Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 10 Januari 2014

Larangan Ekspor Mineral Mentah (Anwar Nasution)

RENCANA pemerintah memberlakukan larangan ekspor segala jenis mineral mentah mulai 12 Januari 2014 ditanggapi dengan sikap pro dan kontra dari sejumlah kalangan berbeda.

Program hilirisasi tambang ini merupa- kan amanat UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Miner- ba) dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No 7/2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral. UU dan permen itu memaksa semua perusahaan tambang mendirikan pabrik pengolahan sendiri, apakah berupa pabrik peleburan ataupun pengolahan sendiri, atau memberi kesempatan bagi investor lain mendirikan pabrik pengolahan seperti itu.

Padahal, sifat dan hakikat antara satu dan lain jenis hasil tambang sangat berbeda. Karena tidak dirancang dengan perhitungan ekonomis, melawan struktur pasar internasional, dan terbatasnya kapa- sitas pabrik pengolahan di dalam negeri yang dapat mengolah hasil tambang, kedua aturan itu macam macan ompong be- laka. Kedua aturan itu bukan dibuat ahli ekonomi pertambangan yang baik.

Terlambat dan tanpa koordinasi
Tidak jelas apakah Kementerian ESDM mengoordinasikan kebijakan larang ekspor itu dengan mitra kerjanya di kemen- terian dan instansi lain, seperti Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, serta Bank Indonesia. Mereka yang menentang melihat, dalam kondisi ekonomi yang sulit dewasa ini, larangan ekspor mineral mentah akan makin menurunkan penerimaan negara dari royalti dan berbagai jenis pajak yang mengganggu APBN. Daerah produsen hasil tambang yang tadinya kaya raya kini sudah mulai megap-megap karena penurunan penerimaannya dari sektor pertambangan. Nilai tukar rupiah akan terus melemah karena berkurangnya penerimaan devisa ekspor, kiriman TKI, maupun pemasukan modal asing jangka pendek.

Selain itu, tanpa adanya larangan ekspor perusahaan tambang dan perkebunan pun, kita sudah menderita akibat dari penurunan tingkat harga komoditas primer di pasar internasional yang sangat drastis, sekitar 40 persen, sejak akhir 2011. Larangan ekspor akan membuat harga komoditas primer makin rendah di pasar dalam negeri. Larangan ekspor dikhawatirkan juga akan membuat citra Indonesia sebagai pemasok tak dapat diandalkan sehingga merangsang pembeli beralih ke negara penghasil lainnya, seperti Australia, Papua Niugini, New Caledonia, Mongolia, Rusia, atau negara-negara di Amerika Latin dan Afrika. Sering berubahnya aturan menyebabkan tak adanya kepastian usaha bagi investasi di sektor pertambangan yang beroperasi dalam jangka panjang.

Aturan hilirisasi hasil tambang di atas dibuat pada saat puncak kenaikan tingkat harga komoditas primer terjadi, termasuk hasil pertambangan, selama 2000-2011. Namun, kebijakan itu diimplementasikan pada saat yang salah, yakni setelah harga- harga meluncur turun secara drastis mulai akhir 2011. Selama 2008-2011 saja, ekspor konsentrat nikel naik 11 kali lipat, nilai ekspor bauksit 5 kali lipat, dan nilai ekspor nikel 8 kali lipat.

Hal yang sama juga terjadi pada harga komoditas pertanian, seperti minyak kelapa sawit, cokelat, dan karet. Kedua aturan itu dibuat berdasarkan asumsi bahwa tingkat harga hasil tambang akan terus meningkat 1 persen setahun dan biaya pendirian pabrik pengolahan naik 2 persen. Karena dirangsang tingkat keuntungan yang tinggi, tadinya banyak investor yang tertarik berinvestasi di sektor pertambangan dan perkebunan pada masa boom tersebut. Teknologi yang diperlukan untuk pertambangan batubara juga sangat sederhana seperti penggalian gunung kapur di Purwakarta atau pasir lava letusan Gunung Merapi di Kali Code, Yogyakarta, yang cukup bermodalkan sekop, pacul, dan otot.

Penyebab boom komoditas primer selama ini ialah adanya pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi, rata-rata 9-10 persen setahun di China sejak Deng Xiaoping meliberalkan ekonominya pada 1987 dan India melakukan hal sama mulai 1992. Modernisasi, mekanisasi, motorisasi, ataupun pembangunan infrastruktur yang tumbuh pesat di kedua negara memerlukan sumber energi serta segala macam jenis hasil tambang. Rakyatnya yang semakin makmur menuntut kualitas makanan yang lebih baik, termasuk minyak goreng dan hasil laut dari Indonesia.

Motor penggerak pertumbuhan ekonomi China adalah investasi dan ekspor yang tinggi. India mempromosikan jasa-jasa berbasis komputer. Kedua negara sosialis itu, yang tadinya sangat anti pada modal asing, kini justru mengundangnya ikut menciptakan lapangan kerja di dalam negerinya sendiri, melakukan transfer teknologi, dan membuka pasar ekspor.

Penurunan harga komoditas primer terjadi pada saat yang bersamaan dengan peningkatan tingkat suku bunga pinjaman di pasar dunia akibat dimulainya pengurangan pembelian obligasi pemerintah dan surat berharga lainnya oleh bank sentral Amerika Serikat. Suntikan likuiditas melalui pembelian besar-besaran surat-surat berharga itu dikenal sebagai the quantitative easing (QE) yang telah menurunkan tingkat suku bunga hingga mendekati nol guna merangsang pengeluaran konsumsi dan investasi sektor swasta. Kombinasi kenaikan tingkat suku bunga dan penurunan harga komoditas primer yang merupakan produknya akan menimbulkan masalah likuiditas, solvabilitas, ataupun kebangkrutan bagi perusahaan pertambangan dan perkebunan yang banyak meminjam di luar negeri.

Apa yang diperlukan?
Pabrik pengolahan atau peleburan hasil tambang bersifat padat modal dan padat energi sehingga memerlukan investasi modal skala besar. Agar efisien, kapasitas pabrik itu harus besar dan memenuhi skala ekonomi minimal tertentu. Tenaga yang diperlukannya pun adalah yang memiliki pendidikan serta keterampilan tinggi. Selain itu, diperlukan infrastruktur yang baik, berupa transportasi darat dari tambang hingga pelabuhan, atau pabrik pengolahan serta pelabuhan laut, teleko- munikasi serta pengolahan limbah agar tak mencemarkan lingkungan hidup. Pertanyaan, apakah investasi modal besar itu akan memberi nilai tambah memadai?

Semua persyaratan di atas tak bisa kita penuhi dewasa ini. Kita tak punya modal besar, keahlian teknologi, ataupun manajemen mendirikan dan mengelola pabrik peleburan besar. PT Inalum membangun semua keperluannya, pembangkit tenaga listrik, jalan raya, pelabuhan, hingga kota baru, lengkap dengan rumah serta fasilitas sosial karyawan. Bekerja sama dengan investor luar, PT Antam hanya mampu membangun beberapa pabrik peleburan hasil tambang skala kecil yang digerakkan pembangkit tenaga listrik yang mahal.

Perhatikanlah tenaga-tenaga teknisi yang bekerja di sektor pertambangan kita. Karena kurangnya teknisi Indonesia, tek- nisi di sektor minyak pada umumnya berasal dari Texas dan Oklahoma, negara bagian penghasil migas di AS. Tenaga teknis di pertambangan nonmigas, mulai dari Freeport di Papua hingga tambang emas Martabe di Batangtoru, Sumatera Utara, didominasi warga Australia. Karena kurangnya pendidikan dan keterampilan, pada umumnya tenaga lokal berupa sopir dan petugas satpam.

PLN belum mampu memanfaatkan tenaga air dan panas bumi untuk pembangkit tenaga listrik. Biaya investasi pembangkit listrik seperti itu memang mahal, tapi biaya operasinya sangat rendah. Itu sebabnya, perusahaan raksasa Jepang mau membangun tenaga listrik dengan memanfaatkan Air Terjun Sigura-gura di Sungai Asahan untuk melebur biji bauksit yang diimpornya, terutama dari Amerika Latin dan Australia.

Hasil olahan pabrik itu terutama diekspor ke pasar dunia. Proyek yang persis sama dengan Inalum ada di Brasil yang memanfaatkan tenaga listrik dari Air Terjun Itaipu. Selama 30 tahun usia PT Inalum, PLN tak mampu memasang generator listrik yang berdampingan dengan milik PT Inalum untuk memanfaatkan kapasitas air terjun yang masih ada. Untuk mengelola PT Inalum, diperlukan ahli teknik prima, manajer yang baik, ataupun ahli perdagangan kelas dunia yang tahu perdagangan internasional bijih bauksit dan hasil olahannya. Ini yang kita tak punya!

Tidak semua hasil tambang sama dengan bauksit yang lokasi penambangannya berjauhan dengan pabrik pengolahannya dan juga berjauhan dengan tempat pemasarannya atau pemanfaatannya. Tempat yang berjauhan itu memerlukan biaya transportasi mahal. Ada beberapa jenis hasil tambang yang lebih ekonomis diolah di dekat tempat penambangannya dan ada pula yang lebih murah jika diproses di daerah pemasarannya. Dengan menggunakan listrik tenaga air yang murah di berbagai pelosok negerinya, China telah mampu membangun beberapa pabrik peleburan hasil tambang, antara lain untuk mengolah biji tembaga dari Indonesia.

Dari segi ini, UU dan Permen Minerba di atas akan melawan hukum ekonomi yang telah menentukan lokasi industri pengolahan dan pemrosesan bijih pertambangan dunia yang sudah ada dan memaksanya pindah ke Indonesia. Apa kuasa kita sehingga dapat memaksakan relokasi seperti itu?

Karena tak ada program pemerintah yang jelas, juga tak ada keterkaitan ke depan atau ke belakang industri tambang dan perkebunan di Indonesia. Perkebunan sawit (termasuk PTP) tetap mengekspor minyak sawit mentah ke Malaysia untuk diolah lebih lanjut untuk memperoleh nilai tambah lebih tinggi. Indonesia merupakan pasar permen cokelat buatan Malaysia yang bahan mentahnya berasal dari Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera.

Singapura memiliki refinery yang mengolah minyak mentah Indonesia dan mengekspor minyak olahan kembali ke Indonesia. Sembawang, BUMN negara itu, merupakan pemasok rigs minyak bumi laut dalam mulai dari Norwegia dekat Kutub Utara hingga Brasil dekat Kutub Selatan. Sama dengan pada era Ibnu Sutowo di masa lalu, Pertamina sekarang ini lebih tertarik membangun real estate berupa gedung 100 tingkat dan bukan refinery ataupun proyek yang berkaitan dengan migas.

Anwar Nasution, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003979282
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger