Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 20 Februari 2014

Penunggang Gelap RUU KUHAP (Nurkholis Hidayat)

Menjinakkan KPK. Kira-kira begitulah kesimpulan sementara dan prasangka buruk saya melihat proses pembahasan RUU KUHAP di DPR.

Jauh sebelumnya kita mencatat bagaimana upaya memangkas dan mempereteli kewenangan Komisi Pemberantasan Ko-rupsi (KPK) dilakukan para politisi di DPR secara sistematis dalam pembahasan revisi UU Tipikor.

Kini tampaknya strategi beru bah. Mereka terlihat tetap membiarkan kewenangan KPK secara utuh, tetapi cara lebih halus dilakukan dengan sabotase secara legal atas nama due process of law. Untuk melakukan hal itu, RUU KUHAP tampaknya dipilih jadi alat yang tepat untuk ditunggangi.

Menyimpang

Pada mulanya tujuan dan motivasi awal RUU KUHAP untuk membangun proses penegakan hukum yang lebih akuntabel, transparan, dan melindungi hak asasi manusia. Hal ini seiring sejalan dengan diratifikasinya Konvensi Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Konvensi Internasional Menentang Praktik Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia (UNCAT).

Tim ahli pemerintah telah merumuskan draf cukup lama. Cukup alot untuk menyamakan persepsi di antara institusi penegak hukum dalam memandang pembaharuan KUHAP ini. Salah satu yang paling mengganjal saat itu adalah keengganan kepolisian atas kehadiran hakim komisaris atau hakim pemeriksaan pendahuluan yang dikhawatirkan menyulitkan tugas-tugas kepolisian.

Begitu juga dengan rumusan- rumusan dalam draf KUHAP sebenarnya mendekati ideal. Lepas dari segala kekurangannya, ada beberapa kemajuan signifikan dalam draf KUHAP baru. Tiga di antaranya sebagai berikut.

Pertama, terkait reformasi praktik penahanan. Draf KUHAP telah mengikis waktu penahanan jadi lebih singkat. Hal ini dilatarbelakangi praktik penahanan di Indonesia yang cenderung sewenang-wenang, jauh dari standar internasional. Bahkan, pelapor khusus PBB untuk Konvensi Anti Penyiksaan, Manfred Novak, menilai periode penahanan di Indonesia terlalu lama jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Dalam kunjungan ke Indonesia, 2007, ia merekomendasikan pengurangan masa penahanan di Indonesia.

Kedua, kehadiran hakim komisaris dan jaminan habeas corpus. RUU KUHAP memperkenalkan hakim komisaris untuk menggantikan lembaga praperadilan yang tak efektif mencegah penyalahgunaan upaya paksa, kasus salah tangkap, praktik rekayasa kasus, dan penyiksaan. Selain itu, hakim komisaris menjamin seseorang yang ditahan untuk segera dihadapkan ke depan hakim untuk diuji keabsahan penahanannya. Di dalam KUHAP lama, dalam proses penyidikan seseorang dapat ditahan selama 60 hari, tanpa melalui proses pengujian di pengadilan.

Ketiga, perluasan asas oportunitas. Untuk mengurangi perkara-perkara kecil (patty crime) dan mencegah kasus seperti dialami Nenek Minah yang mencuri tiga kakao dan kasus serupa, draf RUU KUHAP memperluas ruang lingkup asas oportunitas.

Keseluruhan konsep itu tentu selaras dengan tujuan awal pembaruan KUHAP. Di luar ketiga isu di atas, masih ada kemajuan lain yang tak cukup dimuat dalam tulisan ini. Hal-hal yang relatif baik inilah yang dulu membuat masyarakat sipil mendorong pemerintah dan DPR untuk segera membahas RUU KUHAP.

Namun, bagaimana bisa tujuan-tujuan baik itu menyimpang dan menjadi ancaman bagi proses penegakan hukum di sektor yang lain, khususnya dalam perang melawan korupsi? Tampaknya untuk memahami lebih jauh hal ini, kita harus menengok kembali seberapa bersih dan independen peradilan kita, seberapa akuntabel dan transparan kinerja aparat hukum kita.

Mari kita mulai dari tingkat kepercayaan publik. Saat ini berdasarkan survei Kompas 2013, tingkat kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum baik kepolisian, kejaksaan, maupun Mahkamah Agung tidak pernah melebihi 30 persen. Indeks negara hukum 2012 yang dikeluarkan ILR hanya mencapai poin 4.72 untuk independensi kekuasaan kehakiman. Survei-survei serupa dari lembaga lain menunjukkan angka yang tak jauh beda.

Dalam kondisi hukum yang abnormal, di mana kita belum cukup percaya pada independensi kekuasaan kehakiman itulah, kita tentu tidak bisa membayangkan konsep ideal untuk meminta izin terlebih dahulu kepada hakim untuk melakukan penyadapan, penyitaan, dan upaya paksa lain akan berjalan dengan baik. Alih-alih due process of law ditegakkan, yang terjadi adalah kongkalikong hakim yang tak jujur dengan para calon tersangka untuk menyabotase upaya penyidikan tindak pidana korupsi. Inilah celah norma hukum yang dimanfaatkan para penunggang gelap RUU KUHAP.

Dalam semua ketidaknormalan itu, pengecualian jelas dibutuhkan. Penegasan dan konsensus bersama bahwa UU Tipikor sebagai lex specialis dan kewenangan khusus KPK tidak akan dikurangi sedikit pun sangat dibutuhkan. Misalkan dalam hal penyadapan, izin dari hakim komisaris mungkin tidak diperlukan untuk KPK. Akan tetapi, bagaimana untuk memastikan penyadapan tidak disalahgunakan? Untuk menjawab hal tersebut, kita bisa merujuk pada salah satu putusan Mahkamah Konstitusi yang memandatkan perlunya UU khusus yang mengatur secara komprehensif mengenai penyadapan. Salah satu poin krusial adalah perlunya suatu mekanisme pengujian keabsahan untuk mencegah penyalahgunaan penyadapan tetap diperlukan.

Kita tidak bisa seterusnya bersandar pada hal yang bersifat kondisional. Kita juga tidak bisa menjamin dan memastikan KPK akan terus seindependen seperti saat ini. Dalam suatu rezim yang totaliter, sangat mungkin kewenangan ini disalahgunakan untuk kepentingan penguasa. Kita tentu menginginkan KPK yang tetap bergigi, tapi juga makin profesional dan akuntabel menjalankan tugas dan kewenangannya.

Pekerjaan rumah

Pembaruan KUHAP adalah agenda penting dan mutlak yang harus dilakukan untuk memperbaiki tatanan sistem peradilan pidana Indonesia. Namun, sebagai UU payung dan setidaknya pernah diakui sebagai salah satu karya agung bangsa ini, pembahasan revisi KUHAP sudah sepantasnya tidak asal dibahas, apalagi dengan tergesa-gesa dan miskin partisipasi publik.

Dalam masa sempit ini, peme-

rintahan saat ini dan DPR tampaknya juga telah kehilangan momentum untuk mengesahkan RUU KUHAP sebagai legacy. Tampaknya pemerintahan SBY dan anggota DPR saat ini harus legawa untuk menyerahkan tugas berat merevisi UU ini pada pemerintahan dan DPR mendatang.

(Nurkholis Hidayat, Advokat)

Sumber: Kompas Cetak Edisi 20 Februari 2014 

Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger