Tak banyak di antara lembaga negara atau komisi negara yang lahir dari rahim reformasi yang mampu menunjukkan signifikansinya dalam menjawab kebutuhan praktik bernegara.
Di antara semua pendatang baru, Mahkamah Konstitusi (MK) adalah salah satu lembaga negara yang mampu menunjukkan eksistensi sesuai mandat konstitusionalnya sebagai pemegang kekuasaan kehakiman. Dari bentangan fakta yang ada, sejak kehadirannya MK berhasil menunjukkan diri sebagai pengawal konstitusi, terutama dari kemungkinan penggerogotan substansi UU terhadap UUD 1945. Setidaknya, selama 10 tahun berkiprah, MK telah mengabulkan 127 permohonan dari 486 putusan pengujian UU. Bahkan, bagi pegiat antikorupsi, MK diposisikan sebagai salah satu benteng dalam merawat keberlanjutan agenda pemberantasan korupsi.
Melihat kiprah sejak awal, MK menjadi primadona untuk menyelesaikan berbagai persoalan kenegaraan. Misalnya, penyelesaian sengketa hasil pemilu kepala daerah (pilkada) yang sebelumnya berada dalam wewenang Mahkamah Agung, karena berbagai alasan dan pertimbangan dialihkan ke MK. Disadari atau tidak, pengalihan itu memaksa MK berbagi fokus antara wewenang yang diberikan UUD 1945—terutama pengujian UU, dengan ketatnya batas waktu penyelesaian sengketa pilkada.
Dengan limitasi yang ketat dalam menyelesaikan sengketa pilkada, dalam batas-batas tertentu pengujian UU sedikit terabaikan. Padahal, kewenangan pengujian UU merupakan mahkota MK. Karena itu, dalam suasana merayakan satu dasawarsa salah satu pemegang kekuasaan kehakiman ini (13 Agustus 2003-13 Agustus 2013), kemungkinan memudarnya mahkota MK relevan didiskusikan.
Apalagi, pengisian hakim konstitusi mulai menggerus penilaian banyak pihak yang dapat mengubah pandangan terhadap MK. Sampai sejauh ini, hanya DPR yang melakukan seleksi secara transparan dan partisipatif. Padahal, sekitar lima tahun lalu, Presiden pernah melakukan proses yang terbuka dan partisipatif. Namun dalam pengisian dua hakim konstitusi terakhir, Presiden memilih langkah yang sama dengan MA: menunjuk hakim seperti urusan privat pihak istana semata.
Terabaikan
Jamak dipahami, UU merupakan hasil dari sebuah proses politik. Karena itu, seperti ditulis John Agresto (1984), tidak tertutup kemungkinan munculnya UU yang oppressive atau despotic. Tak hanya itu, kepentingan politik sangat mungkin menghadirkan UU yang bertentangan dengan konstitusi.
Guna mencegah kekhawatiran itu, pengujian UU terhadap konstitusi menjadi pilihan tak terelakkan. Gagasan ini pula yang mendorong Chief Justice Marshall dalam kasus Marbury vs Madison (1803) memulai judicial review. Jika dikaitkan dengan proses legislasi, Hans Kelsen (1973) menukilkan bahwa judicial review merupakan sebuah kekuatan untuk mengontrol substansi UU.
Dalam batas-batas tertentu, gagasan agar produk UU tak menabrak UUD 1945 itu pula yang jadi salah satu pertimbangan mendasar dalam membentuk dan memberikan kewenangan pengujian UU terhadap konstitusi kepada MK. Bahkan, apabila dibaca risalah perubahan UUD 1945, kewenangan MK yang lain dapat dikatakan sebagai "wewenang tambahan" yang mengikuti pengujian UU sebagaimana diamanatkan UUD 1945.
Jika dikaitkan dengan penyelesaian sengketa pilkada, pelimpahan dari MA telah menggeser kewenangan yang jadi mahkota MK. Kini, sepertinya, penyelesaian sengketa pilkada mulai menggeser persidangan pengujian UU. Sejak pengalihan dari MA pada 2008, MK telah memutuskan 598 permohonan sengketa pilkada. Jumlah itu bermakna, setiap tahun MK harus menyelesaikan sekitar 100 permohonan sengketa pemilu kepala daerah.
Selain jumlah permohonan kasus penyelesaian sengketa pilkada, fakta tambahan membuktikan mulai bergesernya fokus pelaksanaan kewenangan MK dapat dilacak dari limpahan perkara dalam empat tahun terakhir: 2010, terdapat 39 permohonan pengujian UU limpahan tahun 2009; 2011, 59 limpahan dari tahun 2010; 2012, 51 limpahan dari tahun 2011; dan 2013, 72 limpahan dari tahun 2012. Secara statistik, dalam rentang empat tahun terakhir, limpahan perkara pengujian UU menunjukkan kecenderungan meningkat.
Langkah pemulihan
Tak hanya soal kecenderungan peningkatan limpahan perkara, dalam beberapa waktu terakhir sejumlah permohonan pengujian yang memerlukan proses penyelesaian cepat dari MK justru tidak jelas nasibnya. Padahal, penyelesaian cepat penting bagi pemohon, terutama dalam menyongsong momentum tertentu. Di antara permohonan yang masuk kategori itu: permohonan pengujian yang diajukan Effendi Gazali terkait penyelenggaraan pemilu serentak, permohonan Diaspora terkait daerah pemilihan luar negeri; dan permohonan Laksanto Utomo dkk terkait pemilihan calon hakim agung oleh DPR.
Sekalipun tidak dapat dikatakan penyebab seutuhnya, pelimpahan penyelesaian sengketa pilkada dapat dikatakan memberikan kontribusi signifikan. Demi memulihkan dan mempertahankan mahkota MK, memulangkan penyelesaian sengketa pilkada ke MA bukan pilihan tepat. Melihat gejala dalam penyelesaian sengketa di MK, mengembalikan ke MA memiliki risiko yang lebih tinggi. Selain soal internal, proses hukum di pengadilan tinggi akan membuat jarak pelaku politik begitu dekat dengan pengadilan.
Agar pengujian UU yang merupakan kewenangan mahkota MK tetap terpelihara dengan baik, yang paling mungkin dilakukan adalah membatasi perkara sengketa pilkada yang dapat disengketakan di MK. Untuk ini, draf RUU Pilkada dapat membuat batasan minimal selisih suara yang dapat diajukan ke MK. Misalnya, dalam sengketa pemilu Gubernur Sulawesi Selatan, dengan selisih suara sekitar 500.000, pasangan yang kalah masih mengajukan gugatan ke MK. Padahal, dalam penalaran yang wajar, selisih itu tidak mungkin lagi bisa dibuktikan terjadi kesalahan dalam penghitungan suara.
Pembatasan tersebut bisa diterobos sekiranya alasan permohonan karena adanya pelanggaran yang bersifat "terstruktur", "sistematis", dan "masif". Namun, permohonan semacam ini terlebih dahulu harus membuktikannya dalam sidang pendahuluan yang dilakukan hakim tunggal. Jika bukti-bukti di sidang pendahuluan tidak cukup kuat, MK menyatakan permohonan tidak dapat diterima atau permohonan tidak berdasar.
Selain tawaran tersebut, di hari-hari pertama memasuki periode 10 tahun kedua MK, semua pihak dapat mencarikan solusi menghadapi masalah ini. Bagaimanapun, kita tidak ingin memudarnya mahkota MK jadi titik awal memudarnya MK sebagai salah satu anak kandung reformasi. Apa pun, selamat ulang tahun ke-10 untuk sang penjaga konstitusi.
(Saldi Isra, Guru Besar Hukum Tata Negara; Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas)
(Kompas cetak, 14 Agustus 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar