Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 17 Januari 2014

TAJUK RENCANA Solidaritas Tanpa Pamrih (Kompas)

BERUNTUN  dan bertubi-tubi musibah banjir terjadi di sejumlah daerah, menyusul erupsi terus-menerus Gunung Sinabung di Sumatera Utara sejak 15 September 2013.
Termasuk Sinabung, banjir Jakarta pada awal pekan ini dan banjir bandang Manado pada Rabu (15/1) niscaya mengentakkan. Tidak hanya tempat tinggal hancur, fasilitas umum rusak, tetapi juga puluhan orang meninggal, kehilangan tempat tinggal, ribuan pengungsi baru, dan rasa tercekam berkepanjangan.

Musibah-musibah yang belakangan ini terjadi tidak sedrastis dan sefenomenal tsunami di Aceh ataupun gempa bumi plus letusan Gunung Merapi di DI Yogyakarta dan Jawa Tengah, beberapa tahun lalu. Namun, sejumlah musibah, apalagi yang menelan korban jiwa manusia berikut sarana kehidupan lainnya, merupakan tragedi kemanusiaan.

Musibah terjadi karena keteledoran dan keserakahan manusia, sebaliknya musibah merupakan otoritas alam. Sebagai manusia, kita tidak berdaya menghadapi otoritas alam, yang bisa kita lakukan semaksimal mungkin adalah mencegah dan menyikapinya secara arif.

Atas musibah-musibah itu, kurang layak kita menyebutnya hukuman Sang Pemilik Kehidupan. Konsep hukuman harus kita terapkan sebagai silih dalam konteks keteledoran dan keserakahan. Dari penggundulan hutan yang eksplosif, penyalahgunaan peruntukan lahan, hingga perilaku "jorok" membuang sampah sembarangan.

Mencegah tragedi kemanusiaan terjadi tidak dengan saling menyalahkan, tetapi dengan sikap dan tindak peduli. Peduli kepada korban musibah, peduli terhadap memperkecil sebab bencana terjadi.

Wilayah Indonesia ibarat dalam lingkaran cincin api dengan gunung-gunung api yang setiap saat meletus, dengan daratan yang siap bergesekan, harus kita sikapi secara cerdas. Konstruksi bangunan tahan gempa, tempat tinggal jauh dari potensi terkena dampak letusan langsung—sekadar dua contoh. Menyangkut potensi banjir karena penggundulan lahan, kita perlu saling mengingatkan perlunya konservasi dan daya dukung alam.

Tidak kalah penting kebersamaan sebelum kejadian, solidaritas sosial setelah kejadian. Tidak lagi mencegah atau preventif, tetapi menangani atau kuratif. Solidaritas macam ini sangat kita butuhkan sekarang. Diwujudkan tidak hanya dengan seruan, kunjungan apalagi terkesankan wisata banjir atau wisata gunung, tetapi turun ke lapangan, berbagi keuntungan dan kelebihan atau kekurangan, sekadar meringankan beban penderitaan.

Musibah Sinabung, banjir Jakarta, dan banjir bandang Manado mengentakkan naluri kemanusiaan kita. Di hari-hari inilah, pun dengan pamrih kampanye, bukankah partai-partai politik dan capres bisa mewujudkan solidaritas sosialnya? Walaupun seharusnya solidaritas sosial menyatu built in dengan eksistensi kita, jauh dari pamrih pencitraan.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004179616
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger