DPR harus hati-hati mencari dua hakim konstitusi pengganti Akil Mochtar dan Harjono. Salah pilih akan menyulitkan MK bangkit dari keterpurukan.
Setelah dibatalkannya UU Nomor 4 Tahun 2014, seleksi hakim konstitusi diserahkan kepada Presiden, Mahkamah Agung, dan DPR. Karena Akil yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Harjono yang pensiun pada Maret 2014 adalah usulan DPR, DPR-lah yang berhak mengajukan dua calon hakim pengganti. Pengertian DPR mengajukan bukan berarti calon hakim konstitusi itu harus anggota DPR.
DPR perlu belajar dari mekanisme seleksi hakim konstitusi Patrialis Akbar oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang ternyata kemudian dibatalkan Pengadilan Tata Usaha Negara. Penunjukan Patrialis tak sesuai dengan prinsip akuntabilitas, transparansi, obyektif, dan partisipatif yang digariskan undang-undang. Itu dari sisi proses. Dari sisi hasil, DPR perlu belajar bagaimana Komisi III DPR mengusulkan koleganya di DPR, Akil Mochtar, menjadi hakim konstitusi, bahkan untuk periode kedua, yang ternyata bermasalah dari sisi integritas.
Persyaratan dalam UU Mahkamah Konstitusi bahwa hakim konstitusi adalah negarawan yang menguasai konstitusi harus menuntun DPR mencari hakim negarawan dan bukan hakim partisan. Prinsip akuntabilitas, transparansi, obyektif, dan partisipatif harus dipastikan berjalan sehingga menutup celah digugatnya kembali proses penunjukan hakim konstitusi.
Mencari seorang negarawan yang menguasai konstitusi dan punya integritas tak tercela bukanlah seperti membuka lowongan kerja. Perlu ada langkah proaktif dari DPR untuk mencari sosok negarawan yang menguasai konstitusi yang selama ini mungkin jarang muncul dalam panggung media, tetapi pendapat dan pandangannya menunjukkan kualitasnya sebagai negarawan. Pemahaman seseorang soal konstitusi harus dikaitkan dengan kecakapan akademis atau karya akademis, bukan sekadar karya tulis—untuk menunjukkan penguasaannya soal konstitusi dan tata negara. Rekam jejak harus dilihat lewat sepak terjang calon dari sekolah hingga lingkungan tempat calon tinggal.
Meski panel ahli telah dibatalkan MK karena dianggap tidak konstitusional, DPR bisa saja membentuk semacam tim pakar yang membantu DPR memilih calon hakim konstitusi. Tim itu akan menguji penguasaan konstitusional seorang calon, sementara DPR selama ini lebih mempertimbangkan unsur akseptabilitas politik. Pelibatan tim ahli dalam mekanisme seleksi calon hakim konstitusi DPR akan menambah bobot dan legitimasi hakim konstitusi DPR. Langkah ini juga sejalan dengan prinsip akuntabilitas, transparansi, obyektif, dan partisipatif.
Kita berharap dua hakim konstitusi yang diajukan DPR itu bisa segera terpilih untuk menggenapkan MK menjadi sembilan hakim konstitusi. Langkah cepat, tetapi cermat dari DPR itu dibutuhkan untuk menyiapkan MK menghadapi sengketa pemilu 9 April 2014.
Sumber: Kompas cetak edisi 21 Februari 2014
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar