Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 07 Mei 2015

Pasal Keranjang Sampah (EDDY OS HIARIEJ)

Lebih dari 75 persen tersangka korupsi selalu menggunakan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, baik yang dijerat oleh Polri, Kejaksaan, maupun oleh KPK.

Agar tidak bias, kedua pasal tersebut dikutip sebagai berikut. Pasal 2 Ayat (1), "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000 dan paling banyak Rp 1.000.000.000."

Sementara Pasal 3 menyatakan, "Setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatannya atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000 dan paling banyak Rp 1.000.000.000."

Hukum balas dendam

Mengapa kedua pasal sering digunakan oleh penegak hukum? Pertama, kedua pasal mengandung norma kabur yang dapat digunakan untuk menjerat siapa pun yang melakukan perbuatan apa pun. Kedua, konsekuensi logis suatu norma kabur, di persidangan sangat mudah dibuktikan penuntut umum (PU).

Ketiga, UU PTPK secara keseluruhan disusun dalam suasana kebatinan reformasi yang menuntut membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya sehingga menggunakan hukum pidana sebagai lex talionis atau hukum balas dendam. Padahal, konvensi PBB mengenai antikorupsi secara implisit menganut keadilan korektif berkenaan dengan hukuman yang dijatuhkan kepada terpidana, keadilan rehabilitatif berhubungan dengan upaya untuk memperbaiki terpidana dan keadilan restoratif berkaitan dengan pengembalian aset negara yang dikorup.

Kedua pasal tersebut selalu didakwa dengan bentuk primair untuk Pasal 2 Ayat (1)—subsider untuk Pasal 3. Ada dua asumsi konstruksi dakwaan yang demikian. Pertama, ancaman pidana Pasal 2 Ayat (1) lebih berat dibandingkan dengan Pasal 3.Kedua, membuktikan Pasal 2 Ayat (1) lebih mudah dibandingkan Pasal 3. Jika Pasal 2 Ayat (1) tidak terbukti, diharapkan yang terbukti adalah Pasal 3.

Secara teoretik sebenarnya tak demikian karena membuktikan Pasal 3 jauh lebih sulit daripada Pasal 2 Ayat (1). Argumentasi teoretiknya, pertama, adanya kata-kata "dengan tujuan" dalam Pasal 3 menandakan corak kesengajaan dalam pasal a quo adalah kesengajaan sebagai maksud. Artinya, antara motivasi, perbuatan dan akibat harus benar-benar terwujud. Jika salah satu saja tak terwujud, PU harus dianggap gagal membuktikan kesengajaan sebagai maksud dalam pasal a quo.

Kedua, konsekuensi logis dari kata-kata "dengan tujuan", PU harus bekerja ekstra untuk membuktikan corak kesengajaan sebagai maksud dan bukan corak kesengajaan lainnya. Artinya, pasal a quotelah menutup peluang adanya kesengajaan sebagai kepastian atau kesengajaan sebagai kemungkinan (van Bemmelen dan van Hattum, 1953 halaman 256 dan 273). Hal ini berbeda dengan Pasal 2 Ayat (1) yang mana PU hanya cukup membuktikan adanya kesengajaan tanpa harus membuktikan lebih lanjut corak dari kesengajaan tersebut.

Ketiga, pada dasarnya penyalahgunaan wewenang dalam Pasal 3 adalah salah satu pengertian melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) (van Hamel, 1913, halaman 270). Dengan demikian, sangat aneh jika ada putusan pengadilan yang menyatakan Pasal 2 Ayat (1) tidak terbukti, sedangkan Pasal 3-nya terbukti. Keempat, harus ada hubungan kausalitas antara penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana dengan jabatan atau kedudukan pelaku. Dalam hal ini ajaran kausalitas dariBrickmayer, yaitu "meist wirksame bedingung": syarat yang paling utama untuk menentukan akibat (Vos, 1950 halaman 78).

Selain unsur "melawan hukum", unsur lain yang selalu menjadi perdebatan adalah unsur "dapat merugikan keuangan negara". Pertama, dengan adanya kata "dapat", menandakan bahwa delik tersebut dikonstruksi secara formal (delik formal) lebih menitikberatkan pada perbuatan dan bukan akibat. Artinya, tidak perlu ada kerugian negara secara nyata, tetapi cukup adanya potensi kerugian keuangan negara. Kedua, tidak ada sinkronisasi dan harmonisasi perundang-undangan kita terkait terminologi "keuangan negara" (lihat lebih lanjut dalam UU Keuangan Negara, UU BUMN, UU Perseroan Terbatas dan UU BPK).

Ketiga, siapakah yang berwenang untuk menentukan adanya kerugian keuangan negara? Apakah BPK, BPKP, akuntan publik ataukah inspektorat kementerian? Ironisnya,banyak kasus korupsi di persidangan, hasil audit yang dilakukan oleh BPK berbeda secara diametral dengan BPKP, yang satu menyatakan ada kerugian keuangan negara sedangkan yang satunya tidak.

Keempat, apakah adanya kerugian keuangan negara serta- merta harus ada tindak pidana korupsi? Anggapan demikian telah mengalami sesat pikir aparat penegak hukum karena tidak selamanya adanya kerugian keuangan negara harus ada tindak pidana korupsi. Dapat saja terjadi kerugian keuangan negara, tetapi dalam konteks administrasi atau perdata. Sebenarnya pembentuk UU PTPK sudah mengantisipasi kerugian keuangan negara yang bukan korupsi dengan ketentuan Pasal 32 UU PTPK.

Dalam praktik, celakanya tak terdapat pemahaman yang sama di antara penegak hukum terkait kedua pasal itu. Tidak jarang terhadap suatu kasus,terdapat perbedaan antara satu institusi penegak hukum dengan institusi penegak hukum lainnya.

Hal ini pernah dialami Hotasi Nababan, terpidana kasus korupsi penyewaan pesawat Boeing. Kasus a quo dihentikan penyidikannya oleh Bareskrim Polri, demikian pula KPK melalui Direktur Pengaduan Masyarakat dengan alasan bahwa tidak cukup bukti. Namun, Bidang Pidana Khusus Kejaksaan Agung berpendapat bahwa sudah cukup bukti adanya tipikor. Anehnya, Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung memenangi gugatan perdata di Pengadilan Washington DC Amerika dalam kasus yang sama. Artinya, dalam Kejaksaan Agung sendiri terdapat silang pendapat. Ada yang menyatakan kasus a quo adalah tipikor dan ada yang menyatakan kasus a quo adalah perdata.

Demikian pula pemahaman hakim di persidangan terhadap kedua pasal tersebut. Suatu ketika, penulis didengarkan keterangan sebagai ahli dalam kasus korupsi bioremediasi oleh PT Chevron. Terjadi perdebatan antara salah seorang anggota majelis hakim dan penulis. Hakim menyatakan bahwa kasus bioremediasi sudah tepat diadili menggunakan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UUPTPK, bukan menggunakan undang-undang lingkungan hidup dengan argumentasi bahwa unsur kerugian negara tidak terdapat dalam undang-undang lingkungan hidup.

Penulis kemudian menyanggah pernyataan tersebut dengan memberi ilustrasi sebagai berikut: sebuah mobil milik Bank Indonesia yang biasanya dipakai membawa uang, tiba-tiba disergap oleh dua orang bersenjata api dan mengambil uang dalam mobil yang jumlahnya ratusan miliar rupiah. Apakah kedua orang tersebut akan dijerat dengan pasal pencurian dengan kekerasan ataukah Pasal 2 Ayat (1) UU PTPK? Penulis selanjutnya menyatakan kalau hakim konsisten, kedua orang tersebut harus dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1) UU PTPK karena dalam pasal pencurian dengan kekerasan tidak ada unsur kerugian keuangan negara. Hanya penuntut umum dan hakim yang mengalami sesat pikir yangakan menjerat kedua orang tersebut dengan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK. Mendengar pernyataan penulis, hakim tersebut tidak berbicara sepatah kata pun.

Pedang bermata dua

Dari silang pendapat ini, dapat dipastikan bahwa hakim yang bersangkutan tidak memahami pembagian delik sebagaitatbestandmassigkeit dandelik sebagaiwesenschau. Secara sederhanatatbestandmassigkeit dapat diartikan perbuatan yang memenuhi unsur delik yang dirumuskan, sedangkanwesenschau mengandung makna suatu perbuatan dikatakan telah memenuhi unsur delik tidak hanya karena perbuatan tersebut telah sesuai dengan rumusan delik, tetapi perbuatan itu juga dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang (Vos, 1950, halaman 35).

Perbuatan kedua orang tersebut telah memenuhi Pasal 2 Ayat (1), tetapi pembentuk undang-undang tidak bermaksud untuk menyatakan perbuatan yang demikian sebagai tipikor. Tegasnya, perbuatan kedua orang tersebuttatbestandmassigkeit memenuhi unsur tipikor, tetapi tidak dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang atau tidakwesenschau sebagai tipikor. Dengan demikian, kedua orang tersebut dituntut dengan pencurian dengan kekerasan.

Konstruksi Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU PTPK yang demikian, ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, sangat efektif untuk menjerat para pejabat negara, politisi dan pebisnis yang secara sendiri-sendiri atau berkolaborasi merampok uang rakyat dengan modus operandi yang canggih demi kepentingan pribadi, golongan atau partai politik tertentu. Di sisi lain, tidak jarang pula kedua pasal tersebut digunakan oleh aparat penegak hukum yang terjerembap dalam kubangan mafia peradilan untuk memeras calon tersangka atau digunakan untuk menyingkirkan lawan-lawan politik. Bahkan, kedua pasal juga dapat digunakan untuk menjerat penggiat antikorupsi yang bersuara keras terhadap institusi penegak hukum tertentu.

EDDY OS HIARIEJ, GURU BESAR HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UGM

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Mei 2015, di halaman 7 dengan judul "Pasal Keranjang Sampah".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

1 komentar:

Powered By Blogger