Namun, persiapan pemilu masih banyak menyisakan masalah, seperti daftar pemilih tetap (DPT) yang belum juga rampung dan pro-kontra terhadap pendanaan honor saksi dari APBN. Sementara itu, hampir tidak ada parpol yang bersih dari tindak pidana korupsi sehingga menjelang pemilu banyak elite parpol, bahkan pimpinan parpol, yang diincar Komisi Pemberantasan Korupsi. Perlu kita sadari dan waspadai bersama bahwa kondisi ini dapat memunculkan berbagai kerawanan yang berpotensi melahirkan keributan dengan kekerasan yang bisa berujung pada penundaan, bahkan kegagalan pemilu, sehingga menjadi alasan kuat penguasa untuk menetapkan "keadaan darurat".
Peta kerawanan
Setidaknya terdapat lima kerawanan yang patut diwaspadai. Pertama, ditinjau dari teknis penyelenggaraan pemilu, Bawaslu menyebut empat kerawanan yang bisa menimbulkan keributan, yaitu pada tahap pendaftaran dan pemutakhiran daftar pemilih, kampanye, distribusi logistik, serta pemungutan dan penghitungan suara (Kompas, 27/1).
Kedua, kerawanan yang ditimbulkan oleh kasus hukum yang sedang diproses oleh KPK dan terkait dengan pemerintah yang sedang berkuasa, terutama kasus Bank Century dan Hambalang.
Apabila proses ini terus bergulir sebelum pelaksanaan pemilu dan KPK memperoleh cukup bukti, niscaya akan terjadi kerawanan politik yang cukup serius. Sebaliknya, apabila KPK menundanya sampai selesai pemilu, kemungkinan besar akan menimbulkan reaksi dan gejolak politik yang tidak kecil pula karena dianggap telah melabrak rasa keadilan.
Ketiga, kerawanan akibat uji materi terhadap beberapa UU, terutama UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Uji materi ini lebih diwarnai kepentingan politik golongan ketimbang kepentingan konstitusional. Maka, keputusan MK mengabulkan dengan catatan diimplementasikan pada 2019 menjadi kontroversial yang tampaknya akan berkepanjangan dan rawan terhadap legitimasi Pemilu 2014 nantinya.
Keempat, kerawanan akibat gejolak ekonomi, terutama yang diakibatkan nilai tukar rupiah. Apabila nilai tukar menembus Rp 15.000 per dollar AS, dapat dipastikan akan timbul gejolak ekonomi dan menembus ranah politik yang akan mengganggu proses pemilu. Memang kecil kemungkinannya, tetapi menihilkan masalah ini adalah sebuah kesalahan karena pengalaman membuktikan bahwa geliat ekonomi global sering kali tidak bisa diprediksi dengan tepat.
Kelima, kerawanan yang ditimbulkan oleh berbagai kepentingan global, terutama dari negara-negara yang memiliki kepentingan besar di Indonesia,
dan kelompok-kelompok radikal transnasional (baik berlatar belakang agama maupun ideologi) sehingga Pemilu 2014 rawan intervensi mereka.
Ada beberapa penyebab atau sumber kerawanan tersebut. Pertama, sistem demokrasi liberal yang berbasis paham individual dengan bercirikan: kompetisi bebas, langsung, one man one vote. Sistem ini jelas tidak cocok dengan akar budaya bangsa Indonesia yang bersifat kolektif ataupun dengan tingkat kedewasaan elite politik. Akibatnya, kerap menimbulkan kegaduhan dan konflik politik yang diwarnai kekerasan sehingga mengancam keutuhan bangsa.
Kedua, tingkat kedewasaan/sportivitas para elite politik yang masih memprihatinkan, khususnya mereka yang akan ikut bertarung di arena Pemilu 2014, termasuk yang akan lengser keprabon. Pada sisi lain, tingkat kesadaran nasional mereka pun rata-rata jauh dari cukup, buktinya sering kali kepentingan nasional dikalahkan kepentingan pribadi atau kelompok.
Ketiga, sikap perburuan kekuasaan yang melanda banyak lapisan elite masyarakat dilatari libido kekuasaan yang tinggi tak terkendali. Hal ini tidak hanya melanda para politisi, tetapi juga para pengusaha, artis, cendekiawan, bahkan agamawan. Semuanya mengangkat alasan demi kepentingan rakyat dan kepentingan nasional sebagai bungkus ambisi politiknya.
Keempat, budaya korupsi yang melanda bangsa kita dalam semua lapisan masyarakat, terutama para pemegang kekuasaan, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Kelima, UUD 1945 hasil amandemen dan sejumlah UU turunannya yang liberalistik ternyata melahirkan kebebasan nyaris tanpa batas. Akhirnya banyak menimbulkan masalah yang secara politik melahirkan konflik dan secara ekonomi sangat merugikan bangsa.
Tindakan solutif
Dalam jangka panjang, harus dilakukan kaji ulang terhadap UUD 1945 hasil amandemen. Dalam waktu singkat, mendesak bagi KPU/KPUD untuk menginisiasi adanya kesepakatan nasional yang melibatkan mereka yang akan ikut bertarung dalam pemilu legislatif ataupun presiden, semua institusi yang terkait dengan penyelenggaraan pemilu di pusat dan daerah.
Menyatakan tekad untuk mengutamakan kepentingan nasional daripada kepentingan pribadi/kelompok; membangun sportivitas; bertanggung jawab terhadap proses pemilu yang jujur dan adil, akan menerima apa pun hasilnya; dan—mungkin ini yang paling berat—bersikap konsisten apabila ternyata ada kader parpolnya atau bahkan dirinya sendiri terlibat kasus hukum, khususnya korupsi, serta mampu menghadapinya dengan jiwa kesatria. KPK dan MK pun harus bersih dari pragmatisme, konsisten dengan penegakan hukum dan penyempurnaan konstitusi, tidak terjebak dalam arus kepentingan politik golongan.
Pada sisi lain, para pemilih, terutama dari kalangan bawah, harus dicerahkan agar melek politik. Harus tahu elite politik mana yang tidak Pancasilais, tidak mengabdi pada kepentingan nasional, lebih mementingkan diri sendiri dan keluarga, serta elite yang tidak bersih hukum sehingga mereka tidak salah pilih.
KIKI SYAHNAKRI, Ketua Badan Pengkajian Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD)
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004747467
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar