Di tengah berbagai "hantu", seperti maraknya korupsi, kecurangan, dan ketidakadilan, rasa rindu akan perubahan memunculkan pertanyaan apa yang dapat diperbuat oleh dunia pendidikan?
Berbagai sekolah mencoba menjawab dengan berbagai eksperimen pendidikan karakter. Misalnya, ada yang menerapkan 20 menit pertama untuk mendalami nilai-nilai tertentu yang sudah dipilih, tepat sebelum pelajaran mulai. Pemerintah pun secara formal menerapkan pendidikan karakter dalam Kurikulum 2013. Ada deretan karakter yang para guru diwajibkan untuk menginternalisasikan ke dalam sanubari anak didik.
Kegelisahan tentang pentingnya pendidikan karakter sepertinya tak lepas dari pemikiran betapa institusi pendidikan juga bertanggung jawab menciptakan manusia berkarakter dan berwatak sesuai kebutuhan dan tantangan hidup anak-anak didik kelak, termasuk kebutuhan masyarakat dan bangsanya.
Keinginan dan kesadaran untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik muncul pada masa pergerakan nasional dengan tokoh intelektual seperti Ki Hajar Dewantara. Mari kita mengenal sekilas tentang Ki Hajar Dewantara alias Suwardi Suryaningrat yang juga tokoh pergerakan nasional.
Mengutip dari buku
Tulisan-tulisan Suwardi tentang sosial dan politik diketahui oleh tokoh pergerakan lain, Douwes Dekker. Karena itu, Suwardi diajak Douwes Dekker ke Bandung untuk mengasuh De Expres. Di kota itu, Suwardi ikut mendirikan Indische Partij, organisasi politik pertama dalam sejarah Indonesia, pada 1912. Akibat aktivitas politiknya, Suwardi diasingkan ke Belanda. Sepulang dari pengasingan, dia mendirikan Perguruan Taman Siswa. Pada usia 40 tahun, ia mengubah namanya menjadi Ki Hajar Dewantara.
Pendidikan terhadap bangsa sendiri, yang masih terjajah saat itu, merupakan agenda penting bagi para tokoh pergerakan nasional seperti Ki Hajar Dewantara. Para tokoh pergerakan dengan sadar mengaitkan usaha pendidikan dengan identitas kebudayaan bangsa dan tujuan gerakan nasional, yakni kemerdekaan sebagai "jembatan emas" menuju masyarakat adil dan makmur, demikian paparan dalam buku
Pada era itu, dapat dikatakan pendidikan karakter menjadi bagian penting. Yang ditanamkan saat itu antara lain adalah kepercayaan kepada kekuatan sendiri, cinta kebenaran dan kemerdekaan, solidaritas, kesadaran akan kesamaan derajat, serta pengaruh dari pimpinan yang sanggup berkarya dan memberi contoh.
Masih mengutip buku karya Abdurrachman, pendidikan watak menjadi salah satu sendi yang unsur-unsurnya terdiri atas kecakapan, tahu harga diri dan kewajiban, kekuatan sendiri, dan kekuatan rohani yang dikembangkan untuk berfaedah bagi masyarakat Indonesia.
Pendidikan dengan watak sebagai salah satu sendinya menjadi mesin penting bagi perubahan. Sama halnya para tokoh pergerakan saat itu, Ki Hajar Dewantara merupakan buah dari politik etis yang memberikan kesempatan pendidikan bagi warga pribumi.
Tantangan kini
Tantangan zaman tentu berbeda saat ini. Ketika mencalonkan diri sebagai presiden, Joko Widodo lantang menyerukan revolusi mental sebagai salah satu penggerak perubahan di tengah bangsa yang dirundung berbagai masalah. Sekali lagi dunia pendidikan ditagih perannya dalam membangun karakter masyarakat.
Namun, pendidikan karakter tak pernah mudah dilaksanakan. Terdapat bahaya dan jebakan dari pendidikan karakter secara formal di sekolah. Guru dapat terjebak dalam formalitas tugas-tugas administrasi. Persoalan ini mulai dikeluhkan para guru, yakni rumitnya mengisi penilaian karakter murid dalam Kurikulum 2013.
Selain itu, siswa tak bertumbuh dalam ruang niskala. Masih ada keluarga dan lingkungan yang turut membentuk anak. Bahkan, lingkungan anak pun masih harus didefinisikan ulang seiring perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.
Ruang-ruang di media sosial dan laman-laman daring menjadi tempat baru bagi anak-anak untuk berinteraksi. Bahkan, di ruang-ruang itu tak ada lagi sekat. Siapa saja dapat menjadi "guru kehidupan" bagi anak.
Di tengah segala perubahan itu, seperti yang diungkapkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan dalam pidato saat upacara Hari Pendidikan Nasional, secara institusional pemerintah memfasilitasi, tetapi secara moral tugas mendidik merupakan ikhtiar kolektif. Sebagai contoh, Anies mengajak masyarakat beramai-ramai memerangi kecurangan dalam ujian nasional yang saat ini sedang dijalankan para murid SMP.
Seruan Anies bukan lagi 100 persen kelulusan ujian nasional, melainkan 100 persen kejujuran. Indeks integritas untuk mengecek kejujuran dalam pelaksanaan ujian ditegakkan. Sebagai apresiasi, para murid SMAN 3 Yogyakarta yang beberapa waktu lalu melaporkan adanya kebocoran soal di dunia maya mendapat penghargaan dari Komisi Pemberantasan Korupsi. Pada akhirnya, butuh peran bersama masyarakat dalam pendidikan.
Ada ungkapan
Sumber: http://print.kompas.com/baca/2015/05/05/Karakter%2c-Pendidikan%2c-dan-Ki-Hajar-Dewantara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar