Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 21 Februari 2014

Negara Hukum Tanpa KPK

Oleh Bambang Satriya,  Guru besar Stiekma dan UIN Malang 

BAGAIMANA seandai nya Indonesia yang beridentitas sebagai negara hukum ini tanpa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)? Atau, apakah KPK masih diperlukan bagi keberlanjutan konstruksi Indonesia sebagai negara hukum?
KPK sejatinya merupakan salah satu karakter Indonesia sebagai negara hukum. Pasalnya, apa yang diperankan KPK telah membuat wajah Indonesia lebih mengilat. Indonesia yang semula dikenal sebagai rimba basahnya para koruptor lambat laun bergeser menjadi jagat menakutkan seiring dengan peran KPK yang gigih menggelar peperangan.

Kinerja KPK telah mendapatkan apresiasi publik luar biasa, khususnya dalam pengungkapan sejumlah kasus korupsi. Yakni, sejumlah penangkapan terhadap kalangan elite yang diduga terlibat penyalahgunaan uang negara. Sekarang, KPK terancam digembosi seiring dengan gencarnya upaya pemerintah membarui KUHP-KUHAP. Dalam kandungan kedua produk itu, dinilai ada substansi yang bermaksud memarginalisasikan dan mendegradasi peran strategis KPK. Begitu seriusnya ancaman terhadap peran KPK sampai Ketua KPK Abraham Samad mengirimkan surat kepada Presiden, yang berisi permohonan penundaan revisi KUHP-KUHAP.

Keberanian pihak-pihak tertentu dalam proyek eksperimentasi politik pembaruan hukum yang bersentuhan dengan peran KPK, idealnya, disadari secara cerdas oleh KPK sendiri bahwa sepanjang KPK terus menggeliat memasuki lorong-lorong koruptor, ujian terhadap dirinya tidak akan pernah berhenti.

Selain itu, KPK perlu mencerdaskan diri bahwa masih ada prinsip konstitusionalisme yang selama ini digunakan sebagai tema oleh publik bahwa dirinya belum benar-benar menjadi nyawa kinerjanya. Sebagai contoh, meskipun secara yuridis tidak ada larangan memeriksa seseorang pejabat tinggi di kantor wapres, apa yang dilakukan KPK tetaplah sebagai bentuk pelangg a ra n terhadap spirit konstitusi, yang sejatinya menganut prinsip equality before the law. Belum meyakinkan Itulah di antaranya yang membuat publik masih belum yakin atau meragukan kinerja KPK akan bisa benar-benar tuntas mendekonstruksi siapa saja yang terlibat Century gate sampai ke akar-akarnya.

Ada survei yang dilakukan Lembaga Kajian Antikorupsi (LKAK) tentang persepsi publik terhadap kinerja KPK dengan `korupsi gurita', di antaranya kasus Century yang menyebut sepanjang KPK tetap tidak bisa menghilangkan sikap ewuh pakewuh saat dihadapkan dengan perkara korupsi elitis, kinerja KPK belum layak ditempatkan sebagai kinerja bernyawakan konstitusi.

Persepsi publik itu mengindikasikan kumpulan orang penting yang bermasalah secara yuridis dalam kasus korupsi merupakan penyakit mendasar penyakit mend yang berpotensi menyulitkan kinerja KPK, termasuk dalam kasus Century. `Orang penting' dianggapnya merupakan kekuatan menakutkan yang bisa menghitamputihkan realitas dan objektivitas korupsi. Ketakutan itu seiring dengan kasus Bank Century yang diduga kuat melibatkan banyak orang penting di negeri ini. Dengan keterlibatan figur sentral tersebut, bukan tidak mungkin terjadi perang `penyulapan' kepentingan yang berujung saling memengaruhi, me naklukkan, atau mewujudkan dividen politik dan ekonomi.

Dalam ranah itulah bisa terjadi agregasi diri dan kelompok elitis mengadopsi serta memobilisasi gaya pesulap.
Kelompok itu merancang dan menggerakkan tangan-tangan pintar mereka untuk menciptakan `atmosfer' yang bisa terbaca oleh publik atau bahkan kelompok ahli sebagai `atmos fer' yang seolah-olah sebagai bagian dari `kegentingan yang memaksa'.

Untuk memahami kasus itu dan sepak terjang politisi yang diniscayakan diwarnai penyulap itu, rasanya kita perlu mengenal dan memahami sosok penyulap. Sebut saja David Copperfield. Dia bisa membuat penonton tersihir saat menyaksikan gerak cepatnya yang bisa menghasilkan perubahan-perubahan fantastiknya.
Padahal, esensinya hanyalah `menipu atau membohongi' mata penonton.

Di negeri ini, manusia-manusia sejenis Copperfield sangat lah ba nyak, bahkan nyaris muah ditemui di sejumlah in stansi, mulai lembaga tinggi negara hingga lembaga pa ling rendah sekalipun.
Pesulap-pesulap `produk' negeri ini mampu mencip takan iklim yang mengakibatkan orang lain bertekuk lutut, menjadi layaknya orang-orang kehilangan kecerdasan intelektual dan moralnya, yang tidak bisa memprotes dan bahkan ikut larut dalam buaiannya.
Dari institusi yang semula diharapkan masyarakat sebagai sandaran pencari keadilan, akhirnya terperosok sebagai institusi yang menghadirkan republic of horror (Sulistyono, 2012).

Jangankan mengkritik dan mengawasi gerak-gerik para pesulap itu, mempertanyakan kepiawaian aksinya saja komunitas penonton itu tidak berani.
Kalau mempertanyakan untuk meminta kejelasan secara transparan larinya dana Bank Century, bagaimana mungkin mereka bisa mengawasi secara cerdas realitas atraksi para pesulap itu? Mereka itu bisa melakukan mark-up, menggerogoti APBD dan APBN, menitipkan pos fiktif dalam RAPBD, meminta fee dalam setiap transaksi, menjarah dana reboisasi, menyalahalamatkan dana bencana alam, me nyalah alamatkan dana nasa bah, dan menyulap sumbersumber keuangan n e g a r a rakyat) atau kekayaan publik supaya bisa berpindah ke dalam kantong mereka sendiri atau kantong kekuatan poli tik tertentu..
Mereka itu seperti gurita yang terus menjalar, meraksasa, dan mengepakkan sayap-sayap untuk menyulap kekayaan negara menjadi kekayaan pribadi. Mereka menjadi kekuatan terorganisasi yang bergerak bebas seperti tanpa ada kekuatan lain yang mengontrol.

Dalam kasus itu, jika komunitas elitis yang posisinya sudah mengandung amanat mengontrol atau mengawasi kinerja lembaga-lembaga strategis negara atau melapisi pemerintahan supaya dijalankan secara benar, tetapi justru terjerumus dalam perbuatan bercorak memeriahkan atraksi sulap atas kekayaan negara, mustahil rakyat negeri ini menaruh kredibilitas utamanya kepada mereka. Mentalitas diam elemen yudisial, katakanlah unsur KPK, yang menjatuhkan opsi memihak elitis eksekutif atau siapa saja yang terlibat kasus Bank Century layak dikatakan kalah oleh kepiawaian Copperfield.
Lestarikan tradisi KPK yang mendapatkan kepercayaan menyelidiki, mengawasi, dan menindak juga tidak steril dari kemungkinan keterjeratan menjadi korban segmentasi praktik penyulapan yang menghegemoninya dari Copperfield. Bahkan pilarpilar KPK itu bisa saja dengan mudah dikondisikan menjadi `anak-anak didik' yang manis, yang patuh, terpesona, dan terbius sehingga mengikuti jejak pesulap.

Akhirnya, KPK ikut menambah deretan sebagai pesulappesulap gaya baru dan bukan sebagai pengawal dan pengimplementasi tegaknya hukum. KPK memang tetap bisa menunjukkan peran sebagai pemberantas koruptor, tetapi di sisi lain KPK juga diberi stigma oleh publik sebagai institusi yang beraninya pada koruptor kecil.

Kumpulan pesulap yang melahirkan `sistem' dan kultur berpenyakitan di negeri ini merupakan komunitas pesulap kenamaan dari lingkaran pejabat yang mentalitas korupsi mereka sudah memasuki ranah stadium kleptomania akut. Kumpulan pesulap itu bahkan terus-menerus mengalami regenerasi. Pasalnya, kekuatan strategis di atas mereka atau komunitas yang lebih tua justru menjadikannya sebagai `mesin kader' yang melestarikan tradisi dengan berbagai cara. Mereka bukan hanya sulit diperangi, apalagi ditaklukkan, melainkan juga berani terang-terangan mengajak perang kepada setiap segmen bangsa yang mencoba mengawasi, menyelidiki, dan menjaring diri mereka.

Pesulap kenamaan itu juga dimungkinkan terus menebar jala dan mendesain republic of horror kepada setiap gerakan taktis atau `jihad suci' penegakan hukum yang diimplementasikan KPK. Mereka juga coba menciptakan kondisi menakutkan supaya komunitas elite yang bermaksud bicara lantang bisa terperangkap dalam pepatah tong kosong nyaring bunyinya.

Sumber: Media Indonesia edisi 21 Februari 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger