Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 25 Januari 2014

TAJUK RENCANA Mahkamah Final dan Mengikat (Kompas)

ITULAH frasa kunci yang melekat pada Mahkamah Konstitusi. Setiap putusan yang diucapkan hakim konstitusi harus diterima. Final dan mengikat!

Hanya MK-lah lembaga negara yang memiliki keistimewaan itu. Putusan presiden pun bisa dibatalkan pengadilan, tetapi putusan MK tidak bisa. Situasi demikian mengasumsikan hakim MK adalah negarawan sejati yang memahami konstitusi dan mensyaratkan hakim yang betul-betul terbebas dari kepentingan politik.

Putusan MK yang dibacakan 23 Januari 2014 memang mengakhiri ketidakpastian pelaksanaan pemilu legislatif, 9 April 2014. MK menyatakan pemilu bertahap yang menjadi semacam konvensi kenegaraan adalah tidak konstitusional. Namun, dengan mempertimbangkan potensi kekacauan dalam pelaksanaan Pemilu 2014, MK memutuskan pemilu serentak baru diberlakukan pada Pemilu 2019.

Putusan MK itu mengundang beragam pendapat. Meski kritik tak mengubah putusan, MK perlu menjawab rasa ingin tahu publik mengapa uji materi UU Pemilu Presiden yang diputuskan pada 26 Maret 2013 itu baru dibacakan pada 23 Januari 2014. Uji materi UU No 42/2008 itu telah diputuskan Mahfud MD, Achmad Sodiki (sekarang pensiun), Akil Mochtar (sekarang ditangkap KPK), Hamdan Zoelva (sekarang Ketua MK), Muhammad Alim, Ahmad Fadlil, Maria Farida Indrati, Harjono, dan Anwar Usman. Jika putusan MK itu dibacakan pada 26 Maret 2013 boleh jadi pemilu serentak bisa dilaksanakan pada Pemilu 2014.

Hakim Maria Farida mengambil posisi berbeda (dissenting opinion). Maria konsisten pada putusan MK tahun 2008 saat Partai Bulan Bintang yang diwakili Hamdan Zoelva mengajukan uji materi Pasal 3 UU Pemilu Presiden. Pada putusan uji materi 12 Februari 2009, MK memutuskan, "Pasal 3 Ayat 5 dan Pasal 9 UU No 42/2008 tidak bertentangan dengan UUD 1945." Hakim Maria punya argumen soal itu.

Konstitusionalitas Pasal 3 Ayat 5 UU Pemilu Presiden memang telah diputuskan secara berbeda oleh MK. Pada 2008, MK mengatakan, pasal itu tidak bertentangan dengan UUD 1945. Namun, pada 2014, MK memutuskan pasal itu bertentangan dengan UUD 1945. Kedua putusan itu sama-sama bersifat final dan mengikat! Situasi ini menimbulkan perdebatan apakah konstitusionalitas pasal ditentukan oleh waktu dan komposisi hakim.

Terlepas dari perdebatan ahli soal itu, putusan MK tahun 2014 harus diterima. Pemilu serentak diberlakukan pada 2019. Namun, MK juga harus mendefinisikan apakah sebuah pasal bisa beberapa kali diajukan uji materi ke MK dan karena itu putusan MK bisa berbeda bergantung pada komposisi hakim MK.

Terlepas dari perdebatan publik yang akan terjadi, desain pemilu serentak tahun 2019 akan menjadi pekerjaan rumah DPR dan pemerintahan baru untuk menyusunnya dengan merujuk pada teks konstitusi. Kini saatnya elite politik dan masyarakat berkonsentrasi menuju pemilu 9 April 2014 serta ikut mengawasinya.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004358909
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger