Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 21 Februari 2014

Masalah Ketahanan Energi (Herman Agustiawan)

Dalam Kebijakan Energi Nasional 2014-2050 yang baru-baru ini disetujui oleh DPR, Dewan Energi Nasional mendefinisikan Ketahanan Energi sebagai suatu kondisi terjaminnya ketersediaan energi, akses masyarakat terhadap energi pada harga yang terjangkau dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan perlindungan terhadap lingkungan hidup.

Bagaimana dengan kondisi Indonesia saat ini? Menurut Pasal 6 UU No 30 Tahun 2007 tentang Energi, "krisis energi merupakan kondisi kekurangan energi", sedangkan "darurat energi merupa-

kan kondisi terganggunya pasokan energi akibat terputusnya sarana dan prasarana energi". Dengan mengacu definisi DEN dan UU di atas, jelas ketahanan energi di Indonesia belum terwujud. Hal ini terlihat di beberapa tempat masih berada pada kondisi krisis energi, terutama listrik. Setidaknya ada tujuh alasan mengapa ketahanan energi Indonesia belum terwujud hingga saat ini.

Pertama, arah politik energi belum jelas. Politik energi di suatu negara memprioritaskan kepentingan nasional yang dijalankan melalui kebijakan publik dan regulasi di bidang energi. Politik energi kita bisa diarahkan untuk menjamin ketersediaan energi di dalam negeri, mempercepat pembangunan infrastruktur, meningkatkan kinerja dan koordinasi antarlembaga, meningkatkan kinerja bisnis badan usaha energi, memaksimalkan kandungan lokal, serta strategi dan diplomasi untuk mendapatkan sumber energi dari luar.

Kedua, Indonesia belum memiliki Dokumen Ketahanan Energi. Dokumen ini disusun berdasarkan politik energi nasional di atas. Dokumen ketahanan energi berisikan aspek-aspek pengelolaan energi, seperti jaminan ketersediaan pasokan, kemudahan akses atau infrastruktur, harga, subsidi dan insentif energi, dan lain-lain. Setiap aspek memiliki indikator sebagai ukuran dari ketahanan energi itu sendiri. Dengan adanya dokumen ini diharapkan pemerintah dapat dengan mudah memantau dan mengevaluasi target pencapaian ketahanan energi.

Ketiga, pemahaman yang salah terhadap jumlah energi dan ragam sumber energi. Banyak yang beranggapan Indonesia kaya energi, bukan kaya akan ragam sumber energi. Anggapan ini tidak benar karena energi dan sumber energi berbeda. Untuk menjadi energi, sumber energi harus dicari, diproduksi, diproses, dan didistribusikan sampai ke konsumen. Dengan demikian, untuk mengubah sumber energi jadi energi diperlukan waktu, biaya, dan "energi" yang tidak sedikit. Indonesia memang memiliki banyak ragam sumber energi, mulai dari sumber energi fosil sampai sumber energi baru dan terbarukan. Tetapi, Indonesia belum kaya energi! Pemahaman yang keliru tersebut justru menghambat terwujudnya ketahanan energi karena bisa menyebabkan perilaku masyarakat kurang menghargai atau boros energi.


Kebijakan harga
Selanjutnya, keempat, kebijakan harga energi yang salah. Masih banyak yang tak paham, harga suatu jenis energi bisa menghambat pemanfaatan jenis energi lain dalam bauran energi nasional. Selama ini permintaan masyarakat terhadap BBM cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Salah satu sebabnya, bahan bakar alternatif tak bisa bersaing dengan BBM bersubsidi di sektor transportasi. Tingginya permintaan terhadap BBM telah membentuk bauran energi yang tak sehat. Bauran energi yang demikian rentan dan menyebabkan ketahanan energi rendah.



Kelima, koordinasi antar-institusi yang lemah. Energi merupakan aspek strategis bangsa sehingga pengelolaannya menuntut koordinasi antarlembaga pemerintahan dan badan usaha. Tanpa koordinasi yang harmonis dan baik antar-institusi dan badan usaha, mustahil kita dapat mewujudkan ketahanan energi seperti yang diinginkan.

Keenam, infrastruktur energi tak cukup. Selain ketersediaan sumber energi dan harga yang terjangkau, ketersediaan infrastruktur energi diperlukan untuk peningkatan konsumsi energi. Indonesia perlu segera membangun infrastruktur energi seperti kilang dan pembangkit untuk mengubah sumber energi menjadi energi. Indonesia juga perlu memiliki mekanisme tanggap darurat energi ketika terjadi bencana. Jepang ketika terjadi tsunami di Fukushima hampir seluruh PLTN-nya tak dioperasikan (31 persen dari total kapasitas sekitar 280 GW). Namun, dalam waktu relatif singkat mampu melistriki bangsanya dengan beralih ke PLTG karena infrastrukturnya sudah tersedia.

Ketujuh, Indonesia belum optimal memanfaatkan kerja sama regional. Keterbatasan akses terhadap energi telah menyadarkan semua pihak pentingnya kerja sama regional dan internasional. Misal, pasca-embargo minyak 1973, negara-negara maju telah membentuk blok-blok kerja sama di bidang energi, seperti International Energy Agency (IEA, 1974) dan European Energy Charter (EnCharter, 1991). Negara-negara anggota IEA telah memiliki mekanisme tanggap darurat krisis energi. Setiap negara anggota diwajibkan memiliki cadangan penyangga selama 90 hari konsumsi yang dihitung berdasarkan jumlah impor bersih setiap harinya (days net import).

ASEAN pun sejak 1986 telah memiliki kerja sama regional, dikenal sebagai ASEAN Petroleum Security Agreement (APSA). Pada 2009 APSA diamandemen dengan menambahkan klausul Tindakan Tanggap Darurat Terkoordinasi (Coordinated Emergency Response Measure/CERM). Dengan adanya APSA diharapkan ASEAN bisa saling membantu ketika ada negara anggota yang mengalami krisis energi. Namun, Indonesia belum memanfaatkan CERM-APSA sebagai salah satu jalan keluar dalam mewujudkan ketahanan energi. Indonesia hingga kini masih memiliki persepsi pemenuhan kebutuhan energi domestik senantiasa dapat diatasi sendiri.

Sesungguhnya pengelolaan energi di setiap negara memiliki dua tujuan utama, yaitu untuk menyejahterakan rakyat dan meningkatkan harga diri bangsa. Kedua tujuan itu hanya bisa dicapai jika negara memiliki ketahanan energi. Dan, untuk mewujudkan ketahanan energi, Indonesia harus segera menyelesaikan ketujuh masalah di atas melalui pengelolaan energi yang benar, serius, dan berkesinambungan.


Herman Agustiawan 
Anggota Dewan Energi Nasional RI (2009-2014)

Sumber: Kompas cetak edisi 21 Februari 2014 
Powered by Telkomsel BlackBerry®











Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger