Iklan politik yang marak belakangan ini, khususnya yang tampil di layar kaca, menimbulkan kegaduhan di masyarakat.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai lembaga representasi masyarakat sekaligus regulator di bidang penyiaran sudah menggunakan hampir semua kewenangan yang dimiliki untuk mengendalikan iklan politik tersebut. Upaya yang terakhir dilakukan KPI adalah mengirimkan surat edaran berisi permintaan kepada semua lembaga penyiaran untuk tak menyiarkan iklan politik dan/atau pemilihan umum (baik iklan calon presiden dan wakil presiden maupun peserta pemilu) di luar jadwal kampanye yang telah ditetapkan.
Namun, teguran dan surat edaran itu seakan tidak bertaji. Berita politik dan iklan bernuansa kampanye masih tetap gencar berseliweran. Bahkan, jika sebelumnya iklan bernuansa kampanye lebih banyak didominasi partai yang petingginya adalah pemilik stasiun televisi, kini partai lain yang tak memiliki stasiun televisi pun ikut gencar beriklan. Padahal, kampanye melalui media elektronik (radio dan televisi) baru bisa dilakukan pada masa kampanye yang dimulai 16 Maret sampai 5 April 2014.
Kesemrawutan soal penayangan iklan politik ini sebenarnya dipicu tidak adanya ketentuan yang mengatur iklan politik (khususnya di lembaga penyiaran) di luar masa kampanye. Peraturan KPU Nomor 1 Tahun 2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah hanya menyebutkan kampanye melalui iklan di media massa cetak dan media massa elektronik dilaksanakan selama 21 hari masa kampanye.
Di luar masa kampanye, pemasangan iklan politik di lembaga penyiaran tidak diatur dengan tegas dan detail. Karena itu, masing-masing pihak menafsirkan sendiri ketentuan tersebut. Partai politik menafsirkan bahwa iklan partai politik melalui televisi di luar masa kampanye dibolehkan asal tidak mengandung unsur kampanye. Sementara definisi tentang kampanye itu sendiri juga multitafsir, sesuai kepentingan masing-masing.
Televisi jadi kebutuhan
Kesempatan parpol yang lolos sebagai peserta pemilu untuk berkampanye sesungguhnya sudah dibolehkan, bahkan sejak tiga hari setelah parpol dan perseorangan calon anggota DPD ditetapkan sebagai peserta pemilu. Namun, kampanye yang diperkenankan hanya dalam bentuk pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, penyebaran bahan kampanye kepada umum, dan pemasangan alat peraga di tempat umum. Itu pun diatur dengan berbagai syarat dan ketentuan yang cukup ketat.
Sarana memperkenalkan partai dan visi, misi, serta program yang akan mereka tawarkan melalui media elektronik—khususnya televisi, yang diyakini sebagai medium paling tepat untuk membangun awareness secara cepat dan efisien—justru tak diperkenankan. Bahkan, jika dilakukan, partai bersangkutan dianggap telah melanggar ketentuan kampanye di luar jadwal dengan sejumlah sanksi sesuai aturan perundang-undangan.
Di lain pihak, partai yang lolos pemilu, terlebih partai baru (berdiri), sangat memerlukan media yang memiliki karakteristik unik seperti televisi, yakni jangkauan luas, pesan dapat disampaikan secara serentak, high interest (atraktif), berdampak kuat, dan paling banyak dikonsumsi masyarakat. Maka, televisi jadi media utama parpol untuk membangun awareness dan pada gilirannya memenangi suara pemilih. Tentu saja, itu sangat tidak memadai jika disampaikan hanya selama 21 hari masa kampanye.
Maka, yang terjadi adalah partai berusaha mencari segala cara agar dapat masuk ke televisi. Bagi partai yang petingginya memiliki stasiun televisi tentu persoalan menjadi mudah. Mereka bisa masuk ke berbagai program, mulai dari pemberitaan, kuis, dan melalui iklan yang ditayangkan secara masif yang akhirnya memunculkan kegaduhan itu.
Untuk mencegah kegaduhan ini terulang, seyogianya dibuat ketentuan yang lebih tegas tentang iklan partai di luar masa kampanye, khususnya melalui media televisi.
Karena itu, harus dibuat aturan main bagaimana iklan partai pada masa sebelum kampanye, masa kampanye, dan bahkan masa sesudah pencoblosan. Langkah paling realistis, partai politik diperkenankan saja beriklan, kecuali pada masa tenang yang memang dilarang. Ketentuannya saja yang dibedakan antara beriklan sebelum masa kampanye dan selama masa kampanye.
Misalnya, dalam Peraturan KPU No 1/2013 Pasal 42 (1) diatur mengenai batas maksimum pemasangan iklan kampanye melalui televisi untuk setiap peserta pemilu secara kumulatif sebanyak 10 spot berdurasi 30 detik per stasiun televisi per hari selama masa kampanye. Maka, batasan ini dikurangi, misalnya maksimum 5 spot berdurasi 30 detik per stasiun televisi per hari per peserta pemilu pada masa sebelum kampanye.
Soal materi iklan juga perlu dibedakan antara iklan partai pada masa kampanye dan sebelum masa kampanye. Iklan partai sebelum masa kampanye, misalnya, tidak boleh menampilkan atribut partai dan tidak boleh ada frasa "ajakan memilih". Iklan partai politik sebelum masa kampanye juga bisa diisi pesan-pesan yang memberikan pendidikan politik untuk masyarakat.
Dengan pengaturan seperti itu, kita berharap tidak akan ada lagi kegaduhan menyangkut iklan partai politik seperti yang terjadi sekarang ini. Pengawasan yang dilakukan oleh KPI dan Bawaslu juga akan menjadi lebih mudah dan jelas. Aturan main ini seyogianya sudah bisa diwujudkan paling lambat pada Pemilu 2019.
(Hamdani Masil, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah DKI Jakarta)
Sumber: Kompas edisi 19 Februari 2014
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar