Penolakan DPR terhadap pencalonan hakim agung, beberapa waktu lalu, sangat memprihatinkan.
Memprihatinkan karena para hakim tinggi dari ketua pengadilan tinggi yang dicalonkan itu tentu sudah menempuh perjalanan dan jam terbang sebagai hakim lebih dari 25 tahun. Tugas penempatan pun di beberapa daerah yang kadang-kadang tempatnya tidak tertera dalam peta. Pelaksanaan tugas melalui putusan-putusan yang diambil (istilah mahkota menurut Bismar Siregar terhadap putusan yang dikeluarkan oleh seorang hakim) tentunya terkadang lengkap melalui fase-fase eksepsi, intervensi, dismissal proses, konvensi, rekonvensi, dan pemeriksaan persiapan. Semua itu belum tentu dapat dihasilkan oleh siapa pun dan lembaga mana pun yang melaksanakan uji kelayakan dan kepatutan calon hakim agung.
Selain itu, para calon hakim agung itu juga telah banyak mengalami kegalauan menghadapi kewajiban mempertimbangkan berat-ringannya hukuman, menolak atau mengabulkan gugatan-gugatan menghadapi godaan suap, dan sebagainya. Dan, sekali lagi, semua itu tentunya tidak pernah dialami oleh siapa pun dan dari lembaga mana pun yang melaksanakan uji kelayakan dan kepatutan terhadap para calon hakim agung tersebut.
Amat memprihatinkan lagi membaca dan mendengar penilaian para anggota DPR terhadap para calon hakim agung. Ada yang menyatakan para calon hakim agung tersebut tak bermutu, tak punya integritas, kualitas tidak memadai, di bawah standar, lemah dalam kemampuan berargumentasi, dan sebagainya.
Sudah kebablasan
Semua penilaian itu seolah menggambarkan kualitas para hakim Indonesia. Di sisi lain, kita pun dapat memberikan penilaian yang sama terkait dengan kualitas para sahabat kami itu (baca: para anggota DPR) meski banyak di antara mereka ada juga yang bagus dan prima.
Kami sangat menghargai bahwa dalam rangka uji kelayakan dan kepatutan para calon hakim agung tersebut diikutsertakan para ahli, guru besar, dan tokoh masyarakat. Namun, sayang, dalam rangka kegiatan tersebut para mantan hakim yang tergabung dalam organisasi PERPAHI, KKPHA (para hakim agung), dan KKMHTUN (para hakim tata usaha negara) tidak dilibatkan. Kami tentu banyak mengenal dan tahu kinerja, kualitas, dan integritas para calon hakim agung tersebut.
Kami mengetahui dan menguasai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan pencalonan seorang calon hakim agung. Kami juga berpendapat, pencalonan seorang hakim agung mutlak kewenangan Mahkamah Agung secara profesional seperti yang telah berjalan berpuluh-puluh tahun sejak republik ini berdiri. MA justru yang paling mengetahui kinerja dan kualitas para calon hakim agung melalui putusan-putusan dan integritasnya.
Kiranya lembaga-lembaga yang sekarang diberikan kewenangan untuk melaksanakan uji kelayakan dan kepatutan para calon hakim agung tersebut tujuannya memang bagus, tetapi dalam pelaksanaannya sudah kebablasan.
(Benjamin Mangkoedilaga, Mantan Hakim Agung)
Sumber: Kompas cetak edisi 20 Februari 2014
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar