Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 08 Januari 2014

Ongkos Perbenturan (R William Liddle)

MENGAMATI  keguncangan politik yang sedang melanda Mesir dan Thailand, saya teringat kepada keberhasilan demokrasi di Indonesia. Semenjak 1999, pemilihan DPR dan DPRD diadakan tiga kali dan pemilihan langsung presiden dua kali tanpa gangguan serius, baik dari masyarakat maupun dari pemerintah.
Pada waktu yang sama, ratusan gubernur, wali kota, dan bupati terpilih dan terganti, sebagian besar secara teratur dan damai.

Kenapa Indonesia berhasil mendirikan negara demokratis yang stabil, sementara Mesir dan Thailand belum bisa? Jawabannya tentu rumit, tetapi satu hal mencolok. Dalam dua kasus yang gagal itu, ada perbenturan sengit di antara kelompok-kelompok masyarakat yang tak terpecahkan melalui lembaga demokrasi.  

Di Mesir, kaum islamis, terutama yang bergerak di bawah bendera Ikhwanul Muslimin, bertabrakan dengan kelompok Islam moderat, Kristen, dan sekuler yang tak kalah kuat. Di Thailand, kelas menengah dan atas, khususnya di kota Bangkok, bertarung dengan mayoritas kaum petani dan wong cilik yang tersebar di daerah pedesaan.

Mungkin yang paling menentukan, semua kelompok yang beradu di dua negeri itu meyakini bahwa kepentingan serta nilai pokok mereka terancam punah oleh lawan politik mereka.  Tak sulit diduga, mereka rela menggunakan segala cara, termasuk angkat senjata, untuk mempertahankan hak mereka.

Persisnya: kaum Islam moderat, Kristen, dan sekuler di Mesir takut bahwa mereka akan diperas sebagai warga negara kelas dua di negara yang dikuasai islamis.  Sementara itu, kelompok kelas menengah dan atas di Bangkok percaya bahwa kedudukan historis mereka selaku kelas penguasa telah diambil alih untuk selamanya oleh Thaksin Shinawatra, musuh bebuyutan mereka. 

Thaksin, pebisnis besar dan politisi, berhasil memikat hati sejumlah besar rakyat kecil di pedesaan melalui kebijakan populisnya, termasuk pelayanan kesehatan universal dan pengentasan rakyat dari kemiskinan.

Tak luput dari perbenturan
Sejarah Indonesia juga tidak luput dari perbenturan agama dan kelas. Pada tahun 1950-an, tatkala demokrasi baru mulai dipraktikkan, perjuangan politik berdasarkan keyakinan agama dan kesadaran kelas termasuk sumber konflik yang memprihatinkan.  Namun, menjelang Pemilu 2014, dua hal itu sama sekali tidak merupakan ancaman hakiki kepada kelestarian demokrasi.  Kenapa?

Pada hemat saya, alasan pokoknya ditemukan pada pilihan-pilihan yang diambil sejumlah pemain politik sebelum masa Reformasi. Tentang kasus agama, pemain utamanya adalah Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, dan Soeharto.  Perihal kasus kelas, pemain utamanya adalah Soeharto dan Widjojo Nitisastro.

Sumbangan utama Nurcholish Madjid adalah seruannya, "Islam yes, partai Islam no", pada awal Orde Baru, yang meyakinkan jutaan orang, terutama orang kota muda dan terdidik, bahwa politik Islam tidak identik dengan politik syariah.  Sebagai pemimpin Nahdlatul Ulama, Abdurrahman Wahid memberi muatan baru kepada tradisi NU yang memanfaatkan budaya lokal demi pencapaian tujuan agamanya.  Muatan baru itu: penerimaan negara kebangsaan dan demokrasi selaku lembaga yang sesuai dengan aspirasi umat Islam.

Sumbangan Soeharto tidak kalah penting. Pertama, dia menciptakan konteks otoriter tempat Nurcholish dan Abdurrahman terpaksa bermain.  Kedua, kebijakan pendidikan pemerintahannya membuka kesempatan bagi jutaan anak santri memperoleh pendidikan modern dan pekerjaan layak. Ketiga, dia merangkul kaum modernis Islam perkotaan, yang berarti bahwa hampir semua kelompok agama menjadi bagian dari elite politik pada akhir masa kuasanya.

Beban para demokrat
Tentang kelas, kita belum bisa memastikan siapa yang bertanggung jawab atas pembunuhan para jenderal pada 1 Oktober 1965, apakah para pemimpin Partai Komunis Indonesia atau pemain lain. Namun, langkah lanjutnya jelas diambil oleh Mayor Jenderal Soeharto, yang menumpas PKI dan mengakhiri politik kelas yang telah bertumbuh sejak masa Pergerakan.  Bersama Widjojo Nitisastro dan anggota Mafia Berkeley lainnya, Soeharto lalu menciptakan serangkaian kebijakan ekonomi yang memakmurkan sebagian besar dari masyarakat Indonesia.

Akhirulkata, saya tak mengaku bahwa para presiden setelah Soeharto tak ikut mengukuhkan demokrasi yang mereka dirikan pada 1999. Atau, bahwa semua perilaku Soeharto berdampak positif. Hal-hal itu perlu dibicarakan dalam artikel lain.  Klaim saya lebih sederhana: dalam beberapa hal, beban para demokrat masa kini diperingan pilihan yang diambil para pendahulu mereka, termasuk Soeharto.

 R William Liddle, Profesor Emeritus Ilmu Politik, Ohio State University, AS

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003978099
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger