Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 12 Agustus 2013

Kementerian Budaya Belajar (Iwan Pranoto)

Oleh: Iwan Pranoto  

Belajar adalah inti terdalam gagasan pendidikan. Tanpa mampu belajar, pendidikan adalah sebuah kata yang hampa, tidak penting sama sekali.

Dalam opini yang ditulis oleh Edward J Ray, Presiden Oregon State University, dikutipkan sebuah survei yang mengungkap lebih dari 90 persen CEO yang diwawancarai mengharapkan pekerjanya mampu belajar hal baru secara berkelanjutan (Huffington Post College, 24 Juli 2013).

Ini berarti kemampuan mempelajari pengetahuan dan kecakapan baru bukan saja dibutuhkan siswa di SD, melainkan juga pekerja profesional di industri. Terlebih lagi, sejumlah pekerjaan baru saja muncul, seperti analis media, di dekade ini. Jika mau berkarier, harus belajar.

Kecuali itu, dengan teknologi yang semakin cepat dan luas penerapannya dalam kehidupan, semakin menyadarkan betapa dibutuhkan kecakapan mendasar manusia sejak prasejarah itu. Manusia adalah mamalia yang perlu waktu belajar sangat lama dalam hidupnya. Bahkan, untuk bergerak seperti sosok dewasanya (berjalan, berlari, dan melompat), manusia perlu belajar sekitar lima tahun. Kebanyakan manusia modern di kota besar saat sini butuh waktu sekitar 18 tahun (lulus sekolah menengah) untuk belajar hidup mandiri.

Belajar dan manusia memang dua unsur tak terpisahkan. Masyarakat yang berhasrat belajar juga akan menjamin inovasi dan pengembangan yang dibutuhkan pembangunan. Tidak itu saja, masyarakat belajar juga akan merawat keselarasan sosial. Keselarasan sosial ini dampak langsung mutu pendidikan. Oleh karena itu, budaya belajar harus menjadi bagian penting dari keseharian masyarakat.

Di saat sekarang, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sepertinya sebuah kementerian yang menggarap dua hal terpisah: pendidikan dan kebudayaan. Karena itu, perlu upaya perumusan ulang yang lebih sesuai zaman dan sekaligus menggagas kedua konsep itu menjadi satu keterpaduan yang erat saling terjalin.

Kebudayaan di era sekarang perlu dimaknai bukan sekadar tarian, seni patung, atau barang- barang kuno. Namun, ini adalah segala pemikiran, upaya, dan tindakan manusia yang mungkin terkait kehidupan manusia banyak. Oleh karena itu, satu hal yang kokoh nalar bagi pemerintah mendatang jika merumuskan ulang kementerian pendidikan, misalnya, menjadi kementerian budaya belajar. Tugas utamanya: menjamin penyediaan pengalaman belajar bermutu bagi setiap warga sehingga hasrat belajar terawat di masyarakat.

Menebar dan mengembangkan layanan belajar ke seluruh masyarakat di semua penjuru kota, desa, pulau, dan sudut Nusantara luas ini tak mudah. Memang sulit jika menggunakan cara pandang dan peralatan dua abad lalu. Apalagi ketersediaan dan penyebaran guru bermutu terbatas. Namun, teknologi sudah mengubah segalanya.

Teknologi
Suka atau tidak, pemanfaatan teknologi dalam dunia belajar- mengajar sudah ada di depan mata. Bukan lusa atau esok, tetapi detik ini, teknologi sudah bekerja. Dua ilustrasi berikut meyakinkan kenyataan ini.

Ilustrasi pertama dari pengurus Dewan Pendidikan Jawa Timur, Sulistyanto Soejoso. Dia mengisahkan bahwa di dekat sebuah masjid di Surabaya, di bulan Ramadhan tahun ini, ada yang menjual kerak telor. Ini tentu penganan khas Betawi. Ternyata sang penjual yang dari Jombang, Jawa Timur, belajar membuat kerak telor melalui internet. Ini bukti gamblang bahwa belajar berbasis internet sudah berfungsi. Masyarakat kelas bawah juga sangat terbantu oleh internet guna belajar serta mengembangkan dan menyejahterakan dirinya.

Ilustrasi kedua dari eksperimen One Laptop Per Child oleh Nicholas Negroponte, anggota staf Massachusetts Institute of Technology (MIT Technology Review, 29 Oktober 2012). Bersama timnya, ia membagikan sejumlah sabak digital ke anak-anak di dua desa sangat terpencil di Etiopia.

Saat memberikan sabak digital yang dilengkapi sumber daya listrik bertenaga surya, mereka tak menjelaskan cara penggunaannya, kecuali hanya cara mengisi ulang dayanya. Tim peneliti ini membagikan tiap sabak digital tersebut dalam keadaan masih terbungkus rapat dalam kardus pengemasnya. Perlu dicatat, penduduk di desa ini buta huruf, bahkan tak sedikit yang belum pernah melihat bahan cetakan, seperti buku, koran, atau kardus pengemas sepanjang hidupnya.

Tiap minggu tim merekam apa yang telah dikerjakan dengan tiap sabak. Hasil temuannya sangat mengejutkan. Ternyata, hanya lima hari pertama tiap hari anak-anak telah mengoperasikan 47 aplikasi dalam sabak tersebut. Beberapa anak terus asyik belajar menyusun aksara menjadi kata dan beberapa yang lain belajar mengeja lewat nyanyian. Satu anak bahkan sanggup meretas sistem operasi untuk mengubah pengaturan sabak tersebut agar kameranya berfungsi karena sebelumnya kamera dimatikan tim. Jadi, kita harus yakin dengan kemampuan anak-anak di pedalaman untuk beradaptasi dan memanfaatkan teknologi.

Kementerian budaya belajar bersama masyarakat harus menebarkan kasmaran belajar. Caranya dapat dengan menginisiasi "awan belajar" yang merupakan fasilitas maya tempat pengetahuan, peranti lunak, dan bersosialisasi. Ini adalah masa depan teknologi belajar-mengajar. Jika masalah ketersediaan dan penyebaran guru bermutu seperti masalah tak berjawab saat ini, awan belajar dapat membantu.

Tak bisa lagi menunggu
Pelayanan pendidikan bermutu bagi setiap warga dapat diwujudkan. Ditambah penyediaan sumber listrik tenaga surya atau alternatif lain yang teknologinya makin terjangkau, pemerintah mendatang diharapkan memfasilitasi upaya menumbuhkembangkan kasmaran belajar di pelosok Nusantara.

Sampai kapan harus menunggu tersedianya kurikulum dan buku bermutu? Sampai kapan harus menunggu tersebarnya guru kelas dunia di lereng pegunungan terpencil? Sampai kapan harus menunggu adanya fasilitas laboratorium sekolah di pedalaman? Sampai kapan harus menunggu usainya transaksi politik dalam kebijakan pendidikan?

Anak bangsa ini tak punya kemewahan untuk menunggu. Masyarakat dan lembaga pendidikan yang berdaya harus bergerak untuk meyakinkan agar setiap anak segera menjalani belajar bermutu yang mendukung pengembangan kecakapan belajar dan berpikir.

Iwan Pranoto
Guru Besar ITB

(Kompas cetak, 12 Agustus 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

2 komentar:

  1. Sampai kapan harus menunggu tersedianya kurikulum dan buku bermutu? Sampai kapan harus menunggu tersebarnya guru kelas dunia di lereng pegunungan terpencil? Sampai kapan harus menunggu adanya fasilitas laboratorium sekolah di pedalaman? Sampai kapan harus menunggu usainya transaksi politik dalam kebijakan pendidikan?

    TANGGAPAN:
    Sampai Learning Education seperti Google, MIT OCW dan Khan Academy bisa diakses diseluruh negeri dengan biaya yang sangat murah dan masyarakat memiliki minat dan kesadaran bahawa belajar itu sangat nikmat dan membahagiakan

    BalasHapus
  2. Saya mah kasmaran bertwitter

    BalasHapus

Powered By Blogger