melampaui syahwat kepentingan pribadi, kelompok, maupun partai politiknya sendiri? Bukankah melanglangkan hasrat kepemimpinan pada kepentingan lebih menyeluruh bagi segenap anak negeri serta segenap penjuru negeri merupakan kewajiban negarawan?
Baru dengan ketaktersekatan kepentingan (politis), haluan (ideologis), serta keyakinan nilai (etis) semacam inilah kenegarawanan patut disandang. Padahal, bukankah di negeri dengan sejarah silang- budaya panjang seperti kita, ketaktersekatan kesadaran sosiopolitis semacam ini juga menjadi konstitusivitas kepemimpinan atas nama kebinekaan pula?
Kompleksitas kebinekaan sosiopolitis tak memungkinkan keberhasilan pergulatan kuasa berlangsung tanpa hegemoni. Artinya, kekuatan politik termaksud harus mampu "memperluas" identitas artikulatif politiknya sendiri agar bisa menampung kepentingan sosiopolitik konstituen lebih luas (Laclau, 2006). Jadi, meski mengandaikan relasi kuasa permanen, setiap hegemoni politik setidaknya butuh "kesukarelaan" minimum dalam menggalang solidaritas keikutsertaan "sementara" para pihak mendukung rezim berkuasa.
Kalau begitu, tidakkah rangkaian
pergunjingan seputar krisis kenegarawanan belakangan ini (Kompas, 22-24/7) mengunggah paradoks? Tidakkah kesejajaran konstitutif kebinekaan dan
kenegarawanan membuat krisis ini lalu perlu dikhawatirkan lebih dari sekadar perkara kegagalan realisasi sebuah utopia politik?
Kebinekaan sebagai penapis
Jika proses politik berlangsung wajar, kebinekaan mestinya merefleksikan dirinya pada strukturasi identitas-identitas sosiopolitik. Artinya, jika transaksi politik semata-mata berlangsung secara artikulatif—bukan pragmatis apalagi koersif—dialektika ketegangan homogenisasi/heterogenisasi pada setiap entitas politik akan berada dalam pengunggulan heterogentitas; pengutamaan kebinekaan.
Kebinekaan akan selalu mewarnai, bahkan menjadi semacam penapis, bagi keberhasilan kekuatan sosial-politik mana pun dalam menggalang kekuasaan. Seturut itulah, transaksi artikulatif lewat "pemekaran" identitas ideologis merupakan jalan paling wajar untuk menggalang dukungan karena mengandaikan perluasan kapasitas artikulatif sehingga bisa menampung artikulasi ideologis konstituen lebih luas
Dalam konteks inilah Ernesto Laclau berbicara mengenai ekuivalensi artikulasi ideologis. Contoh penyepadanan artikulasi ideologis paling sering digunakan adalah ketika gerakan serikat buruh dengan isu ketertindasan sosioekonomisnya dan perjuangan politik perbedaan kaum perempuan dengan isu ketidakadilan jendernya digalang dalam agenda bersama: perlawanan terhadap subordinasi lebih menyeluruh.
Sehubung itu, gamblanglah, identitas sosiopolitik dengan artikulasi ideologisnya merupakan potensi sekaligus limit dari posibilitas hegemonis sebuah kekuatan politik. Betapapun hegemonisnya, koalisi penggalangan kekuatan-kekuatan sosial- politik dengan sendirinya tetap akan diwarnai ekuivalensi artikulasi ideologis.
Koalisi hanya mungkin, atau setidaknya lebih mungkin, akan sungguh-sungguh tergalang di antara kekuatan-kekuatan dengan kesepadanan ideologis. Di samping itu, semakin terbuka karakteristik sebuah identitas ideologis, semakin terbuka kemungkinan "pemekaran" tafsir artikulatifnya, akan semakin potensial pula melakukan penggalangan hegemonis.
Gamblanglah, kebinekaan lalu bukan sekadar perkara kemajemukan (pluralitas), melainkan serentak juga perkara keragaman (pluralisme). Jadi, bukan sekadar fakta, melainkan terutama juga faktisitas. Kebinekaan adalah konstitutivitas kebersamaan kita sebagai entitas sosiopolitik, sehingga menjadi kondisi tak tertampikkan bagi keberadaannya. Sehubung itulah, abai menyadari konstitutivitas kebinekaan bahkan mudah menyulut petaka SARA tak berujung seperti terus terjadi di sejumlah kawasan konflik negeri ini.
Kalau begitu, tidakkah ketaktersekatan kesadaran sosiopolitis semestinya lalu otomatis mewarnai kepemimpinan nasional sebagai penggalang dukungan sukses dalam kebinekaan kita? Tidakkah kepemimpinan tanpa kenegarawanan, tanpa ketaktersekatan kesadaran sosiopolitis, dalam kebinekaan kompleks seperti kita merupakan paradoks tersendiri?
Politik pragmatis
Tampaknya, ini merupakan bukti lain lagi betapa praksis politik kita kebanyakan masih tak ada sangkut-pautnya dengan artikulasi ideologi. Praksis politik koalisi kita kebanyakan masih jauh dari transaksi artikulatif, yakni ketika para pihak menggalang kekuatan bersama lantaran memiliki artikulasi identitas politik serupa sehingga memiliki agenda perjuangan ideologis serupa pula. Atau, setidaknya, para pihak bersedia saling terbuka dan "berkorban" mengembang-kempiskan artikulasi ideologis tertentu masing-masing agar lebih bisa saling disepadankan.
Memang, tampaknya semangat Orde Reformasi untuk mengubur totalitarianisme Orde Baru masih cukup bertahan sehingga praktik politik koersif negara terhadap parpol relatif tak lagi terjadi. Tak ada lagi pembubaran, pemaksaan penggabungan, pemasungan asas, pengobok- obokan, penciptaan kepemimpinan tandingan, apalagi penyerbuan terhadap markas parpol ala Orba. Kalaupun masih tersisa bayang-bayang politik koersif, barangkali sebaliknya justru lewat pembiaran berkelanjutan negara terhadap kekerasan fisik maupun simbolik atas masyarakat, baik dalam konteks politis maupun ideologis lebih menyeluruh seperti SARA.
Meski begitu, kepemimpinan nasional kita masih terus diwarnai krisis kenegarawanan, karena praksis politik koalisi kita masih terus lebih disibuki transaksi pragmatis. Masih terlalu diwarnai kepentingan transaksional jangka pendek, seperti jatah kabinet atau penguasaan lembaga negara lainnya. Bahkan, masih terus disibuki kepentingan vulgar memperkaya diri dan kelompok, termasuk memenuhi pendanaan politik partai, sehingga terus melahirkan mega korupsi berjemaah.
Tanpa pertimbangan ekuivalensi ideologis, kecenderungan pragmatis melahirkan koalisi besar pemerintahan lintas partai, dari spektrum kiri sampai ke kanan, dari bercorak sosial-demokrat sampai berbasis agama. Bukan saja praksis politik ini memperlihatkan kedataran padang-padang ideologis di negeri ini, melainkan terlebih lagi juga menguras habis artikulasi ideologis yang tersisa. Bukan saja secara teoretis akan terbentuk koalisi tengah yang cenderung memoderasi radikalitas masing-masing spektrum ideologis, melainkan pada praktiknya juga saling mengunci kebijakan berdasarkan kepentingan non-ideologis, semisal tukar-guling pembekuan kasus, seperti diprasangkakan selama ini.
Sehubung itulah, kalau pengunggahan krisis kenegarawanan ini bukan sekadar pergunjingan tanpa fakta, maka dapat diduga merupakan reperkusi lanjut krisis ideologis kita yang telah lama dikhawatirkan banyak pihak. Telah terlalu lama pendataran akibat praktik koersi ideologis massa mengambang (floating mass) belum jua tersembuhkan sehingga tafsir-tafsir ideologis kekuatan-kekuatan politik kita terhadap ideologi pokok bangsa sedemikian miskinnya. Telah terlalu lama praksis politik kita cuma disibuki transaksi pragmatis jangka pendek, cuma disibuki dagang sapi—harafiah maupun simbolis—sehingga partai-partai politik hanya mampu menghadirkan artikulasi politik sedemikian banalnya.
Gamblanglah, krisis kenegarawanan bukanlah sekadar perkara normatif seperti banyak dipergunjingkan. Krisis kenegarawanan terutama juga menyangkut kemelesetan konstitutif, yakni ketika kegagalan realisasi sebuah utopia politik bersejalan dengan kegagalan praksis sebuah politik utopia pula. Kegagalan praksis sebuah politik yang bercita-cita. Sudah terlalu lama politik kita galibnya tanpa cita-cita, bahkan jangan-jangan memang tunacita, sehingga kenegarawanan memang tak pernah jadi upaya.
BUDIARTO DANUJAYA Pengajar Filsafat Politik dan Diskursus Ideologi FIB-UI
(Kompas cetak, 12 Agustus 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar