Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 17 Januari 2014

Ekonomi Politik Nilai Tukar (Makmur Keliat)

MENGAPA nilai tukar rupiah terhadap dollar AS terus merosot? Bagaimanakah prospek nilai tukar rupiah sepanjang 2014? Apakah ambang batas Rp 12.000 per dollar AS akan bersifat sementara?

Ketidakstabilan nilai tukar rupiah adalah konsekuensi logis dari dianutnya kebijakan nilai tukar mengambang (floating rate policy). Indonesia tidak menganut sistem nilai tukar tetap (fixed exchanged policy). Indonesia juga tidak menganut kebijakan kontrol modal (capital control). Kerangka regulasi terhadap lalu lintas modal di Indonesia selama ini sangat longgar.

Indonesia dikenal sebagai negara yang menganut rezim devisa bebas. Identifikasi yang dilakukan menunjukkan bahwa tidak terdapat larangan bagi orang yang bertempat tinggal di Indonesia untuk menyimpan dollar AS. Juga tidak terdapat keharusan bagi eksportir Indonesia untuk menyimpan hasil devisa ekspornya di Indonesia. Kewajiban yang diharuskan dalam kerangka regulasi yang ada sejauh ini hanyalah dalam bentuk pelaporan dan bukan "pelarangan" lalu lintas modal.

Perspektif ekonomi
Dari perspektif ekonomi, kerap disebutkan bahwa dinamika nilai tukar di bawah kerangka rezim devisa bebas seperti ini sangat ditentukan oleh dua variabel utama, yaitu variabel eksternal dan variabel internal. Di variabel eksternal, nilai tukar rupiah itu sangat ditentukan lalu lintas modal di tingkat global. Di variabel internal, nilai tukar rupiah itu akan dipengaruhi kinerja dari perekonomian makro Indonesia, khususnya di neraca perdagangan dan beban pembayaran utang.

Terkait dengan variabel eksternal, para ekonom kerap pula menyebutkan pembatasan penyediaan likuiditas melalui kebijakan tapering off (pengetatan stimulus moneter) yang dilakukan oleh otoritas keuangan di Washington DC telah mengakibatkan lalu lintas modal di tingkat global mengalir kembali masuk ke Amerika Serikat. Dampaknya bagi Indonesia adalah permintaan terhadap dollar AS semakin meningkat. Sentimen pasar keuangan global ini telah mengakibatkan nilai tukar rupiah semakin menurun. Dalam hubungannya dengan variabel internal, dua faktor penting juga sering disebutkan.

Faktor pertama, kinerja dari neraca perdagangan. Dalam dua tahun terakhir dan untuk pertama kali dalam lima dasawarsa terakhir, nilai total impor Indonesia telah melebihi nilai ekspornya. Pada tahun 2012, defisit neraca perdagangan itu mencapai lebih dari 14 miliar dollar AS dan perkiraan defisit sementara untuk tahun 2013 adalah sekitar 8 miliar dollar AS. Defisit dalam neraca perdagangan ini tentu saja membawa akibat berupa permintaan terhadap dollar AS semakin meningkat dibandingkan dengan permintaan terhadap rupiah.

Faktor kedua adalah beban utang luar negeri, terutama jangka pendek, yang jatuh tempo pembayarannya kurang dari setahun. Struktur utang luar negeri Indonesia menunjukkan bahwa jatuh tempo pembayaran pinjaman luar negeri jangka pendek Indonesia, baik yang dibuat pemerintah maupun swasta, hingga Juni adalah sebesar 32 miliar dollar AS. Ini berarti akan terdapat tekanan permintaan yang semakin besar terhadap dollar AS dalam enam bulan ke depan. Permintaan terhadap dollar AS yang semakin besar untuk membayar utang jangka pendek ini pada gilirannya telah memberi tekanan pada penurunan nilai tukar rupiah.

Mengingat variabel eksternal tidak dapat dikendalikan, satu-satunya tanggapan kebijakan adalah pada variabel internal. Tindakan kebijakan untuk stabilisasi nilai tukar secara institusional berada di bawah otoritas Bank Indonesia. Sebagai bank sentral, tanggapan kebijakan yang telah diberikan Bank Indonesia sejauh ini adalah melalui instrumen tingkat suku bunga. Kenaikan tingkat suku bunga Bank Indonesia sebanyak tiga kali dalam dua bulan terakhir merupakan implementasi dari instrumen kebijakan stabilisasi nilai tukar itu. Kenaikan suku bunga diharapkan akan dapat menetralkan (bukan menghilangkan secara total) dampak dari tapering off di tingkat global itu.

Di samping melalui instrumen kebijakan tingkat suku bunga, tanggapan kebijakan yang juga harus dilakukan adalah bagaimana membuat neraca perdagangan Indonesia menjadi positif. Namun, mengubah struktur perdagangan dari defisit menjadi surplus tidaklah mudah dan tidak dapat berjalan dengan cepat. Struktur ekspor Indonesia pada saat ini sangat didominasi ekspor komoditas. Namun, pada saat yang sama terdapat kecenderungan melemahnya permintaan terhadap komoditas di pasar internasional sebagai akibat dari menurunnya pertumbuhan ekonomi global.

Hal ini, pada gilirannya, telah disebutkan melemahkan permintaan dan harga jual komoditas Indonesia di pasar internasional itu, seperti minyak kelapa sawit dan batubara. Pada saat yang sama pula, pemerintah telah menerapkan regulasi baru, yaitu melalui kebijakan pelarangan ekspor komoditas mineral dan batubara pada Januari tahun 2014. Hal ini tentu saja sedikit banyak menyulitkan bagi Indonesia untuk mengubah struktur ekspornya secara cepat.

Perspektif politik

Dengan mempertimbangkan tanggapan dan kendala kebijakan seperti ini, hampir bisa dipastikan bahwa sampai dengan pertengahan tahun 2014 tekanan terhadap nilai tukar rupiah kemungkinan akan terus berlangsung. Secara ekonomi makro sangat tipis kemungkinan untuk berharap bahwa nilai tukar rupiah dalam jangka pendek akan kembali pada tingkat Rp 10.000 per dollar AS, setidaknya sampai dengan Juni yang akan datang. Pertanyaan yang kemudian harus dijawab adalah apakah penurunan nilai tukar rupiah seperti ini "baik" ataukah "buruk" bagi ekonomi nasional?

Ironisnya pemerintah tidak pernah memberikan jawaban apa pun terhadap pertanyaan ini. Padahal kita semua tahu bahwa nilai tukar rupiah yang merosot akan membawa dampak berbeda bagi setiap sektor usaha. Bagi pelaku usaha yang berorientasi ekspor yang tidak (atau sangat sedikit) memiliki komponen impor, tentu saja kemerosotan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS ini berdampak positif. Namun, tentu saja tidak demikian halnya bagi pelaku usaha dengan komponen impor yang besar. Kelompok ini pasti akan sangat menderita.

Mengingat pemerintah tidak pernah menyebutkan berapakah sebenarnya nilai tukar yang ideal itu, terdapat kesan kuat bahwa secara politik pemerintah tidak berdaya dan mengambil sikap lepas tangan (hands-off). Sesungguhnya seluruh tanggapan kebijakan yang telah dilakukan dapat disebut sebagai tanggapan kebijakan "moderat". Dengan kata lain, opsi kebijakan radikal, seperti nilai tukar tetap dan kontrol modal, bukan merupakan pilihan kebijakan yang diambil pemerintah saat ini.

Pilihan kebijakan moderat yang telah diambil pemerintah itu adalah turunan dari paradigma modal. Dengan menaikkan tingkat bunga, misalnya, pemerintah sebenarnya tengah membujuk para pemilik modal besar di industri keuangan (perbankan, pasar modal, dan asuransi) untuk tidak meninggalkan negeri ini. Intinya adalah opsi kebijakan moderat memiliki muatan untuk lebih memihak dan mempromosikan kepentingan pemodal di sektor industri keuangan itu. Konsekuensinya, stabilisasi nilai tukar dan pengendalian inflasi bukan menjadi prioritas kebijakan. Prioritasnya adalah bagaimana mengumpani para pemburu rente keuangan (financial rent seekers) itu melalui penaikan tingkat bunga.

Tidak munculnya kegelisahan besar dari sektor riil sesungguhnya juga menyampaikan sinyal-sinyal yang membingungkan (disturbing signal). Ia dapat menyampaikan pesan bahwa leverage politik dari sektor rill untuk memengaruhi para pembuat kebijakan memang sangat lemah jika dibandingkan dengan para pelaku di sektor industri keuangan. Sektor riil tidak mampu memengaruhi praktisi kebijakan, baik di legislatif, eksekutif, maupun otoritas keuangan, di Indonesia.

Ia juga dapat menyampaikan sinyal bahwa secara politik para pelaku di sektor industri keuangan—yang secara numerik jumlahnya bisa gampang dihitung—telah berhasil "mengooptasi" (untuk tidak menyatakan "mendiamkan") para pelaku kebijakan itu untuk menaikkan tingkat suku bunga. Jika kedua sinyal ini memang yang tengah disampaikan, Indonesia barangkali merupakan contoh par excellence dari praktik-praktik kapitalisme kasino (casino capitalism). Menurut Susan Strange praktik kapitalisme seperti ini tidaklah baik karena dapat meluluhlantakkan sektor riil walaupun tidak ikut bermain di dalam logika taruhan judi itu. Untuk menghindarkan adanya penyampaian sinyal menakutkan seperti ini, sudah saatnya pemerintah harus berani menyatakan secara tegas dan terus terang berapakah sebenarnya nilai tukar yang ideal itu dengan argumen yang tajam dan logis.

MAKMUR KELIAT, Pengajar di Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu (FISIP), Universitas Indonesia

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004155256
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger