Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 27 September 2013

Konvensi Ujian Nasional (Tajuk Rencana KompasY

Setelah sepuluh tahun ujian nasional diselenggarakan dalam bayang-bayang kontroversi, kita dukung konvensi ujian nasional pada 26-27 September ini.
Konvensi kita harapkan menemukan sistem dan cara mengevaluasi proses belajar sesuai dengan filosofi dan prinsip kependidikan serta perundangan. Kedua "prakonvensi" sebelumnya saling mengambil posisi berseberangan. Jalan terus atau hentikan. Yang pro dan yang kontra-ujian nasional (UN) perlu duduk bersama mengevaluasi UN. Perlu kesamaan persepsi dalam sistem dan cara mengevaluasi hasil belajar. Acuannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam Pasal 61 Ayat 2, "evaluasi belajar diselenggarakan oleh satuan pendidikan" yang terakreditasi. Perlu ditemukan kesepakatan agar praksis pendidikan tidak terus dibayangi pro dan kontra yang hanya berdampak membuat "lang-ling-ling" guru, orangtua, dan peserta didik.

Menurut Pasal 61 Ayat 2, yang berhak mengevaluasi dan menentukan kelulusan adalah sekolah (satuan pendidikan) yang terakreditasi seperti halnya di tingkat pendidikan tinggi. Penerapan pasal secara kaku menjadi masalah mengingat kondisi riil masyarakat, terutama menyangkut kesiapan infrastruktur serta kondisi kemajemukan dan budaya masyarakat Indonesia.

Banyak pihak, termasuk ahli ilmu kependidikan negeri ini, kurang sepakat terhadap penyelenggaraan UN. Filosofi, dasar, prinsip dan penyelenggaraannya tidak bisa dipertanggungjawabkan apalagi berbentuk ujian tes obyektif dengan pilihan ganda. Belum lagi faktor biaya, apalagi kecurangan—kebiasaan buruk yang sekarang dianut masyarakat, turunan korupsi yang dilakukan elite politik dan pejabat publik negeri ini. Pendek kata, no terhadap UN.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kita nilai cukup mempertimbangkan kondisi sosial budaya masyarakat. Memang yang berhak mengevaluasi hasil belajar adalah sekolah, bahkan guru, tetapi ketika kondisi sosial budaya masyarakat belum memungkinkan, menjadi kewajiban pemerintah mencari terobosan dengan UN.

Ketika selembar ijazah diperjualbelikan, pun di tingkat pendidikan tinggi dengan sistem terakreditasi, yang ideal pedagogis diterjemahkan dengan mempertimbangkan kenyataan di lapangan. Yang berhak mengevaluasi hasil belajar memang sekolah yang terakreditasi, tetapi ketika proses memperoleh statusnya, bahkan cara memberikan ijazah pun tidak bisa dipertanggungjawabkan, sekolah ibarat menaruhkan pepesan kosong.

Penyelenggaraan UN perlu terus diperbaiki. Prinsip proses belajar dievaluasi, prinsip perlu standardisasi minimum kurikulum setiap mata pelajaran diperbaiki, termasuk potensi kecurangan, perubahan pembobotan UN dan rapor, serta model tes obyektif pilihan ganda. Masalah pendidikan, masalah semua. Hak semua orang menyampaikan aspirasi. Namun, ketika setiap kebijakan selalu diwacanakan sahih-tidaknya, katakanlah UN dan sebelumnya perubahan kurikulum, kita menaruhkan balok panas di kepala peserta didik. "Lang-ling-ling" terus!

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002335086
Powered by Telkomsel BlackBerry®

1 komentar:

  1. Nah! ini contohnya Penguasa yang Sok Tau!
    Coba sekali-kali pak menteri itu ditugaskan mengajar barang satu semester aja di Papua!
    Biar tau rasanya menjadi pelaksana Ujian Nasional!
    Dari pandangan saya sebagai masyarakat awam, sepertinya pelaksanaan UN berikutnya akan semakin kacau, akibat terlalu bertele-telenya prosedur administrasi teknis yang harus dilalui.
    Semoga Pak Menteri bisa segera berhenti mengigau!

    BalasHapus

Powered By Blogger