Meski melihat pergerakan cepat dan kesan terburu-buru selama proses persidangan, saya sama sekali tak percaya Mahkamah Konstitusi akan membatalkan dan menyatakan UU Nomor 4 Tahun 2014 tak punya kekuatan mengikat.
Jika ada di antara materi permohonan yang dikabulkan, dalam batas penalaran yang wajar, tak mungkin semua substansinya dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 alias inkonstitusional. Dengan cara berpikir sederhana, hakim-hakim konstitusi pasti tak mau berjudi dengan segala penilaian miring yang muncul jika mengabulkan semua logika pemohon guna membatalkan UU No 4/2014. Sebagaimana dikutip Kompas (13/2), mengabulkan pemohon menjadi pertaruhan kredibilitas institusi MK. Apalagi sebagian pasal yang dipersoalkan pemohon berkaitan langsung dengan kepentingan hakim konstitusi. Nyatanya, bertolak belakang dengan keyakinan itu, Kamis (13/2), dengan suara bulat lewat Putusan No 1-2/PUU-XII/2014, delapan hakim konstitusi membatalkan keberlakuan UU No 4/2014 dan menyatakannya tak punya kekuatan hukum mengikat. Dengan putusan itu, semua gagasan besar demi perbaikan MK yang diusung UU No 4/2014 kandas di tangan hakim konstitusi.
Menolak sikap presiden
Dengan melacak persoalan dari awal, tak mungkin menghilangkan keterkaitan sikap hakim konstitusi via putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2014 dengan langkah-langkah yang dilakukan Presiden SBY setelah tertangkap tangannya Akil Mochtar (3/10/2013). Kejadian awal yang memicu "protes" di kalangan hakim konstitusi adalah ketika Presiden mengadakan pertemuan dengan semua ketua lembaga negara untuk membahas MK pasca-penangkapan Akil. Bisa jadi protes di kalangan hakim konstitusi karena mereka ditinggalkan dan tak diajak bicara untuk sesuatu yang berkaitan langsung dengan nasib MK. Padahal, di dalam pertemuan itu, Presiden didorong melakukan langkah darurat untuk menyelamatkan MK. Selain itu, dengan tak mengundang MK dalam "pertemuan darurat" tersebut, hakim konstitusi merasa tersudut di tengah turbulensi penangkapan Akil Mochtar.
Tindak lanjut langkah darurat yang disepakati dalam pertemuan para ketua lembaga negara, Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2013. Kegerahan hakim konstitusi kian memuncak dengan munculnya frasa "akibat adanya kemerosotan integritas dan kepribadian yang tercela dari hakim konstitusi" dalam konsiderans menimbang Perppu No 1/2013 versi pertama yang diedarkan ketika diumumkan di Yogyakarta.
Sekalipun versi pertama Perppu No 1/2013 menghilang dari peredaran dan frasa itu menghilang dari draf resmi versi pemerintah, hakim konstitusi tetap saja tak bisa menerima penilaian seperti itu. Bagi mereka, peristiwa yang menimpa Akil tak dapat dijadikan alasan mendegradasi delapan hakim yang lain dengan mengatakan bahwa telah terjadi kemerosotan integritas hakim konstitusi. Bahkan, melihat suasana di MK ketika itu, hampir saja dimulai perang terbuka antara hakim MK dan pemerintah. Beruntung MK masih memilih jalan teduh, keberatan mereka terhadap frasa konsiderans menimbang tersebut disampaikan langsung via telepon kepada Menko Polhukam Djoko Suyanto.
Merujuk penjelasan di atas, sulit dibantah rentetan peristiwa ini lebih dari cukup untuk membentuk sikap hakim konstitusi dalam menghadapi substansi Perppu No 1/2013. Paling tidak, secara implisit, sikap ini dapat dilacak dari beberapa nukilan Putusan No 1-2/PUU-XII/2014. Karena itu, boleh jadi hakim konstitusi termasuk yang berharap Perppu No 1/2013 tak dapat persetujuan DPR. Bagaimanapun dengan disetujui DPR, permohonan uji materi (judicial review) UU No 4/2014 tentang Penetapan Perppu No 1/2013 MK seperti menerima gelindingan bola panas dari DPR.
Sepanjang lebih dari sepuluh tahun kehadirannya, lembaga ini telah berulang kali menguji UU MK. Dalam hal ini, salah satu asas umum beracara yang selalu dihadapkan kepada MK, "seseorang tidak dapat menjadi hakim bagi dirinya sendiri (nemo judexidoneus in propria causa)". Secara sederhana, keinginan mempertahankan asas ini lebih pada kemungkinan mencegah tertumpangnya kepentingan individu hakim atas perkara yang diajukan kepadanya. Penerapan asas ini sama sekali tak berarti bahwa MK dilarang mengadili UU MK sendiri. Dalam hal ini, argumentasi MK dapat dipahami: jika MK dilarang menguji UU yang mengatur tentang MK, lembaga ini akan jadi sasaran empuk untuk dilumpuhkan melalui pembentukan UU demi kepentingan kekuasaan, terutama kepentingan politik pembentuk UU. Dengan argumentasi itu, mestinya hakim konstitusi mampu membedakan substansi UU yang berpotensi melumpuhkan kewenangan institusi dengan pengaturan terkait individu hakim.
Misalnya, jauh hari sebelumnya, Pasal 50 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK menyatakan bahwa UU yang dapat dimohonkan untuk diuji materi ke MK adalah yang diundangkan setelah perubahan UUD 1945. Sebagaimana diketahui, melalui Putusan Nomor 004/PUU-I/2003, MK mengesampingkan batasan waktu dalam Pasal 50 UU No 24/2003. Langkah mengesampingkan ini tak menjadi perdebatan utama karena Pasal 50 itu jelas tak sejalan dengan wewenang MK menguji UU sebagaimana termaktub dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945. Begitu pula Pasal 45A UU No 8/2011 tentang Perubahan Pertama UU No 24/2003 yang menyatakan bahwa putusan MK tak boleh memuat amar putusan yang tidak diminta oleh pemohon, atau melebihi permohonan pemohon, terkecuali terhadap hal tertentu yang terkait dengan pokok perkara.
Sebagaimana halnya Pasal 50, ketentuan Pasal 45A telah diuji dan dibatalkan dengan Putusan MK No 48/PUU-IX/2011. Selain bertentangan dengan semangat awal munculnya gagasan uji materi, larangan dalam Pasal 45A UU No 8/2011 berpotensi menggerus wewenang MK.
Dengan memaknai secara tepat maksud di balik pengabulan permohonan pengujian Pasal 50 dan Pasal 45A, pengujian atas UU MK jelas memiliki bingkai argumentasi logis. Sekalipun masih mungkin diperdebatkan, upaya hakim konstitusi menerobos asas nemo judexidoneus in propria causa adalah demi menyelamatkan terancamnya wewenang lembaga yang diberikan UUD 1945. Apabila diletakkan dalam konteks lebih luas, membatalkan bagian tertentu dari UU yang berpotensi merusak wewenang MK adalah bagian dari mempertahankan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Namun, upaya menerobos asas itu jadi kehilangan basis logika yang dapat dipertanggungjawabkan jika materi UU MK yang diuji terkait langsung dengan kepentingan individu hakim konstitusi. Misalnya, MK pernah pula menguji batas maksimum usia untuk jadi calon hakim konstitusi. Dalam hal ini, Pasal 15 UU No 8/2011 mengatur batas usia paling tinggi untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi adalah 65 tahun. Kemudian dengan menggunakan alasan batasan itu dinilai menghalangi hak seseorang yang telah duduk sebagai hakim konstitusi, ketentuan tersebut dibatalkan MK (Kompas, 15/02).
Menjaga MK
Secara terang-benderang, putusan ini jelas punya kepentingan langsung dengan salah seorang hakim konstitusi. Karena itu pilihan menerobos asas nemo judexidoneus in propria causa jadi kehilangan basis logika yang dapat diterima dalam batas penalaran yang wajar. Untungnya, dalam putusan batasan umur maksimal ini, masih ada dua hakim konstitusi (Harjono dan Maria Farida) yang memiliki sensitivitas dengan memilih pendapat berbeda (dissenting opinion).
Sebetulnya, apabila mau agak sedikit bertenang-tenang membaca Perppu No 1/2013 yang ditetapkan dengan UU No 4/2014, substansinya jelas bertujuan menjaga MK sebagai sebuah institusi. Upaya menjaga ini didesain begitu rupa: mulai dari pembenahan persyaratan menjadi hakim konstitusi, melakukan proses seleksi yang transparan dan akuntabel, sampai menjaga perilaku hakim konstitusi dengan membentuk Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) bersifat permanen.
Berkaitan syarat "tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu paling singkat tujuh tahun sebelum diajukan sebagai calon hakim konstitusi", tambahan ini seharusnya dibaca sebagai langkah strategis untuk mencegah dominasi aktivis parpol jadi hakim konstitusi. Dengan dibatalkannya syarat ini dalam waktu dekat, sangat mungkin mayoritas hakim konstitusi akan disesaki kalangan partai. Bahkan, suatu waktu nanti, jika ada sebuah partai menjadi kekuatan mayoritas (50 persen lebih) di DPR dan partai bersangkutan juga memegang posisi presiden, sangat mungkin enam hakim konstitusi akan berasal atau didukung dari partai sama. Bilamana itu benar-benar terjadi, sangat mungkin MK mengalami kelumpuhan. Karena itu, banyak kalangan sulit menerima ketika tak satu pun hakim konstitusi melakukan dissenting opinion dengan pembatalan syarat ini. Padahal, masih segar dalam ingatan ketika mayoritas hakim yang ada sekarang dengan suara bulat memutuskan jarak waktu lima tahun berhenti dari partai bagi calon anggota KPU dan anggota Bawaslu. Karena itu, membatalkan syarat tujuh tahun dengan menerobos asas nemo judexidoneus in propria causa tindakan kebablasan.
Begitu pula dengan perbaikan proses seleksi, dengan desain yang ditawarkan dalam UU No 4/2014, banyak kalangan percaya kita punya peluang menghadirkan hakim lebih kredibel. Dengan proses terbuka, selain memberi ruang bagi masyarakat berpartisipasi, peran panel ahli dapat jadi tahapan penting menilai kemampuan calon hakim konstitusi. Dalam hal ini, meski dipersyaratkan memiliki ijazah doktor, secara substansi belum tentu ijazah itu sekaligus mencerminkan kemampuan sesungguhnya. Apalagi, sudah jadi rahasia umum, banyak fasilitas untuk meraih doktor tanpa harus melalui proses yang berdarah-darah. Yang paling menyedihkan, upaya membentuk MKHK yang permanen juga kandas dalam
Putusan MK No 1-2/PUU-XII/2014. Padahal, MKHK amat diperlukan untuk menjaga integritas dan kepribadian yang tak tercela hakim konstitusi. Bagaimanapun, dengan luas wewenang yang dimiliki MK, lembaga penjaga kode etik menjadi kebutuhan yang mendesak. Jika tidak, pengalaman Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi dan Akil Mochtar sangat mungkin terulang kembali.
Kini, dengan pembatalan UU No 4/2014, upaya menjaga MK secara sistematis dari hulu sampai hilir sulit diwujudkan. Karena itu, ketika desain perbaikan tertolak palu hakim, kita tetap harus berpikir keras menjaga dan merawat MK sebagai institusi. Apabila harus memilih, penyelamatan MK jauh lebih lebih penting daripada penyelamatan hakim konstitusi. Apalagi, hari-hari ke depan kita harus sedikit menahan napas mengikuti proses persidangan Akil. Semoga keterangan Akil tak kian menggerus posisi MK.
Saldi Isra
Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direkur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas
Sumber: Kompas cetak edisi 21 Februari 2014
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar