Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 21 Februari 2014

Politisi Berjubah Hakim Konstitusi (MUNAFRIZAL MANAN)


Kritisisme publik terhadap hakim konstitusi berlatar belakang politisi bukanlah stigmatisasi atau antipati terhadap politisi.

Bukan pula generalisasi bahwa semua politisi pasti berwatak korup, dan politisi yang menjadi hakim konstitusi otomatis membawa watak korupnya itu ke dalam institusi Mahkamah Konstitusi (MK). Alasan konstitusional di balik kritisisme publik adalah visi menciptakan praktik konstitusionalisme yang sehat.

Maka, pembatalan kekuatan hukum Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 oleh MK, yang salah satu klausulnya mengharuskan politisi terlebih dahulu berhenti minimal selama tujuh tahun untuk dapat dipilih sebagai hakim konstitusi, sejatinya mempertontonkan tiadanya kehendak MK menciptakan praktik konstitusionalisme yang sehat.

Bukan prasangka
Sungguh ironis, ketika mayoritas politisi di lembaga eksekutif dan legislatif mencapai kata sepakat membersihkan noda politik di lembaga MK—yang artinya mereka rela menyempitkan peluang jadi hakim konstitusi di masa datang—para hakim konstitusi dengan suara bulat justru menganulir kesepakatan progresif itu. Khusus dalam hal ini, politisi di lembaga eksekutif dan legislatif justru menampilkan sikap kenegarawanan meskipun konstitusi tidak mensyaratkan kualifikasi negarawan pada jabatan mereka sebagaimana secara expressis verbis disyaratkan bagi hakim konstitusi.

Harus diingat betul, semua kewenangan MK bersinggungan dengan dimensi politik meskipun fungsi MK adalah lembaga yudisial dalam ranah hukum. Kehadiran MK antara lain untuk memutus perselisihan politik antarpolitisi. Dari sudut teoretis pun MK merupakan wujud eratnya hubungan ilmu hukum dan ilmu politik.

Namun, MK harus dipastikan steril dari politisasi dan kontaminasi politik, sekecil apa pun. Di situlah bersemayam jaminan berlangsungnya praktik konstitusionalisme, sekaligus arena kontestasi politik yang sehat dalam demokrasi konstitusional.

Tak ada keraguan, politisi sangat berkepentingan dengan MK. Putusan-putusan MK memiliki konsekuensi politik (Ginsburg dan Garoupa, 2011: 541). Dampaknya nyata terhadap kepentingan politik politisi. Maka, tidak heran jika politisi berhasrat menjadi hakim konstitusi atau punya akses memengaruhi putusan hakim konstitusi.

Dalam batas penalaran yang wajar, sulit membayangkan obyektivitas praktik konstitusionalisme jika politisi menjelma menjadi hakim konstitusi. Ini mudah menimbulkan prasangka, bisik- bisik, atau skeptisisme terhadap independensi dan imparsialitas hakim konstitusi. Terlebih, mengutip Richard A Posner dalam How Judges Think, secara empiris terbukti banyak putusan yudisial sangat dipengaruhi preferensi politik sang hakim.

Tak kurang dari mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie khawatir jika hakim konstitusi didominasi oleh politisi. Saat menyampaikan kuliah umum di Melbourne University School of Law, Australia, 11 Maret 2009, Jimly mengingatkan besarnya kemungkinan hakim konstitusi kelak didominasi oleh politisi, terutama melalui jalur perekrutan oleh Presiden dan DPR. Akibatnya, akan muncul keraguan atas performa, independensi, dan imparsialitas hakim konstitusi.

Sebagaimana setiap hakim harus memutus suatu perkara dengan penuh keyakinan (beyond reasonable doubt), hakim konstitusi pun harus memulai tugas yudisialnya sedari awal dengan kepercayaan penuh dari publik. Legitimasi dan reputasi hakim terletak pada kepercayaan publik. Terlebih bagi hakim konstitusi yang tak memiliki organ eksekutor, seperti halnya peradilan umum, untuk memaksakan pelaksanaan putusan-putusannya.

Kepatuhan dan penerimaan publik atas putusan hakim konstitusi tidak dapat dilepaskan dari kepercayaan publik dan kewibawaan hakim konstitusi. Sekontroversial apa pun putusan hakim konstitusi, jika kedua marwah ini masih terpelihara baik, maka publik masih dapat menerima atau setidaknya menghormati pilihan putusan itu. 

Namun, jika kedua marwah itu rusak, ditambahi pula oleh vested interest, boleh jadi putusan hakim konstitusi akan diabaikan. MK tidak memiliki daya memaksakan putusannya ditaati. Sudah pernah terjadi putusan hakim konstitusi dalam pengujian UU dan perselisihan hasil pemilihan umum/kepala daerah dianggap macan ompong. Ini tentu membuat praktik konstitusionalisme kita tidak sehat, dan menunjukkan peradaban konstitusionalisme kita terbelakang.

Perlu regulasi
Untuk memastikan independensi politik dan menghindari konflik kepentingan hakim konstitusi, memang diperlukan regulasi yang mencegah politisi diangkat menjadi hakim konstitusi, atau secara moderat ada periode waktu tertentu telah berhenti berkiprah dalam politik praktis. Gerak laju praktik konstitusionalisme modern cenderung menyapih kontaminasi politik atas lembaga yudisial. Politisi berjubah hakim konstitusi adalah makhluk asing di lingkungan peradilan konstitusi.

Di Hongaria, misalnya, diatur secara tegas bahwa syarat menjadi hakim konstitusi adalah harus dalam empat tahun terakhir tidak menjabat sebagai anggota pemerintahan atau partai politik atau posisi utama dalam administrasi pemerintahan (Brunner, 2000: 73).

Di Amerika Serikat, sejak era Presiden Richard Nixon, telah dimulai kecenderungan mengangkat hakim agung (Supreme Court Justices) dari figur yang murni berkarier di bidang hukum daripada berkarier politik. Semakin jarang figur yang berlatar belakang jabatan politik (elective office) dipilih menjadi hakim agung; umumnya adalah figur yang murni berkarier sebagai praktisi hukum, dosen hukum, dan hakim (Baum, 2006: 67).

Di lingkungan peradilan konstitusi banyak negara, mungkin hanya Dewan Konstitusi (Conseil Constitutionnel) Perancis yang secara formal memiliki tradisi diisi oleh politisi senior profesional. Namun, Dewan Konstituante ini bukan peradilan konstitusi model Kelsenian, melainkan lebih disebut sebagai cabang keempat pemerintahan atau kamar ketiga legislatif
(Ginsburg dan Garoupa, 2011: 566).

Mengakhiri politisi menjadi hakim konstitusi tidak hanya penting untuk menyehatkan praktik konstitusionalisme, tetapi juga bermanfaat buat kepentingan politisi secara keseluruhan. Ini akan mencegah munculnya keraguan dan prasangka dari politisi lain terhadap hakim konstitusi.

MUNAFRIZAL MANAN 
Alumnus University of Melbourne, Australia;
Mahasiswa Utrecht University School of Law, Belanda

Sumber: Kompas cetak edisi 21 Februari 2014. 
Powered by Telkomsel BlackBerry®
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger