Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 21 Februari 2014

TAJUK RENCANA Merindukan Thailand yang Damai (Kompas)

Aksi unjuk rasa di Thailand yang berlangsung sejak November tahun lalu tidak menunjukkan tanda-tanda akan selesai dalam waktu dekat.

Padahal, akibat aksi unjuk rasa yang berlangsung hampir empat bulan tersebut perekonomian di negara yang, antara lain, mengandalkan pemasukan dari pariwisata itu mulai terganggu. Upaya pemerintah untuk mengakhiri aksi unjuk rasa seperti menemui jalan buntu.

Para pengunjuk rasa masih menduduki tempat-tempat strategis di Bangkok. Kepolisian Thailand coba menguasai kembali tempat-tempat yang dijaga ketat oleh pengunjuk rasa, tetapi mereka mendapatkan perlawanan keras.

Kepolisian mengklaim mereka berhasil menguasai kembali satu dari lima tempat strategis yang diduduki pengunjuk rasa. Dalam pengambilalihan itu, sedikitnya empat orang terbunuh dan belasan orang menderita luka-luka. Kepolisian juga menahan 200 pengunjuk rasa.

Salah seorang dari 15.000 personel polisi yang diterjunkan untuk berjaga-jaga ikut tewas. Beberapa mengalami luka-luka akibat ledakan sebuah granat yang dilontarkan pengunjuk rasa. Polisi mengklaim mereka juga menjadi target penembak jitu.

Pemimpin unjuk rasa mengajukan tuntutan agar keadaan darurat yang diberlakukan Perdana Menteri Yingluck Shinawatra bulan lalu selama 60 hari ke depan dinyatakan ilegal. Pengadilan Negeri Bangkok, Rabu (19/2), menolak tuntutan itu, tetapi memperingatkan polisi untuk tidak menggunakan kekerasan dalam membubarkan aksi unjuk rasa yang berlangsung damai.

Walaupun kepala kepolisian menyatakan keputusan pengadilan itu tak akan memengaruhi operasi keamanan yang mereka lakukan, ia mengatakan, belum ada rencana untuk menguasai kembali tempat-tempat yang dikuasai pengunjuk rasa. Dengan demikian, diperkirakan unjuk rasa belum akan berakhir dalam waktu dekat.

Pengunjuk rasa menuntut PM Yingluck yang menang dalam Pemilihan Umum 2011 mundur dari jabatannya. Mereka menganggap Yingluck dibayang-bayangi kakaknya, Thaksin Shinawatra, yang hidup di pengasingan setelah dikudeta. Yingluck menolak untuk mundur karena merasa ia dipilih secara demokratis. Sebagai kompromi, ia menawarkan untuk mengadakan pemilu pada 2 Februari lalu. Namun, oposisi dan pengunjuk rasa memboikot pemilu tersebut sehingga pemungutan suara di sekitar 10 persen tempat pemungutan suara tidak dapat dilakukan. Tidak sempurnanya pelaksanaan pemilu 2 Februari lalu membuat pengunjuk rasa tetap menjalankan aksinya.

Kita merindukan Thailand yang damai. Kita berharap Raja Bhumibol Adulyadej mau turun tangan untuk
mengatasi persoalan tersebut, mengingat baik Yingluck maupun pengunjuk rasa berkeras pada posisi masing-masing.

Sumber: Kompas cetak edisi 21 Februari 2014 
Powered by Telkomsel BlackBerry®






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger