Agaknya bukan sekadar koinsidensi sejarah manakala anyaman kebangsaan kita berawal dan beralas-sumbu nasionalisme dan Islam. Kelahiran Boedi Oetomo (1908) dan Sjarekat Dagang Islam (1909) menunjukkan fakta otentik bahwa aras pergerakan nasional digali dari simpul realitas sosial-politik-ekonomi bumiputra.
Dua sumber perekat kebangsaan ini terbukti ampuh menyuburkan gerakan menentang kolonialisme. Para penyemai benih kebangkitan nasional, pendiri Boedi Oetomo, adalah empat serangkai dokter STOVIA, yaitu Soetomo, Wahidin Sudirohusodo, Gunawan Mangoenkoesoemo, dan Suradji. Adapun Sjarekat Dagang Islam digagas Tirto Adhi Soerjo, kemudian dikembangkan Haji Samanhudi di Solo. Tirto keluar dari STOVIA dan menerbitkan koran berbahasa Melayu pertama, Medan Prijaji (1907), surat kabar advokasi bagi pribumi yang diperlakukan tidak adil oleh penjajah. Ki Hadjar Dewantara (1952) menyebut Tirto jurnalis pemberani, tokoh besar dengan visi melenting jauh ke depan dalam memandu olah kesadaran berbangsa di kalangan terpelajar.
Kosong ideologi
Kebangsawanan pikiran dan tindakan generasi pemula menjadi suluh penerang ke arah proklamasi kemerdekaan. Dari paralelisme historis ini, kita dapat "menagih" lagi peran kelas terdidik bagi kemajuan dan kejayaan republik.
Pendiri bangsa merumuskan tujuan bernegara dalam Mukadimah UUD 1945. Ketika Bung Karno (1963) menggelorakan Trisakti (berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan), tujuan berbangsa fokus pada kemandirian dan penegakan martabat. Bung Hatta mendesain prinsip ekonomi kekeluargaan melalui persilangan entitas sosial-ekonomi dan pembelajaran bersama agar kapasitas rakyat bertumbuh. Kini kita tahu, konsepsi koperasi Bung Hatta yang diinspirasi dari pengamatannya di negara-negara Skandinavia sesungguhnya merupakan embrio sekaligus padanan cerdas bangun negara kesejahteraan (welfare state) ala Indonesia.
Setelah era para ideolog berkarakter negarawan ini, kaum teknokrat mengelola negara dengan aneka ramuan resep pembangunan tetapi kosong ideologi, tunajiwa kerakyatan. Dalam kehampaan visi berbangsa, terdapat sedikitnya lima problem menyengat Indonesia hari ini.
Pertama, berlainan dengan politisi generasi pertama republik, kancah politik kita banyak diisi mereka yang mengejar efek moonlight: hasrat kuasa, kaya, kondang, dengan cara menerabas kepatutan. Mereka adalah jenis politisi medioker, oportunis, miskin kapasitas dan integritas mendominasi. Instrumen demokrasi hanya menyodorkan memilih wakil partai sebagai wakil rakyat, tatkala kondisi kepartaian terus mereproduksi keruwetan, egoisme golongan, perkawinan kepentingan kelompok, dan kebangkrutan nilai.
Kedua, pasca-Tragedi 1965 kekuatan- kekuatan otoaktivitas kolektif dalam masyarakat dimandulkan. Akumulasi kapital di tangan segelintir orang dan korporasi asing melenggang tanpa koreksi memadai. Sedikit letupan pada peristiwa Malari 1974 tidak berlanjut sebagai gerakan permanen. Serikat tani, pekerja, dan golongan fungsional lumpuh. Pembelaan terhadap kelompok-kelompok lemah diambil alih lembaga swadaya masyarakat dengan skala operasi terbatas.
Ketiga, akibat liberalisme tanpa kontrol, kuasi politisi-penguasa-pengusaha busuk leluasa bermain lewat kebijakan. Sejumlah undang-undang ditengarai menjadi subordinat kepentingan asing. Kondisi ini diperparah konsumtivisme, basis produksi nasional tersisih di pasarnya sendiri.
Keempat, tabungan nasional tergerus untuk membiayai impor dan membayar utang, termasuk biaya rekap Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Nisbah utang pemerintah dan swasta dengan Produk Nasional Bruto jauh dari kategori aman bila aktivitas usaha asing dikeluarkan dari perhitungan. Keseluruhan biaya ini jauh lebih besar ketimbang alokasi untuk kaum miskin dan investasi infrastruktur.
Kelima, berkembangnya sifat munafik dan culas. Semarak beragama gagal memancarkan kesalehan sosial dan keadaban publik. Selain korupsi dan mewabahnya politik kekerabatan, aksi memperkaya diri secara melawan hukum tidak berkurang. Laporan Global Finance Integrity Desember 2012 memosisikan Indonesia di urutan ke-9 dari 150 negara yang pejabat dan orang kayanya paling banyak melenyapkan uang negara melalui perantaraan offshore company di kawasan Tax Havens.
Kita masih jauh dari era demokrasi deliberatif, persenyawaan prinsip keterwakilan dan keadilan sebagai representasi keragaman. Pergantian beberapa kali rezim lemah menyusun peta jalan menuju masyarakat madani. Energi banyak terbuang untuk menangani masalah temporal-sektoral, tanpa erudisi besar mengatasi hulu persoalan. Sibuk mematut eksistensi dan ekstensi bermacam institusi dengan pengaruh berderajat rendah bagi kemaslahatan publik. Nubuat proklamasi sebagai "jembatan emas" untuk menggapai kemakmuran bersama sering kandas oleh fragmentasi kepentingan.
Berkah, bukan kutukan
Jutaan kelas menengah terdidik yang telah terpenuhi self esteem-nya hidup dan menyerap sejarah panjang negerinya sendiri dan bangsa-bangsa lain. Mereka juga paham syarat-syarat pokok sebuah bangsa meraih kemajuan sekaligus mewariskan tatanan tertib sosial-politik-ekonomi bagi generasi penerus. Mereka yang hanya sibuk melayani kepentingan sendiri dan golongannya kelak cuma menjadi debu dalam sejarah.
Bila tidak saksama mengantisipasi aneka gelombang krisis, kita juga diingatkan fenomena jebakan perangkap tingkat pendapatan menengah-rendah (low middle income trap) yang sewaktu-waktu bisa terjun bebas ke lembah kesulitan baru. Disorientasi nilai dan pembiaran segala sengkarut berbangsa hanya menunda kekalahan, memperpanjang tapal batas kemunduran.
Pada kaum terdidik tercerahkan, rakyat menaruh harapan agar cita-cita mulia proklamasi bersinar lagi dan mengobarkan semangat. Pada kaum terpelajar berbudi yang tengah tumbuh pesat ini, kita berharap berkah seperti pernah dicontohkan segelintir elite pendahulu. Bukan sebaliknya: kelas menengah keropos yang membawa kutukan bagi republik.
(SUWIDI TONO, Koordinator Forum Menjadi Indonesia)
(Kompas cetak, 15 Agustus 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar