Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 19 Februari 2014

Mencermati UU Perindustrian (Udi H Pungut)

Kebijakan perdagangan bebas dan otonomi daerah sering kali menghambat implementasi kebijakan industri. UU Perindustrian yang baru mencerminkan keinginan menjadikan industri sebagai arus utama kebijakan pemerintah.

UU Perindustrian yang disetujui DPR pada 19 Desember 2013 (Kompas, 20/12/2013) terdiri atas 123 pasal dan dibagi ke dalam 17 bab. Ada lima aspek penting yang diatur UU ini: perencanaan pembangunan; sumber daya, sarana, dan prasarana; pemberdayaan; pengamanan dan penyelamatan; serta perizinan, investasi, dan fasilitas. Pada kelima aspek tersebut semangat memfasilitasi lebih terasa daripada keinginan untuk mengatur.

Sumber daya dan infrastruktur
Meningkatkan mutu sumber daya manusia (SDM), menyediakan infrastruktur, dan mendorong kemajuan teknologi adalah tugas utama pemerintah dalam memajukan sektor industri. Pada ketiga area itu, intervensi pemerintah diperlukan karena mekanisme pasar tidak berfungsi optimal. Menurut UU Perindustrian yang baru, peran pemerintah tidak sekadar menjalankan tiga "tugas pokok" tersebut.

Soal pembiayaan, pemerintah ditugasi memfasilitasi tersedianya skema pembiayaan yang kompetitif bagi industri. Tidak jelas apa yang dimaksud "skema pembiayaan yang kompetitif" itu. Yang pasti, pemerintah dapat memberi pinjaman, subsidi bunga, hibah, dan penyertaan modal kepada usaha industri. Untuk menyelamatkan industri dari ancaman kerugian akibat pengaruh konjungtur ekonomi global, pemerintah dapat memberi stimulus fiskal dan kredit program.

Fasilitas pembiayaan tampaknya bukan hanya untuk mengimbangi informasi asimetris di pasar kredit dan keterbatasan kolateral pada kelompok usaha industri tertentu. Intervensi di sektor pembiayaan untuk meningkatkan daya saing terbukti kontra produktif bagi peningkatan produktivitas industri jangka panjang. Kebijakan itu hanya layak diterapkan pada skala terbatas, pada industri kecil dan menengah (IKM), misalnya.

Industri tentu penting bagi perekonomian, tetapi tidak perlu dimanjakan dengan kredit program dan fasilitas keuangan dari pemerintah. Pembentukan lembaga keuangan khusus bagi industri boleh jadi diperlukan, seperti disarankan oleh UU Perindustrian. Tetapi, "tingkat bunga yang kompetitif" pada akhirnya hanya akan terbentuk pada sistem keuangan yang efisien.

UU Perindustrian yang baru juga mengatur masalah pasokan bahan baku sumber daya alam (SDA). Untuk menjamin pasokan bagi industri nasional, ekspor barang tambang dan hasil hutan dikendalikan dan hanya dimungkinkan apabila kebutuhan dalam negeri tercukupi. Seperti UU Mineral dan Batubara (Minerba), UU Perindustrian bermaksud meningkatkan kegiatan pengolahan melalui pembatasan ekspor bahan mentah. Tujuan mulia itu hanya akan berdampak buruk bagi sektor hulu, pertambangan, dan perkebunan jika "tugas pokok" pemerintah dalam mendorong kemajuan industri tidak dilaksanakan maksimal.

Perumus UU tampaknya menyadari pentingnya peran pemerintah di bidang SDM, infrastruktur, dan teknologi. Sayangnya, aturan mengenai SDM lebih banyak menyangkut standar kualitas dan pengadaannya. Perlu diciptakan skema insentif untuk meningkatkan peran pelaku industri dalam pembangunan mutu SDM. Aturan mengenai hal itu perlu dirumuskan dalam aturan pelaksanaan UU Perindustrian.

Soal infrastruktur, pemerintah pusat dan daerah ditugasi menjamin pengadaan lahan, energi, sarana transportasi dan komunikasi, dan lain-lain. Perbedaan kebijakan pusat dan daerah seharusnya tidak lagi menghambat pembangunan infrastruktur industri. Hambatan lain adalah keterbatasan anggaran pemerintah. Insentif bagi pembangunan infrastruktur oleh swasta perlu diatur lebih lanjut.

Agar efektif, pembangunan infrastruktur perlu diarahkan pada sasaran prioritas: industri atau wilayah tertentu. Penentuan prioritas tentunya harus bebas dari vested interest yang merugikan kepentingan publik. Dan, tentu akan baik bagi industri jika pembangunan infrastruktur industri mendapat prioritas tinggi dalam alokasi anggaran pemerintah.

Di bidang teknologi, UU mengamanatkan pemberian fasilitas bagi inovasi, pengembangan, dan alih teknologi oleh swasta. Tugas itu harus dilihat sebagai dorongan bagi peningkatan peran sektor publik sebagai pelaku dan penyedia dana inovasi. Negara maju melakukan peran itu dengan anggaran besar dan strategi terencana. Dana yang kita punya sangat terbatas dan akan lebih bermanfaat jika ada strategi yang tepat.

Keberpihakan dan perlindungan
Pembangunan industri tentu tidak boleh melupakan soal keadilan. Karena itu, UU industri yang baru juga mengatur soal keberpihakan, khususnya terhadap industri kecil dan menengah. Selain mempunyai hak seperti usaha industri pada umumnya, IKM berhak mendapat fasilitas khusus, misalnya bantuan pemasaran, modal, mesin, dan peralatan.

Perlakuan khusus terhadap IKM bukan berarti menjadikannya terus-menerus tergantung pada bantuan pemerintah. Hal ini juga berlaku bagi penerapan hambatan tarif dan nontarif terhadap barang impor untuk melindungi industri dalam negeri. Untuk melindungi industri dalam negeri dari ancaman dan kerugian akibat persaingan global, penerapan hambatan impor dimungkinkan oleh UU. Pemerintah tentu tidak akan menerapkan kebijakan ini secara sembrono tanpa mengkaji dampaknya terhadap industri dan perekonomian secara keseluruhan.

UU Perindustrian menyediakan semua bahan untuk membuat suatu kebijakan industri yang efektif dalam bentuk formula kebijakan yang berdampak optimal bagi industri dan perekonomian umumnya. Untuk itu, sebagaimana diamanatkan UU, pemerintah perlu menyusun rencana induk dan kebijakan industri jangka menengah. Berdasarkan pengalaman di banyak negara, keberhasilan kebijakan industri ditentukan oleh adanya struktur insentif yang tepat dan koordinasi antarlembaga pengambil keputusan.

(Udi H Pungut, Peneliti pada Indonesia Research and Strategic Analysis)

Sumber: Kompas Edisi cetak 19 Februari 2014 
Powered by Telkomsel BlackBerry®












Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger