Kritik pendidikan nasional tidak tentu arah dan tujuan tidak hanya sekali disampaikan. Namun, jika dikaitkan dengan globalisasi dan era Masyarakat ASEAN 2015, itu menjadi aktual.
Menjadi aktual tidak saja karena disampaikan dalam dua hari Konvensi Pendidikan yang diselenggarakan Persatuan Guru Republik Indonesia, tetapi terutama terkait keharusan menumbuhkan daya saing bangsa Indonesia. Tidak boleh tidak dalam penumbuhan daya saing itu berurusan dengan praksis pendidikan.
Benar kata Emil Salim dalam konvensi bahwa pendidikan pada dasarnya membangun model manusia. Benar kata Azyumardi Azra dalam kesempatan yang sama mengenai kekuatan pendidikan (the power of education), mengutip pendapat Michel Foucault. Pernyataan kedua pembicara itu menegaskan kunci persoalan daya saing adalah faktor manusia.
Pendidikan pada dasarnya adalah pembentukan, yakni formatio humana (pembentukan manusiawi) dengan kurikulum sebagai panduan. Kurikulum yang hebat tidak otomatis menjamin terbentuknya model manusia yang berdaya saing tinggi.
Kunci utama guru. Benar kesimpulan Komisi Pembaruan Pendidikan Nasional 1978, bahwa guru merupakan faktor terpenting berhasil tidaknya pembentukan model manusia. Secara satiris benar kata Prof Slamet Iman Santoso bahwa guru yang bodoh beranak pinak dengan anak bodoh yang jumlahnya berlipat-lipat. Sebaliknya, kurikulum yang kurang bagus bisa menjadi acuan bagus di tangan guru yang hebat.
Masalah strategisnya kedudukan guru dalam praksis pendidikan, setelah puluhan tahun dicibirkan, selama dua tiga tahun ini nasibnya mengalami perbaikan. Kesejahteraan memang salah satu bentuk apresiasi, di antaranya tunjangan profesi guru, dengan catatan proses penyampaiannya masih perlu diperbaiki di beberapa tempat.
Bentuk apresiasi lainnya adalah pelibatan mereka lebih besar. Merupakan keharusan guru memahami betul jiwa dasar Kurikulum 2013. Dengan demikian, kalau sampai mereka dinafikan begitu saja, ibaratnya proses pembodohan siswa sudah dimulai. Artinya, tidak akan tercipta lulusan yang tidak hanya tidak terampil, kompeten, dan pintar, tetapi juga tidak berbudaya kerja keras, berdisiplin, pantang menyerah, dan tahu kehormatan diri.
Hasil didik berbanding terbalik semacam itulah prasyarat utama manusia Indonesia yang berdaya saing tinggi. Manusia postmo yang tidak tercerabut dari budaya Indonesia. Membenarkan kata Daoed Joesoef bahwa pendidikan itu bagian dari kebudayaan. Berbudaya Indonesia tidak berarti melihat ke dalam (inward looking), tetapi timbal balik antara inward looking dan outward looking.
Perubahan kurikulum memang keniscayaan, tetapi hendaknya perubahan selalu mengacu pada filosofi dasar pendidikan Indonesia, dengan model manusia Indonesia di era globalisasi dan Masyarakat ASEAN 2015, misalnya.
Sumber: Kompas cetak edisi 20 Februari 2014)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar