Banyak ruang, banyak AC
Banyak uang, banyak ACC
Akibatnya rakyat kebanjiran air dan longsoran
Pejabat kebanjiran uang dan sogokan
Puisi Mbeling Remy Silado
Menyimak musibah banjir bandang yang menimpa kota-kota megapolitan seperti Jakarta, metropolitan seperti Semarang, kota besar seperti Manado, hingga kota sedang dan kecil di berbagai pelosok Nusantara, segenap pihak mesti mawas diri.
Tidak hanya para pejabatnya yang mesti merasa malu, tetapi juga para pengembang, wakil rakyat, ilmuwan dan peneliti dari kampus, serta para arsitek dan planolog yang berkontribusi dalam pembangunan wilayah dan kota yang tidak ramah lingkungan. Perencanaan kota selama ini cenderung mengabaikan daya dukung dan daya tampung lingkungan serta menafikan kajian jejak ekologis (ecological footprint).
Jakarta sebagai ibu kota negara kita merupakan contoh paling jelek. Dari sumber resmi kita memperoleh data ruang terbuka hijau (RTH) Jakarta saat ini tersisa 9,8 persen. Padahal, dalam UU Penataan Ruang Nomor 26 Tahun 2007 secara eksplisit sudah diamanatkan setiap kota harus menyisihkan 20 persen RTH publik dan 10 persen RTH privat. Total jenderal 30 persen. Jadi, kita bisa mengatakan bahwa Jakarta sudah melanggar UU.
Jabodetabekjur yang mandul
Predikat Jakarta sebagai kota seribu mal yang kapitalistik sungguh sangat memalukan dan memilukan mengingat masih banyak warga kotanya berada di bawah garis kemiskinan. Rakyat kecil pun lantas mengartikan RTH bukan ruang terbuka hijau, melainkan rumah, toko, dan hotel. Dalam kategori rumah itu termasuk apartemen mewah pencakar langit yang beberapa di antaranya nekat menggusur taman kota, bahkan kuburan. Padahal, kuburan termasuk salah satu jenis ruang terbuka hijau yang mestinya dilestarikan.
Perencanaan tata ruang subregional antardaerah yang dikenal dengan akronim Jabotabek (Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi), yang berkembang menjadi Jabodetabek (ditambah Depok) dan kemudian menjadi Jabodetabekjur (ditambah lagi Cianjur), sesungguhnya merupakan titik awal keterpaduan pembangunan yang baik. Namun, sebagaimana halnya dengan ideologi Pancasila, kelemahannya terletak pada implementasi atau pelaksanaannya.
Kawasan Puncak di Bogor, misalnya, jelas-jelas telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi, daerah resapan air, antara lain guna menahan air hujan supaya tak langsung menggelontor membanjiri Jakarta. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan perbukitan di Puncak "ditanami" vila, restoran, kafe, pertokoan, hotel, dan minimarket. Penjarahan RTH berlangsung tanpa kendali aparat pengawasan pembangunan (development control). Ada dugaan aparat justru ikut bermain seperti disiratkan secara menohok oleh Remy dalam puisi mbeling-nya.
Begitu 2013 dan 2014 berturut-turut terjadi musibah banjir bandang yang dahsyat di Ibu Kota barulah dengan tergopoh-gopoh para pejabat melakukan upaya pembongkaran vila-vila yang tak berizin di kawasan Puncak, Bogor. Ironisnya, yang membangun dan memiliki vila-vila ilegal itu orang-orang kaya dari Jakarta.
Untuk mengoreksi kesalahan yang sudah terjadi bertahun-tahun semacam itu, seyogianya lembaga kerja sama antardaerah seperti Jabodetabekjur, Gerbang Kertasusila (Gresik-Bangkalan-Kertosono-Surabaya-Sidoardjo-Lamongan), Kedungsepur (Kendal-Demak-Ungaran-Semarang-Purwodadi), dan Barlingmascakeb (Purbalingga, Banyumas, Cilacap, Kebumen) diberi posisi, kewenangan, dan otoritas yang cukup kuat untuk mengelola kawasan subregional masing-masing. Banjir bandang yang menimpa Ibu Kota kita tercinta akan kian dahsyat apabila pengelolaannya tetap seperti yang sudah-sudah (business as usual), sedangkan seharusnya berubah secara progresif, berani, dan inovatif (business unusual). Kerja sama antardaerah dengan kabupaten/kota seperti Bogor, Tangerang, Bekasi, dan dalam skala provinsi dengan Jawa Barat dan Banten, mesti digalakkan kembali dengan sistem amang-amang dan iming-iming atau stick and carrot.
Di Jakarta sendiri, untuk kawasan kota yang muka tanahnya berada di bawah permukaan laut, kenapa tak dirintis pembangunan permukiman terapung ataupun perumahan yang fleksibel bertumpu pada pilar-pilar. Sistem transportasinya juga tak sekadar mengandalkan transportasi darat, tetapi juga transportasi air. Kita bisa belajar dari kota yang berorientasi air seperti Venesia, Amsterdam, Paris, dan Brisbane. Di kawasan permukiman yang berada di atas dan bebas banjir, warganya diwajibkan membuat sumur resapan, wahana tadah hujan, dan biopori untuk menyimpan cadangan air.
Perlu dipikirkan pula moratorium pembangunan gedung komersial pencakar langit baru seperti mal, supermal, perkantoran, dan perhotelan. Gedung bertingkat tinggi hanya diperbolehkan untuk rumah susun sewa (rusunawa) dan rumah susun milik (rusunami) bagi masyarakat berpenghasilan rendah guna merealisasikan program Seribu Menara yang pernah digaungkan Jusuf Kalla. Hal ini tentu mesti dilengkapi sarana dan prasarana umum serta fasilitas sosial yang dibutuhkan warga kelas akar rumput. Rusunawa dan rusunami yang murah sekalipun harus nyaman huni (livable). Secara simultan juga perlu ditekankan pentingnya moratorium penyedotan air bawah tanah yang jelas-jelas mengakibatkan penurunan muka air tanah (land subsidence).
Gerakan Biru
Sebagai perencana kota, saya mesti mengaku dosa, selama ini orientasi pembangunan wilayah dan kota kita lebih berorientasi ke arah daratan. Istilah yang lazim dipakai land-use alias tata guna lahan. Pemandangan alam pun lazim disebut landscape. Dalam perencanaan wilayah dan kota jarang sekali kita dengar istilah water-use atau waterscape. Padahal, Nusantara ini kita sebut dengan Tanah Air, bukan Fatherland. Bahkan, isinya pun 70 persen air dan 30 persen daratan.
Beberapa waktu belakangan, santer terdengar Gerakan Hijau atau Green Movement, mulai dari green planet, green country, green city, green architecture, green interior, sampai green company, green bank. Dengan adanya musibah banjir-cum-rob di kota-kota pantai kita, kiranya sudah saatnya dikumandangkan Gerakan Biru dalam perencanaan wilayah dan kota. Jika dalam ketentuan rencana kota sesuai UU Penataan Ruang sudah diamanatkan 30 persen untuk RTH, semestinya ke depan ditetapkan pula agar untuk kota-kota yang memiliki sungai mesti menyisihkan area minimal 5 persen untuk ruang terbuka biru (RTB). Jakarta yang notabene memiliki 13 sungai, ternyata hanya memiliki RTB yang tak lebih dari 1,5 persen. Berarti ketentuan mengenai garis sempadan sungai yang kini banyak dilanggar mesti kembali ditegakkan. Tidak hanya di daerah hilir saja, tetapi juga sepanjang tepi sungai sampai ke hulunya sesuai kaidah yang kita kenal one river, one plan, one management.
Pemikiran progresif tentang pembangunan sabuk pantai di sepanjang pantai Jakarta juga layak dapat dukungan untuk dikaji dan dilaksanakan. Memang biayanya cukup mahal, tetapi jauh lebih murah dan rasional ketimbang pembangunan dam lepas pantai. Selain itu, lebih ramah lingkungan, tak merusak bibir pantai, tak mengganggu aktivitas pelabuhan dan kegiatan para nelayan, dan ikut menjaga keseimbangan fungsi ekologis. Keuntungan lain, sabuk pantai juga akan berfungsi jamak, antara lain untuk kegiatan pertambakan ikan, menambah jalur jalan, dan sarana rekreasi air.
Memang banyak yang dapat dan harus segera dilakukan, khususnya untuk mencegah banjir bandang yang lebih mengerikan di masa mendatang, terutama akibat perubahan iklim dan pemanasan global. Banjir yang dahsyat kali ini seyogianya dianggap pelajaran pahit kita bersama dan perlu diambil hikmahnya. Yang pertama kita harapkan dari pemerintah (pusat dan daerah) adalah kehendak politik yang kuat untuk sesegera mungkin melaksanakannya sesuai rencana. Konsep dan rencana tanpa tindakan sama saja dengan mimpi di siang bolong, sedangkan tindakan tanpa konsep dan rencana yang matang serupa saja dengan mimpi buruk.
Eko BudihardjoGuru Besar Arsitektur dan Perkotaan Universitas Diponegoro dan Universitas Trisakti; Ketua Komisi Budaya Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI)
Sumber: Kompas cetak edisi 20 Februari 2014
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar