Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 12 Agustus 2013

Korupsi dalam Demokrasi (Djayadi Hanan)

Oleh: Djayadi Hanan

Korupsi adalah gejala yang terjadi hampir di semua negara. Perbedaannya barangkali hanya pada intensitasnya. Ada negara dengan tingkat korupsi yang parah dan beberapa negara korupsinya sedikit- sedikit, sedang-sedang saja.
Bagaimanakah hubungan antara korupsi dan demokrasi? Apakah makin demokratis suatu negara, makin sedikit korupsi- nya? Atau sebaliknya, makin demokratis suatu negara, makin banyak korupsinya? Atau, tak ada hubungan sama sekali di antara keduanya?

Meski tak seratus persen sepakat, sebagian besar ahli menyatakan bahwa hubungan demokrasi dengan korupsi bersifat negatif. Artinya, semakin demokratis suatu negara, semakin menurun korupsinya. Pernyataan ini didukung bukti empiris yang tak terbantahkan. Negara-negara demokrasi, diukur dengan berba- gai cara, umumnya menunjukkan lebih sedikit korupsinya dibandingkan dengan negara-negara bukan demokrasi.

Korelasi negatif
Laporan Transparansi Internasional (TI) mengenai indeks persepsi korupsi global 2012 memberikan gambaran hubungan negatif demokrasi dan korup- si. Di antara 20 negara yang di- anggap paling bersih dari korupsi (20 peringkat teratas), 19 adalah negara berkategori demokrasi. Hanya satu negara, yakni Singapura, yang masuk kategori paling bersih dari korupsi, tetapi tidak tergolong negara demokrasi. Sebaliknya, 20 negara yang menduduki peringkat terbawah atau dianggap paling korup, semuanya tergolong negara bukan demokrasi.

Mengapa demokrasi cenderung tak bisa bersanding dengan korupsi? Secara teoretis, demokrasi itu mengandaikan adanya kedaulatan rakyat. Setiap orang dalam negara demokrasi punya hak menyuarakan kepentingannya dan mengontrol jalannya pemerintahan. Dengan kata lain, sistem demokrasi mensyaratkan adanya transparansi mengenai apa yang dikerjakan negara dan atau pemerintah. Kebijakan-kebijakan yang dijalankan pemerintah, termasuk sumber daya dan anggaran yang digunakan, harus diketahui dan dilaporkan kepada rakyat. Maka demokrasi, secara teoretis, tidak memberi tempat bagi korupsi. Korupsi bertentangan dengan prinsip dasar dalam menjalankan demokrasi.

Selain itu, kekuasaan dalam demokrasi tidak terpusat di satu tangan. Kekuasaan negara yang pokok biasanya dibagi atas eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Legislatif bertugas membuat kebijakan sebagai representasi keinginan rakyat yang diwakilinya. Eksekutif melaksanakan kebijakan agar berdampak nyata terhadap perbaikan kehidupan rakyat. Yudikatif memastikan agar masalah-masalah yang terjadi, termasuk akibat tindakan legislatif dan eksekutif, dapat diselesaikan secara adil tanpa menempatkan rakyat sebagai obyek penderita semata.

Kekuasaan yang tidak terpusat memungkinkan adanya saling kontrol dan tidak ada pihak yang mendominasi di antara pemegang kekuasaan. Penyalahgunaan kekuasaan, yang menjadi salah satu pangkal dari korupsi, segera dapat terlihat dan diminimalkan. Maka, korupsi dalam demokrasi adalah hal yang tak boleh terjadi.

Berbeda dengan sistem yang tidak demokratis, seperti otoriter atau otokrasi, yang kekuasaan dimonopoli oleh satu pihak: raja, militer, sekelompok orang, atau pemimpin partai. Pembuatan, pelaksanaan, dan pengawasan keputusan yang menyangkut kehidupan orang banyak berada di satu tangan.

Dalam sistem otokrasi sulit diharapkan kepentingan orang banyak dinomorsatukan. Kepentingan rakyat sering kali disalahgunakan untuk kepentingan penguasa. Penggunaan sumber daya milik orang banyak, terma- suk keuangan negara, dengan mudah dibelokkan demi keuntungan sekelompok kecil orang, sementara yang melakukan kontrol tidak ada. Maka, peluang korupsi jadi terbuka.

Dalam demokrasi juga ada pers yang bebas, yang selain memberitakan apa yang dilakukan negara, juga memberi tahu pemerintah tentang perkembangan dan keinginan masyarakat. Pers juga menyampaikan ulasan-ulasan dan pandangan- pandangan kritisnya atas apa yang terjadi. Maka, pers pun melakukan pengawasan terhadap apa yang dilakukan penguasa. Bila penyalahgunaan kekuasaan terjadi, dengan cepat akan dike- tahui dan korupsi jadi mudah dideteksi.

Ketidakpuasan rakyat terhadap kinerja pemerintah dapat terjadi baik dalam demokrasi maupun otokrasi. Dalam otokrasi, ketidakpuasan itu berisiko bila disuarakan kepada penguasa. Sementara itu, pada demokrasi ketakpuasan rakyat dapat disampaikan melalui pers atau perwakilannya. Bahkan, rakyat dapat mengganti penguasa melalui pemilihan umum. Pemimpin yang dianggap tak mampu memenuhi janji-janjinya ketika kampanye tak akan dipilih lagi oleh rakyat.

Karena adanya pemilihan umum, pemimpin yang ingin tetap berkuasa harus mampu meyakinkan bahwa ia bekerja untuk kepentingan umum. Pemimpin yang dianggap baik akan dipilih kembali. Melalui mekanisme ini, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan dapat dicegah atau diminimalkan.

Sistem demokrasi memungkinkan terjadinya rotasi pemerintahan sehingga berkuasanya satu pihak secara terus-menerus dapat dicegah. Karena kekuasaan memiliki kecenderungan korup, kekuasaan yang terus-menerus pada satu tangan memiliki tendensi korupsi secara lebih sis- tematis dan berskala luas. Melalui rotasi pemerintahan, pemegang kekuasaan tidak punya kesempatan terus-menerus melakukan konsolidasi dan pemusatan kekuasaan yang menjadi sumber utama terjadinya korupsi.

Kualitas demokrasi
Meskipun demokrasi diyakini tidak dapat bersanding dengan korupsi, ada sejumlah kasus di mana demokrasi dan korupsi seperti tidak memiliki korelasi. Negara demokrasi terbesar, India, adalah contoh yang menonjol. Korupsi masih menjadi gejala akut di negara yang sudah mempraktikkan demokrasi sejak kemerdekaannya setelah era Perang Dunia Kedua tersebut.

Dalam data Indeks Persepsi Korupsi Transparansi Internasional 2012, India menempati peringkat ke-94 dengan skor 36, di bawah Thailand, Maroko, dan Zambia. Meskipun India adalah negara demokrasi, korupsi tetap jadi penyakit yang terus melanda. Sebaliknya, di Singapura, penyelenggaraan pemerintahan yang bersih telah menjadi praktik yang lama berlangsung. Padahal, Singapura bukanlah tergolong negara demokrasi. Skor indeks persepsi korupsi Singapura adalah 87, menempati peringkat ke-5, di atas Swiss, Kanada, dan Belanda. Dalam kasus India dan Singapura, demokrasi tak tampak berkorelasi dengan berkurangnya korupsi.

Di negara-negara demokrasi baru, demokrasi juga seperti tak berpengaruh terhadap pengurangan korupsi. Sebagai contoh, Indonesia telah menjadi negara demokrasi sejak tahun 1998. Menurut Freedom House, lembaga pemeringkat demokrasi dunia, Indonesia sudah tergolong negara bebas sepenuhnya (demokrasi) sejak 2004. Namun, Indeks Persepsi Korupsi 2012 menempatkan Indonesia di peringkat ke-118 dengan skor 32. Artinya, masyarakat merasakan bahwa korupsi masih merajalela di negeri ini.

Mengapa di sejumlah negara, terutama negara-negara demokrasi baru, demokrasi tampak tidak menihilkan korupsi? Jawabannya terkait dengan kualitas demokrasi di suatu negara.

Ada dua aspek penting yang terkait dengan demokrasi: prosedur dan substansi. Negara-negara demokrasi baru seperti Indonesia umumnya masih tergolong ke dalam demokrasi prosedural. Yang sudah berjalan adalah aspek-aspek yang terkait dengan pemilihan umum.

Hal ini tidak cukup menjamin berlangsungnya demokrasi yang dapat meminimalkan korupsi. Para aktor yang korup dalam demokrasi prosedural dapat memanipulasi pemilihan umum yang justru membuat mereka menjadi pemegang tampuk kekuasaan.

Aspek-aspek substansi demokrasi, seperti penegakan hukum, transparansi, serta peradilan yang bebas dan mandiri, masih menjadi impian dalam demokrasi di negara-negara seperti Indonesia. Lembaga-lembaga demokrasi yang substantif inilah yang sebenarnya mampu menopang upaya pemberantasan dan pencegahan korupsi.

Djayadi Hanan
Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina; Direktur Riset SMRC

(Kompas cetak, 12 Agustus 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger