Oleh Agust Riewanto Dosen Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta
BELAKANGAN ini DPR dan pemerin tah tengah melaku kan upaya revisi terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Namun, sejumlah pengamat h u k u m , a k a d e m i s i , p ra k tisi, dan pegiat antikorupsi menolak revisi terhadap kedua kitab ini. Penolakan itu bisa dimaklumi karena draf rancangan undang-undang (RUU) ini menyimpang dari semangat pemberantasan korupsi di Indonesia.
Sesungguhnya urgensi revisi terhadap KUHP sudah sangat lama dinantikan publik karena kedua kitab ini telah usang dan tak lagi mampu menampung kebutuhan penegakan hukum di Indonesia yang kian kompleks problemnya.
Jadi, dibutuhkan perangkat KUHP yang kian visioner yang dapat memecahkan aneka problem penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana yang efektif dan efisien, juga mampu menyeimbangkan perhatian antara hak asasi korban kejahatan dan pelaku kejahatan. Lebih dari itu, revisi KUHP ini diperlukan untuk mendesain materi hukum pidana yang lebih bercita rasa Indonesia, bukan cita rasa kolonial. Sebab KUHP merupakan produk hukum warisan kolonial yang di negaranya saja telah lama ditinggalkan karena tak lagi sesuai dengan perubahan peradaban Belanda. Sebaliknya KUHP di Indonesia menjadi kitab `sakral' yang masih berlaku hingga hari ini.
Begitu pula KUHAP, kendati merupakan produk hukum asli Indonesia, karena sudah berusia senja yakni dibuat pada 1981, perlu direvisi untuk menyesuaikan dengan KUHP. Tidak mungkin merevisi KUHP tanpa merevisi KUHAP karena kedua kitab ini merupakan dua sisi mata uang, yang masing-masing saling menopang sebagai kesatuan sistem. KUHP merupakan hukum materiil dan KUHAP meruapakan hukum formil dalam sistem peradilan pidana.
Kodifikasi dan unifikasi Kebijakan produk legislasi di Indonesia baik dalam hukum pidana, perdata, maupun tata negara menempatkan kodifikasi dan unifikasi sebagai asas dalam merancang materi hukumnya. Karena itu, para perancang RUU KUHP dan RUU KUHAP diharapkan mampu mengodifikasikan dan mengunifikasikan kemajemukan materi hukum pidana yang berkembang dalam hukum pidana adat lokal di Indonesia, baik yang bersumber dari tradisi asli Indonesia maupun hukum Barat dan hukum Islam. Dengan demikian, revisi KUHP ini dapat menjadi sarana integrasi hukum-hukum yang berkembang di Indonesia (living law), dan mampu menjawab kebutuhan akan aneka kekosongan materi dalam penegakan hukum pidana yang kian kompleks seiring perkembangan tekonologi informasi dan ekonomi global.
Selain itu, revisi KUHP dan KUHAP ini diharapkan mampu menjembati asas penegakan hukum Indonesia yang berideologi prismatik, yakni mengambil nilai-nilai positif dari dua sistem hukum; Civil Law (Eropa Kontinental) dan Anglo Saxon (Amerika Serikat). Pada model Civil Law berideologi rechststaat, kepastian hukum menjadi sendi utamanya sehingga dalam penegakan hukum aparat hukum lebih mengutamakan pada aspek hukum tertulis (UU). Sistem ini mengajarkan pada pentingnya berpikir positivistik dan legalistik.
Adapun pada model Anglo Saxon berideologi rule of law, keadilan lebih diutamakan dalam penegakan hukum. Karena itu, aparat hukum dalam penegakan hukum dapat mengabaikan hukum tertulis (UU), aparat hukum harus dapat menggali keadilan berdasarkan pada keyakinannya, tanpa memperhatikan hukum tertulis (UU). Sistem ini mengajarkan pada pentingnya berpikir sosiologis yurisprudensi.
Menurut Roscoe Pound (1957) dalam The Development of Constitutional Guarantees of Li berty, kedua sistem ini hingga kini mendominasi khazanah ideologi penegakan hukum di dunia.
Revisi KUHP dan KUHAP tidak mengambil dua blok ideologi penegakan hukum ini, tetapi mengambil sisi kepastian hukum dari model Civil Law, tetapi juga memperhatikan aspek keadil an d a r i m o del Anglo Saxon. Karena itu, melalui revisi KUHP dan KUHAP ini diharapkan aparat hukum di Indonesia di samping berpikir legalistik, juga harus berpikir sosiologis.
Lemahkan pemberantasan korupsi Revisi KUHP dan KUHAP ini diharapkan juga mampu menjadi hukum materiil dan formil dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Karena itu, kedua kitab ini seharusnya mampu mengodifikasikan aneka problem kekosongan hukum dalam pemberantasan korupsi. Bah kan ha rus mem perkuat dan bu kan me lemahkan pemberan tasan korupsi di Indonesia.
Faktanya, sejumlah materinya justru melemahkan upaya pemberantasan korupsi.
Pertama, di dalam RUU ini tidak lagi ada pasal yang mengatur tentang pembuktian terbalik. Padahal mustahil memberantas korupsi dan pencucian uang tanpa ada upaya pembuktian terbalik dari tersangka. Jamak diketahui proses pembuktian biasa dalam kasus-kasus korupsi sangatlah sulit, kecuali tangkap tangan. Pembuktian terbalik sesungguhya menjadi roh dalam pembongkaran kejahatan korupsi yang sistemik, masif, dan terstruktur.
Kedua, RUU ini juga hanya menyebutkan institusi umum dalam penegakan hukum pidana, yakni kejaksaan, kepolisian, dan hakim, tidak menyebutkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai institusi hukum. Tentu itu sangat membahayakan dalam upaya pemberantasan korupsi karena kitab ini tidak mengakui eksistensi lembaga penting ini. Siapa pun tahu bahwa KPK adalah institusi yang bersifat ad hoc (auxilary state agen cies). Namun, meng ingat begitu kuat nya budaya korupsi di Indonesia, jika hanya menggunakan institusi kepolisian dan kejaksaan dalam pember antasan korupsi, jelas tidak akan memadai. Bukan saja karena institusi tersebut tidak bisa dibilang ber sih, melainkan juga telah kehilangan kepercayaan publik. Adalah wajib RUU ini untuk meletak kan KPK sebagai institusi hukum dalam penegakan hukum pidana korupsi di Indonesia. Sebagai cermin dari sensitivitas perancang RUU ini akan perlunya model pemberantasan korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa. Jika RUU ini dapat mengakomodasi eksistensi KPK, sesungguhya tak diperlukan lagi UU organik yang mengatur KPK. Dengan begitu, RUU KUHP ini akan menjadi kitab kodifikasi seluruh model dan kelembagaan antikorupsi.
Ketiga, RUU ini mengatur putusan Mahkamah Agung (MA) tidak boleh lebih tinggi dari putusan pengadilan tinggi (PT). Ini materiil yang janggal karena pembatasan putusan hakim merupakan pengaturan yang tidak semestinya diatur dalam RUU ini.
Sebab hakim adalah profesi independen yang dapat membuat kreasi hukum berdasarkan keyakinan dan fakta-fakta hukum di persidangan. Ketika putusan hakim dibatasi dalam KUHP, sama maknanya mengebiri dan mengerdilkan fungsi hakim dalam menemukan hukum dan keadilan. Ini sangat membahayakan model penegakan hukum tindak pidana korupsi sebab selama ini putusan hakim MA pasti lebih tinggi dari putusan hakim PT.
Seperti tecermin dalam kasus korupsi Hambalang dengan terdakwa Angelina Sondakh dan korupsi di Korlantas Polri dengan tersangka Djoko Susilo. Karena itu, motif jahat dari perancang RUU ini mencantumkan pembatasan putusan hakim MA ini untuk memagari agar hal serupa tak terulang kembali. Karena itu, pembatasan putusan hakim ini adalah materi RUU ini yang prokorupsi bukan antikorupsi.
Keempat, materi RUU ini bahkan lebih tragis lagi dalam memandang arti korupsi yang kian bias sebab tidak mengualifikasikan suap (gratifikasi) kepada pegawai negeri sipil sebagai korupsi, tetapi hanyalah tindak pidana jabatan. Begitu pula RUU ini tak membuat definisi dan operasional yang jelas akan arti penyuap aktif dan penyuap pasif sebagai tindak pidana korupsi yang perlu diganjar hukuman yang sama beratnya.
Pendeknya, upaya revisi terhadap KUHP dan KUHAP sepatutnya didukung sepanjang dimaksudkan untuk pembaruan guna mengisi kekosongan materi penegakan hukum terutama pemberantasan korupsi. Akan tetapi, bila revisi KUHP dan KUHAP ini justru menyimpan agenda untuk melemahkan pemberantasan korupsi, revisi ini patut ditolak. Publik menginginkan revisi KUHP dan KUHAP yang antikorupsi.
Sumber: Media Indonesia 25 Februari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar