Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 18 Januari 2014

Refleksi 40 Tahun Malari (Asvi Warman Adam)

PERISTIWA 15 Januari 1974, yang lebih dikenal sebagai peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari), merupakan tonggak sejarah yang penting pada pemerintahan Orde Baru. Di sisi lain juga merupakan momentum perubahan signifikan politik luar negeri Jepang terhadap Indonesia.
Pada saat itu  tercatat sedikitnya 11 orang meninggal, 300 luka-luka, dan 775 orang ditahan. Sebanyak 807 mobil dan 187 sepeda motor dibakar, 144 bangunan rusak, serta 160 kilogram emas hilang dari sejumlah toko perhiasan. Namun, yang menarik adalah perbedaan persepsi dan kebijakan kedua negara dalam menyikapi kerusuhan besar itu.

 Kerusuhan tersebut terjadi saat Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka sedang berkunjung ke Jakarta (14-17 Januari 1974). Mahasiswa merencanakan menyambut kedatangan Tanaka dengan cara berdemonstrasi di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Karena dijaga ketat, rombongan mahasiswa tidak berhasil menerobos masuk pangkalan udara.

Tanggal 17 Januari 1974, pukul 08.00, PM Jepang itu berangkat dari Istana tidak dengan mobil, tetapi diantar Presiden Soeharto dengan helikopter dari Bina Graha ke pangkalan udara. Hal tersebut memperlihatkan suasana ibu kota Jakarta masih mencekam.

Peristiwa Malari dapat dilihat dari berbagai perspektif. Ada yang memandangnya sebagai demonstrasi mahasiswa menentang modal asing, terutama Jepang. Beberapa pengamat melihat peristiwa itu sebagai ketidaksenangan kaum intelektual terhadap para asisten pribadi (aspri) Presiden Soeharto (Ali Moertopo, Soedjono Humardani, dan lain-lain) yang memiliki kekuasaan teramat besar.  Ada juga analisis tentang friksi elite militer, khususnya rivalitas Jenderal Soemitro-Ali Moertopo.

Seusai terjadi demonstrasi yang disertai kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan, Jakarta berasap. Setelah Malari, Soeharto memberhentikan Soemitro sebagai Pangkopkamtib, langsung mengambil alih jabatan itu. Aspri Presiden dibubarkan. Kepala Bakin Soetopo Juwono "didubeskan", digantikan Yoga Sugama.

Bagi Soeharto, kerusuhan 15 Januari 1974 mencoreng "kening"-nya karena peristiwa itu terjadi di depan hidung tamu negara. Malu yang tak tertahankan menyebabkan ia untuk selanjutnya amat waspada terhadap semua orang/golongan serta menerapkan sanksi tak berampun terhadap pihak yang bisa mengusik pemerintah. Selanjutnya, ia amat selektif memilih pembantu dekatnya, antara lain dengan kriteria "pernah jadi ajudan Presiden".

Segala upaya dijalankan untuk mempertahankan dan mengawetkan kekuasaan, baik secara fisik maupun secara mental. Dari sudut ini, peristiwa 15 Januari 1974 dapat disebut sebagai salah satu tonggak sejarah kekerasan Orde Baru. Sejak itu represi dijalankan secara lebih sistematis.

Perspektif Jepang
Prof Aiko Kurasawa, yang melakukan penelitian terhadap arsip dan koran Jepang serta wawancara di kedua negara, menyampaikan kepada saya bahwa pemerintahnya sebetulnya sudah melakukan antisipasi terjadinya demonstrasi anti-Jepang. Namun, mereka tak membayangkan intensitasnya begitu dahsyat.

Analisis Pemerintah Jepang, insiden itu merupakan kritik terhadap gaya dan sikap orang Jepang di Indonesia yang arogan. Mereka kurang mendalami budaya dan agama di Indonesia serta perasaan masyarakat setempat. Jadi, Kementerian Luar Negeri Jepang segera melakukan program pertukaran budaya.

Japan Foundation yang didirikan tahun 1974 oleh Kementerian Luar Negeri Jepang memberi perhatian yang lebih besar terhadap negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Dunia bisnis Jepang terguncang. Pendirian Toyota Foundation merupakan dampak langsung Malari. Sebelumnya, di Jepang belum ada lembaga semacam itu yang dibiayai perusahaan swasta. Toyota mengeluarkan dana cukup besar untuk mempromosikan studi negara-negara Asia Tenggara serta menerjemahkan sastra negara-negara tersebut.

Menurut Aiko Kurasawa, sejak akhir 1960-an kebanyakan perusahaan Jepang masuk Indonesia tanpa pengetahuan tentang negara ini. Saat itu studi Asia Tenggara sama sekali belum berkembang di Jepang pasca-Perang Dunia II. Para pakar yang sebelumnya mendukung pendudukan militer Jepang merasa trauma dan menghindari kajian wilayah ini. Baru setelah Malari, berkembang studi kawasan Asia Tenggara di Jepang. Pemerintah Jepang menganggap penting studi Indonesia agar kalangan swastanya mendapat pengetahuan cukup sebelum berbisnis di sini.

Masih menurut Aiko, Malari mempunyai dampak besar terhadap  perubahan sikap pemerintah dan masyarakat Jepang terhadap Indonesia. Orang Jepang di Indonesia yang sebelumnya agak sombong mulai lebih santun dan hati-hati.

Dari perspektif kedua negara terlihat perbedaan cara menyikapi kerusuhan tersebut. Jenderal  Soeharto lebih menekankan perubahan kebijakan dalam rangka mengamankan kedudukannya sebagai presiden: tidak boleh lagi ada bawahan yang punya peluang menggerogoti, apalagi mengambil alih kekuasaan. Tidak ada perubahan kebijakan mendasar dalam penanaman modal asing atau perancangan pembuatan mobil nasional saat itu, misalnya.

Jepang lebih cekatan mengubah politik luar negerinya terhadap Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Pertukaran budaya digalakkan. Studi Indonesia yang terabaikan pasca-Perang Dunia II mulai berkembang setelah Malari. Kalangan usaha Jepang sebelum berbisnis di sini harus memiliki pengetahuan yang cukup tentang Indonesia.

Asvi Warman Adam, Sejarawan LIPI

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004157125
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger