Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 10 Januari 2014

Berhenti Melayani Panglima (Siti maimunah)

ASOSIASI Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo) menolak pelarangan ekspor mineral mentah (Kompas, 28/12/13). Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono menanggapi dengan berencana melonggarkan aturan tersebut.  Tindakan ini mengulang cerita lama satu dekade lalu saat pebisnis pertambangan berhasil mendikte Indonesia membuka hampir 1 juta hektar hutan lindungnya menjadi kawasan tambang.
Menjelang Pemilu 2004, pebisnis tambang berhasil membuat  DPR di Senayan mengamandemen pasal  Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang melarang pertambangan terbuka di hutan lindung. Akibatnya, hampir 1 juta hutan lindung  bisa dialihfungsikan menjadi kawasan tambang dengan harga sewa lebih murah daripada sepotong pisang goreng, yakni hanya Rp 300 per meter persegi.

Arah pembangunan
Sektor pertambangan bagaikan panglima yang mendikte arah pembangunan. Jika sektor keruk ini masuk ke sebuah wilayah, fungsi lain hanya mendapat sisanya. Di kawasan-kawasan kaya bahan tambang dan migas, rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang semestinya menjadi panduan pembangunan sebuah kawasan, tak berlaku bagi para pebisnis tambang.

Tengok saja, misalnya, Jawa Timur. Menurut Yuliani (2008), sekitar 40 persen wilayah Jawa Timur dikuasai oleh 32 blok migas, separuhnya di wilayah Sidoarjo. Padahal, Sidoarjo adalah kawasan padat huni dan masuk dalam kelompok kota metropolitan. Celakanya, peruntukan industri migas justru tak diatur dalam RTRW. Akibatnya, saat  delapan tahun lalu Lapindo Brantas lalai memasang  casing bor, terjadi luberan lumpur panas yang merendam 12 desa dan menggusur puluhan ribu orang. Negaralah yang pontang-panting merogoh anggarannya mengurus para korban semburan lumpur Lapindo.

Pun di Samarinda, konsesi tambang batubara menguasai  hampir dua pertiga luasan ibukota Kalimantan Timur.  Akibatnya, luas ruang terbuka hijau yang tersisa tak sampai 1 persen dan lebih dari 150 lubang tambang belum direklamasi. Banjir di perkotaan juga makin menggila. Dulunya hanya setahun, atau lima tahun sekali terjadi banjir besar. Kini, sepanjang periode 2007-2009 telah terjadi sebanyak 126 kali banjir.

Situasi Samarinda membahayakan warga, bahkan membuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kota tekor. Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari pertambangan batubara lebih rendah dibandingkan dengan biaya penanggulangan banjir akibat pengerukan batubara.  Pada periode 2006-2010, rata-rata penerimaan dana bagi hasil (DBH) pertambangan umum Samarinda Rp 22,3 miliar per tahun. Sementara biaya penanggulangan banjir pada periode 2008-2010, mencapai  Rp 107,9 miliar dan meningkat hingga Rp 602 miliar tiga tahun berikutnya.

Tak termasuk biaya rehabilitasi  akibat kerusakan jalan umum  karena transportasi batubara, juga biaya yang ditanggung warga sekitar tambang saat lahan pertanian, hutan, dan sumber-sumber air dihantam banjir pada musim hujan dan krisis air saat kemarau sejak tambang masuk desa mereka.

Sang panglima
Model pengurusan pertambangan yang  "keruk cepat jual murah" sejak Orde Baru terbukti mempercepat  eksploitasi bahan tambang dan merusak ruang hidup warga. Alih-alih menyejahterakan, senyatanya negara yang menyubsidi pebisnis tambang.

Orde Reformasi juga tak membawa angin perubahan lebih baik. Sistem pemerintahan yang korup menjadi muara para  politikus dan pebisnis berkuasa di pemerintahan dan gedung wakil rakyat. Di tangan mereka, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba)  dan Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup hanyalah pasal-pasal karet, yang bebas tafsir dan diterapkan untuk memperluas
politik penjarahan kekayaan alam.

Tak heran jika lima tahun sejak UU Minerba berlaku, pengurusan sektor hulu makin amburadul. Luasan dan tumpang tindih izin tambang makin tak terkontrol. Hingga tahun  2011, sedikitnya 8.000 izin dikeluarkan  pemerintah dan 75 persennya tumpang tindih. Menurut Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), pada tahun 2013 izin yang dikeluarkan lebih dari 11.000 izin. Anehnya dalam empat tahun terakhir, sektor yang diagung-agungkan akan membawa kesejahteraan ini rata- rata kontribusi angka PDB-nya hanya 11,30 persen, lebih kecil dibandingkan dengan sektor berkelanjutan yang penyerapan tenaga kerjanya juga lebih besar, seperti pertanian, peternakan, kehutanan, perikanan yang mencapai 14,85 persen.

Kini pemerintah mendorong pembukaan pabrik peleburan (smelter) di sektor hilir. Master Plan Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia  (MP3EI) menyebutkan akan membangun lebih dari 150 smelter di seluruh Indonesia. Tak terbayang krisis ekologi  dan sosial yang bakal terjadi di tengah pengurusan sektor hulu yang amburadul.

Larangan ekspor bahan mentah bisa memicu praktik penyelundupan, seperti yang terjadi pada timah Bangka Belitung dan perdagangan merkuri.  Belum lagi  dampak berupa  9.500 ton limbah ponsel (cellphone)  per tahun yang dihasilkan Indonesia sejak menjadi pengguna ponsel urutan kelima dunia.  Senyatanya, dari hulu hingga hilir pengelolaan bahan tambang, Indonesia tak beranjak dari pelayan negara-negara industri, penyedia bahan mentah, dan pasar raksasa.

Memperdebatkan di mana bahan tambang digali, diolah, dan dikemas menjadi barang-barang tidak lagi relevan, sebab pemilik modal dan pasar yang menentukan harganya. Hasil  pertemuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di Bali, Desember 2013, memberikan pesan yang jelas, di tengah rezim perdagangan global kini, semua itu bisa diatur dengan sistem kuota dan tarif  yang kemudian dilabel make in the world.  Jangan biarkan kepentingan pebisnis tambang terus-menerus mendikte keputusan bangsa ini memilih ekonominya lebih berkelanjutan dan berdaulat. Strategi Indonesia untuk segera lepas dari ketergantungan ekonomi ekstraksi bahan tambang yang mestinya segera dirumuskan. Jika tidak, sejatinya pebisnis  tambanglah panglima di negeri ini.

Siti Maimunah, Badan Pengurus Jatam

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004019367
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger