Foto utama halaman depan harian ini seolah-olah meledek. Meledek terhadap gencarnya publikasi, lewat media televisi, media cetak, radio, maupun media sosial. Meledek, setengah mencibir dengan musibah atau bencana dampak letusan Gunung Kelud. Akan tetapi, lewat papan tersandar di sebuah pohon dengan latar belakang jalan penuh abu di Desa Puncu, Kecamatan Puncu, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, itu ingin disampaikan pesan: "berilah yang kami butuhkan, jangan jadikan penderitaan kami sebagai bahan publikasi". Kasarnya: jangan menari di atas bangkai orang!
Benarkah sedemikian sarkastis pesan yang disampaikan? Barangkali demikian, sebab setelah beberapa hari Kelud meletus, bantuan yang mereka butuhkan, khususnya makanan, sangat minim. Bentuk tanggap darurat dengan langkah-langkah terencana kembali kedodoran di lapangan. Bantuan terlambat datang, khususnya untuk kebutuhan keadaan darurat, menjadi amat berarti ketika sampai di tangan dan di waktu yang tepat, serta mencukupi.
Ajakan agamis "mari berbagi" memperoleh momentum dalam situasi semacam ini. Penghayatan tidak selesai dengan pengetahuan, tetapi tindakan riil, sehingga bobot kedalaman dan makna keberagamaan teruji seberapa jauh kita memberikan apa yang mendesak dibutuhkan. Lebih berbobot ketika bantuan diberikan dari kekurangan dan bukan dari kelebihan.
Pesan sarat makna di papan tulis itu pun tidak langsung mengkritik pragmatisme yang menekankan aspek kegunaan atau pamrih. Kampanye parpol dan kadernya dibungkus dengan topeng pencitraan ibarat "tukang jual obat". Anekdot itu nyaris jadi sinisme ketika diterapkan pada gencarnya publikasi peristiwa bencana dan bencana alam belakangan ini, seperti Sinabung, banjir, dan meletusnya Kelud.
"Sing dibutuhke bantuane, dudu fotone, rek", menyampaikan pesan "pahami kebutuhan kami, bukan kebutuhan kamu". Pesan itu bermakna, semangat kepedulian sosial yang konon menjadi modal sosial budaya bangsa Indonesia jangan sampai runtuh ketika bencana dan musibah dijadikan "arena jualan obat".
Memublikasikan penderitaan, termasuk penderitaan korban letusan Kelud, bagi media jauh dari maksud memperdagangkan penderitaan. Jauh dari sikap tukang jualan obat. Berkat publikasi yang masif, berkat kemajuan teknologi modern termasuk media sosial, penderitaan sesama dikenal luas. Maksudnya menyampaikan duka lewat mengetuk hati banyak orang.
Pesan papan di Desa Puncu itu meneriakkan kurang tergeraknya empati, bukan kemarahan, sindiran, atau umpatan. Yang disampaikan jeritan harapan penanganan bantuan lebih baik, lebih cepat, dan jauh dari pamrih tukang jualan obat.
Sumber: Kompas cetak edisi 19 Februari 2014)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar